Dikutip dari laman cnbc.indonesia.com, (10/07/22), Sri Lanka paling banyak berutang kepada Cina dan India. Utang luar negeri Sri Lanka per akhir 2021 adalah US$ 50,72 miliar. Jumlah ini sudah 60,85% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara mengutip Times of India, total utang Sri Lanka ke Cina mencapai US$ 8 miliar atau sekitar seperenam dari total utang luar negerinya.
Pemerintah Sri Lanka meminjam dana kepada Beijing untuk sejumlah infrastruktur proyek sejak 2005 melalui skema Belt and Road Initiative (BRI), salah satunya pembangunan pelabuhan Hambantota. Namun sayangnya sebagian proyek dinilai tak memberi manfaat ekonomi bagi negara itu. Cina juga meminta jatah ekspor produk mereka ke Sri Lanka senilai US$ 3,5 miliar. Ribuan warga bahkan turun ke jalan meminta pemerintah mundur.
Fakta dampak buruk yang dialami oleh masyarakat Sri Lanka akibat bangkrutnya perekonomian negara mereka adalah makan dengan lauk sambal kelapa, listrik mati berjam-jam, mengantri berhari-hari untuk beli BBM. Pengemudi truk-truk tidur di kendaraan mereka saat mengantri bahan bakar. Untuk sementara waktu, masyarakat kelas menengah dan atas membawakan paket makan dan minuman ringan untuk mereka yang mengantre di sekitar lingkungan rumah mereka. Akhir-akhir ini, biaya makanan, gas untuk memasak, pakaian, transportasi, dan bahkan listrik, telah meroket dengan sangat drastis karena nilai rupee anjlok. Bahkan sumbangan dari orang kaya pun sudah sangat berkurang.(detikNews, 11/07/2022)
Krisis yang terjadi di Sri Lanka harusnya menjadi pelajaran berharga untuk semua negara-negara yang selama ini suka menambah utang luar negerinya, termasuk Indonesia. Dikutip dari laman cbc.indonesia.com, (18/07/2022), posisi utang pemerintah Indonesia per Mei 2022 mencapai Rp 7.002 triliun atau 38,88% dari produk domestik bruto (PDB). Indonesia juga termasuk salah satu negara yang terjebak utang dari Cina. Mengutip data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) periode Februari 2022, Cina adalah pemberi utang terbesar keempat kepada Indonesia.
Kita perlu memahami bahwa konsekuensi dari penerimaan utang tersebut yakni negara yang menerima utang atau pinjaman sebagai imbalannya harus mengikuti kebijakan si pemberi utang, misalnya melepas harga BBM sesuai dengan harga pasar, bersedia menjadi pangsa pasar ( menerima ekspor) negara pemberi utang.
Salah satu penyebab kebangkrutan ekonomi Sri Lanka adalah utang luar negri yang tidak lepas dari proyek-proyek cina, kemudian korupsi yang dilakukan oleh para pejabatnya yang berpangkal pada penerapan sistem ekonomi kapitalistik.
Utang luar negeri hakikatnya adalah sarana penjajahan oleh negara adidaya, kapitalisme Barat maupun kapitalisme Asia. Mereka menjadikan utang sebagai jerat untuk memperdaya negara yang diberi utang dan membahayakan bagi eksistensi negara-negara kaum Muslim yang membuat umat menderita akibat bencana yang ditimbulkannya.
Utang hanya menimbulkan bertambahnya kemiskinan di negara yang berutang dan hanya para pejabat tinggi saja yang bisa menjadi orang-orang kaya sementara rakyat kecil mengalami kondisi ekonomi yang buruk.
Selain itu, utang luar negeri menimbulkan jatuhnya nilai mata uang dari satu negara yang berutang dan dalam jangka panjang utang luar negeri ini menimbulkan kekacauan pada struktur APBN. Bahkan untuk mengangsur pembayaran utang dan bunga utang maka harus ditempuh dengan cara berutang kembali berarti terlihat betapa besarnya kesulitan keuangan yang terjadi.
Terlebih lagi utang yang di dalamnya terdapat aspek riba karna ada perhitungan RATE OF INTEREST (tingkat suku bunga yang ditetapkan) yang dibebankan kepada utang selama utang pokoknya belum dilunasi sehingga utang itu akan terus menerus bertumpuk seiring dengan perhitungan riba di dalamnya.
Begitulah alur utang piutang yang terjadi pada dunia hari ini. ini merupakan dampak buruk yang tercipta dari kebebasan berekonomi, buah karya penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang membolehkan segala bentuk perekonomian tidak menyandarkan pada hukum Allah SWT.
Sistem ekonomi dunia hari ini berbasis sistim ekonomi sekuler yang bertumpu pada sistim ekonomi ribawi. Sementara riba dalam pandangan syariat Islam adalah aktifitas yang terlarang, berdosa besar melakukannya, sehingga tidak terdapat kebaikan di dalamnya sebagaimana yang telah Allah jelaskan di dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah.
Dalam pandangan Islam berutang itu boleh, asalkan tidak mengandung unsur riba dan tidak menggadaikan kemaslahatan umat. Maka utang luar negeri yang sarat akan riba dan penggadaian kemaslahatan rakyat ini haram untuk dilakukan, karena tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan hadis.
Larangan riba ini sedemikian keras sehingga Allah gambarkan bagi siapa yang melakukan aktivitas riba baik yang menerima, yang memberikan, yang mencatat, yang menjadi saksi, terkategori pelaku riba dan mereka ibarat sedang menabuh genderang perang kepada Allah dan Rasul-Nya sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 278.
Nabi Muhammad SAW telah melarang umatnya dari riba dan memberitakan bahwa riba termasuk tujuh perbuatan yang menghancurkan sebagaimana disebutkan dalam hadis :
"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari nabi shalallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda, jauhilah 7 (dosa) yang membinasakan !" Mereka (para sahabat) bertanya, "wahai Rasulullah apakah itu ? "beliau shallallahu alaihi wasallam menjawab, "syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan Haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari perang yang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan yang beriman dan yang bersih dari zina". (HR. al-Bukhari no. 3456;, Muslim, no. 2669)
Seharusnya negara bertumpu pada pandangan yang diajarkan di dalam Islam. Dalam mengatur sistem keuangan negara, maka Islam telah memberikan regulasi secara detil yang disebut dengan sistim baitul maal.
Di dalam sistim baitul maal ada tiga pos penerimaan besar yang dapat memberikan pemasukan yang mengalir ke dalam harta baitul mwal/kas negara. Pertama adalah harta dari pengelolaan fa'i, kharaj, dan berbagai kepemilikan negara yang lain. Kedua yaitu dari pengelolaan aset-aset yang menjadi kepemilikan umum termasuk di dalamnya adalah mengelola secara mandiri sumber daya alam dalam deposito yang melimpah. Ketiga adalah pengelolaan yang berasal dari zakat maal yaitu ada zakat dari sektor peternakan, sektor pertanian, sektor perdagangan, serta emas dan perak (zakat mata uang). Itulah yang membuat ekonomi Islam bisa mengatasi masalah perekonomian tanpa utang luar negri.
Apabila kita melihat kembali sejarah kejayaan Islam maka kita akan menjumpai di mana pada masa Khulafaur Rasyidin, sedemikian besarnya baitul maal bahkan khalifah Umar bin Khattab sempat merasa takut dengan mengalirnya harta baitul maal, kemudian pada masa khilafah Umayyah ada khalifah Umar bin Abdul Azis yang bahkan tidak ada satupun diantara warganya baik yang Muslim maupun nonmuslim yang merasa berhak menerima pembagian zakat.
Di dalam pemerintahan Islam yang telah didirikan oleh Rasulullah SAW di kota madinah, dan pemerintahan para khalifah setelah sepeninggal beliau SAW. Perekonomiannya ditopang oleh sistem ekonomi riil. Bukan transaksi ribawi dan judi (spekulasi). Memaksimalkan potensi alam yang ada. Seperti berbagai tambang, minyak bumi, gas, hutan dan air. Serta kepemilikan negara yang lain seperti ghanimah, fa’i, kharaj, Jizyah, khumus, rikaz dan lain sebagainya.
Semua pendapatan ini dikelola oleh negara untuk kepentingan penyelenggaraan negara dan juga untuk kepentingan rakyatnya. Tidak hanya kebutuhan pokok rakyat yang terjamin tapi pembangunan infrastruktur pun dilakukan di seluruh wilayah secara mandiri tanpa utang.
Islam telah datang dengan membawa tuntunan secara detail dan terperinci untuk menyelesaikan persoalan di tengah-tengah umat manusia termasuk dalam mengatasi dan mengelola sistem keuangan negaranya.
Negara dengan sistem Islam orientasinya adalah kemaslahatan umat. Negara akan melayani umat mulai dari kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Anggarannya diambil dari pengelolaan sumber daya alam dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab sesuai dengan hukum Islam bukan sebaliknya menyerahkan (menjual) kepada swasta dan asing.
Keadaan ini dapat dirasakan kembali oleh umat di dunia bahkan di negeri ini, dapat di nikmati oleh rakyat Muslim maupun nonmuslim yang berdomisili di dalam negara Islam, jikalau pemerintah dan masyarakat mau berlepas dari jerat sistem kapitalisme dan menerapkan sistem Islam.
Wallahu a’lam bishawwab
Oleh: Trish Rahmawati
(Sahabat Topswara)
0 Komentar