Topswara.com -- Publik kembali dikejutkan dengan rencana pengesahan RUU KUHP yang baru. Sederet mahasiswa telah melakukan aksi turun ke jalan untuk melakukan protes terhadap rencana tersebut. Pasalnya, ada beberapa draft RUU KUHP yang disusun mengundang pertanyaan dan bahkan dinilai bisa berdampak pembungkaman terhadap publik.
Seperti dilansir dari Suara.com, ada salah satu pasal yang menyatakan tentang hukuman terhadap penyerangan kehormatan harkat, martabat, dan diri Presiden serta wakil Presiden dapat ditindak pidana penjara, yakni pada pasal 218, dan 219.
Pasal ini dianggap sangat berpootensi sebagai pintu otoriter atas nama konstitusi. Selain itu ada juga pasal-pasal yang bisa menambah represif terhadap kebebasan berpendapat dan pers. Sehingga, publik khususnya mahasiswa meminta pemerintah agar menunda pengesahan RUU KUHP dengan draft pasal-pasal yang tidak diperlukan tersebut.
Lalu, bagaimana seharusnya sikap yang bijaksana dalam menanggapi kontroversi RUU KUHP? Dan sejauh mana kebenaran peluang munculnya keotoriteran dan semakin refresifnya penguasa ke depan jika RUU KUHP tersebut disahkan?
Sebagai suatu negara yang katanya telah merdeka dari penjajahan dan menganut sistem demokrasi, harusnya telah mampu berdiri sendiri tanpa intervensi hukum dari negara yang menjajah. Dan setiap kebijakan yang akan diambil, publik harus dilibatkan secara langsung melalui perwakilan-perwakilannya agar dapat diketahui secara trasnparansi dan tidak bingung saat dikenai delik pelanggaran hukum. Kalau bicara seharusnya.
Sebaliknya, fakta di lapangan tidak berbicara demikian. Indonesia sebagai negara yang sudah lebih 70 tahun merdeka, para pakar hukum sepakat mengatakan bahwa negeri ini masih tersandera dengan kebijakan atau perundang-undangan negara penjajah (Belanda). Padahal, defenisi merdeka hakikatnya bebas dari ikatan penjajahan dan lebel terjajah. Jika masih menggunakan hukum penjajah (Belanda), artinya belum merdeka sepenuhnya.
Prof. Suteki, pakar hukum tata negara nasional mengatakan, bahwa suatu negara merdeka seperti Indonesia memang seharusnya sudah memiliki UU KUHP sendiri yang dirancang oleh rakyat Indonesia sendiri bukan peninggalan penjajah (Belanda). Menurutnya, sangat normal jika pemerintah hari ini merancang RUU KUHP dan segera mengesahkannya.
Hanya saja, menurut Profesor yang juga mengajar filsafat itu, RUU KUHP yang sekarang dibincangkan bermasalah dalam pasal yang bisa menimbulkan multitafsir. Khususnya pasal terhadap penghinaan penguasa yang berpotensi melahirkan situasi publik yang semakin ambyar.
Apalagi dalam RUU KUHP tersebut tidak dijelaskan secara rinci mana ranah kritik dan seperti apa kategori penghinaan. Bagaimana jika yang dikirtik merasa terhina? Bukankah bisa didelik pasal penghinaan Presiden atau pejabat?
Situasi negeri ini yang tidak siap dilanda pandemik semakin memperburuk keadaan. Banyaknya urusan dalam negeri yang tidak kunjung selesai seperti korupsi, utang luar negeri yang kian membengkak, investasi asing besar-besaran juga persoalan kriminal yang melanda rakyat terus meningkat. Publik menilai, pemerintah hari ini tidak layak/becus mengurus persoalan yang ada sehingga menimbukan banyak protes, dan kritik karena ketidakpuasan tersebut.
Lahirnya RUU KUHP ini bisa saja didorong semangat untuk meredam kritik masyarakat ditengah situasi yang kian memburuk. Jika oknum-oknum yang melakukan kritik terbuka terhadap penguasa yang dianggap menghina kemudian diangkut dalam penjara, tentu menimbulkan ketakutan publik. Sehingga masyarakat bisa jadi akan cenderung diam dan tidak peduli dengan segala kesalahan dan kelalaian pemerintah. Karena pasal dalam RUU KUHP dianggap bisa membungkam suara kritis publik.
Selama rezim ini berjalan, sudah berulang kali terjadi penangkapan para aktivis kritis yang mengoreksi kebijakan pemerintah, karena dianggap sebagai delik penghinaan di muka umum. Walhasil, jalannya demokrasi yang katanya menjamin kebebasan berekspresi, berpendapat lewat lisan maupun tulisan hanyalah omong kosong belaka. Berpendapat ya memang bebas. Tetapi keamanannya dari penjara tidak ada jaminan.
Bahkan sebagian pakar hukum menilai, bahwa RUU KUHP dalam pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden akan menjadi jas keamanan tindakan represif yang bersembunyi dibalik kata konsitusi dan dianggap legal. Bukankah cara membungkam kritik yang paling efektif adalah dengan konstitusi yang dilegalkan?
Sungguh sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam dalam bernegara dan menyikapi penguasa. Sebagai umat Islam mayoritas di Indonesia, sudah tentu tidak tabu jika mencari solusi permasalahan harus merujuk kepada syariat Islam. Sebab syariat Islam adalah petunjuk hidup bagi kaum Muslim secara global. Lalu, bagaiama Islam menyikapi persoalan fenomena penginaan terhadap Presiden atau penguasa?
Jika merujuk pada tensi kata penghinaan, jelas tidak ada korelasinya dengan Islam. Sebab Islam tidak mengajarkan penghinaan kepada manusia. Dan penghinaan dalam konteks yang dimaksudkan dalam Islam adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan fisik pribadi seseoarang atau penguasa.
Namun dalam persoalan kritik, Islam mengajarkan penguasa untuk membutuhkannya sebagai ajang amar makruf nahi munkar, alias nasehat. Tanpa kritik, penguasa bisa lalai bahkan lalim terhadap rakyatnya. Adanya kritik akan membendung dan menghalangi penguasa dari hal-hal tersebut. Sehingga, selain penguasa, rakyat pun selamat.
Kritik terhadap penguasa merupakan hak sekaligus kewajiban rakyat menurut pandangan Islam. Jikalau tidak ada rakyat yang berani mengkritik penguasa saat berada dalam kelalaian atau kedzaliman, maka dosanya menimpa seluruh rakyat dan dampaknya tentu akan dirasakan juga oleh rakyat.
Ketika seorang penguasa melakukan kesalahan dalam mengelola negara, tentu imbasnya besar bukan hanya dirinya. Karena tidak menutup kemungkina itu terjadi, maka kritik diperlukan. Namanya manusia, tentu tidak lepas dari salah dan khilaf.
Oleh karena itu, sudah waktunya umat Islam di negeri ini kembali merujuk hukum pada syariat Islam. Agar tidak terus-menerus memberikan kegaduhan dan kontroversi terhadap publik. Syariat Islam memuat hukum-hukum yang jelas dan rinci untuk menyelesaikan persoalan masyarakat baik di dalam hingga ke luar negeri.
Syariat Islam telah terbukti mampu menjalin hubungan yang harmonis, humanis, tetapi tetap dalam koridor kritis politis yang ideologis antara penguasa dan rakyat. Sebab dengan demikian, peraturan akan dapat ditegakkan tanpa perlu menciptakan ketakutan dan persengketaan akibat multitafsir pasal dalam undang-undang / konstitusi negara. Allahu a’alam bissawab.
Oleh: Mariani Siregar
Dosen dan Pengamat Publik
0 Komentar