Menurut data Kementerian Pertanian (Kementan), perkembangan kasus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), saat ini telah menyebar ke 19 provinsi dan 216 kota/kabupaten. Dalam data itu dinyatakan Provinsi Jawa Timur menduduki peringkat pertama kasus tertinggi PMK dengan jumlah 100.492 kasus. Selanjutnya Nusa Tenggara Barat (NTB) 41.433 kasus dan Aceh 30.128 kasus. Sementara di beberapa daerah lainnya tercatat ribuan sapi dan hewan ternak dinyatakan mati akibat PMK.
Merespon semakin meluasnya penyakit PMK pada hewan ini, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Letjen TNI Suharyanto, mengeluarkan Surat Keputusan Status Keadaan Tertentu Darurat Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada hewan ternak. Kebijakan ini tertuang dalam Surat Keputusan Kepala BNPB Nomor 47 Tahun 2022. SK ini ditandatangani pada 29 Juni dan berlaku hingga 31 Desember 2022. (detiknews.com, 2/7/2022)
Meski pemerintah telah mengambil langkah penetapan status darurat dalam menangani wabah PMK ini, namun banyak pihak yang menilai kinerja pemerintah belum maksimal. Buktinya, wabah yang menyerang hewan berkuku belah ini belum juga teratasi. Apa yang menyebabkan negara lamban dalam menyelesaikan wabah menular pada hewan ternak ini?
Peran Penguasa Belum Maksimal Atasi Wabah PMK
Rakyat tentu berharap adanya langkah nyata dari pemerintah untuk melindungi kepentingannya. Bukan hanya penetapan status darurat, lebih dari itu rakyat membutuhkan kehadiran negara dalam mengantisipasi penularan wabah PMK dan sokongan untuk membangun kembali usaha mereka yang merugi.
Pada kenyataannya penguasa cenderung abai terhadap kemaslahatan mereka.
Hal tersebut terbukti dengan kurang maksimalnya peran negara dalam menghentikan penularan wabah PMK.
Sebagaimana dikabarkan bahwa kasus penyakit menular pada hewan ternak ini terjadi pertama kali pada bulan April 2022. Namun vaksin PMK baru dapat diberikan pada 14 Juni 2022 lalu, saat penyakit menular pada hewan ternak ini sudah tersebar luas. Sementara penetapan status darurat pada akhir Juni 2022.
Oleh sebab itu, betapa banyak kerugian yang dialami para peternak akibat lambannya bantuan dari pemerintah. Salah satunya menimpa para peternak sapi perah di Dusun Kumbo, Desa Telogosari, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Mereka mengeluhkan mahalnya obat untuk Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Di sisi lain negara hanya membantu berupa pemberian antibiotik dan vitamin. Sementara obat tidak ada bantuan. Kondisi ini mengakibatkan hasil peternakan mereka tidak laku di pasaran. Sebab susu atau daging hewan telah terkontaminasi dengan antibiotik yang diberikan pada hewan ternak. (merdeka.com, 4/7/2022)
Dengan demikian jelaslah banyak masyarakat, pelaku usaha, seperti peternak dan pedagang hewan mengalami kerugian sebagai imbas dari munculnya wabah PMK ini. Sebab hewan ternak yang terserang penyakit tidak mendapatkan penanganan dengan segera. Apa sesungguhnya yang menjadi akar penyebab lambatnya kinerja pemerintah?
Kapitalisme Biang Masalah Abainya Penguasa terhadap Kepentingan Rakyat
Lamban dan minimnya penanganan dalam pencegahan penularan penyakit mulut dan kuku yang menyerang hewan, sejatinya menjadi ciri penguasa saat ini yang abai terhadap urusan rakyat. Hal ini disebabkan karena negeri ini menerapkan sistem kapitalisme. Di mana karakter pemimpinnya kurang cepat tanggap dalam mengurus kepentingan rakyat.
Dalam aturan kapitalisme peran penguasa hanya ibarat regulator (pengatur) yang berfungsi untuk mengeluarkan kebijakan. Sementara tanggung jawab untuk mengurus kebutuhan rakyat diserahkan kepada pihak lain baik swasta atau masing-masing individu dengan prinsip jual beli yang tentunya berorientasi bisnis semata.
Negara sebagai pihak penjual akan memberikan pelayanan jika memperoleh keuntungan. Maka wajar saja jika saat ini pun kerugian akibat PMK dirasakan oleh masyarakat sendiri, baik peternak maupun pedagang. Pemerintah enggan mengalami kerugian.
Inilah sistem kapitalisme yang menjadikan manfaat materi sebagai landasan dalam pengambilan regulasi (kebijakan) yang ditetapkan. Saat ada manfaat yang dapat diambil, maka negara tak segan untuk menetapkan aturan. Meski harus mengorbankan rakyat, seperti halnya penetapan kenaikan pajak berbagai fasilitas umum yang mengakibatkan beban kehidupan semakin berat.
Sebaliknya ketika rakyat membutuhkan kehadiran negara sebagai pelindung, ia acap kali mengabaikannya. Kalau pun ada peran negara, namun pada kenyataannya sangat minim dan kehadirannya kerap terlambat. Sehingga rakyat sudah telanjur menderita.
Oleh karena itu masyarakat membutuhkan suatu sistem kepemimpinan yang bertanggungjawab penuh dalam mengurus kepentingannya. Tentu saja hal ini hanya mungkin diwujudkan dalam sistem Islam. Sebab Islam memiliki seperangkat aturan yang mampu memecahkan setiap persoalan. Termasuk menangani wabah PMK yang saat ini terjadi.
Sistem Kepemimpinan Islam Bertanggung Jawab terhadap Seluruh Urusan Rakyat
Berbeda halnya dengan sistem Kapitalisme sekuler, dalam sistem kepemimpinan Islam, negara wajib bertanggungjawab penuh terhadap semua kebutuhan dan urusan rakyatnya. Ia juga harus menjadi pelindung terhadap berbagai ancaman yang menyerang rakyatnya. Selain itu wajib pula menjadikan halal dan haram sebagai standar dalam mengeluarkan setiap kebijakan.
Semua ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus), ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari)
Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin tidak boleh berlepas tangan dari mengurus kebutuhan rakyatnya. Ia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya kelak di akhirat. Atas dorongan keimanan ini seorang pemimpin akan berusaha untuk menjalankan perannya sebagai pelayan rakyat.
Dalam sistem Islam negara akan berfungsi dengan benar. Kehadirannya tidak lain dalam rangka menyelesaikan persoalan umat, menciptakan kesejahteraan, dan keadilan bagi setiap individu. Oleh sebab itu negara wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat individu per individu. Mulai dari sandang, pangan, papan, sampai kebutuhan umum seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan.
Terkait terpenuhinya kebutuhan pangan, maka negara wajib menjamin tersedianya kebutuhan pangan dengan standar halal dan thayib (baik). Karena itu, terkait dengan wabah PMK yang menyerang hewan sebagai salah satu bahan pangan, maka negara harus mengambil kebijakan preventif dan kuratif.
Sebagai langkah preventif, negara dalam sistem Islam akan menyediakan lembaga pengawasan pangan. Sehingga penyakit yang menyerang hewan dapat terdeteksi lebih awal. Saat penyakit yang terdeteksi adalah menular maka negara akan mengambil langkah cepat seperti vaksinasi dan isolasi bagi hewan yang terkena wabah. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari penularan lebih meluas pada hewan lain.
Adapun saat penyakit menular sudah meluas dan menyerang hewan, maka negara akan mengambil langkah kuratif. Dengan membantu pengobatan pada hewan ternak yang terkena wabah. Begitu pun bagi masyarakat yang terkena dampak wabah akan mendapatkan bantuan secara langsung untuk membangun kembali bisnis peternakannya.
Semua hal tersebut akan diurusi di bawah departemen kemaslahatan. Sementara dananya berasal dari baitul maal, pos harta kepemilikan negara dan umum.
Namun semua kewajiban dan peran negara tersebut hanya akan terealisasi dalam penerapan aturan Islam secara sempurna dalam semua aspek kehidupan. Sebab sistem Islam inilah yang akan mendorong negara untuk bertanggungjawab melindungi rakyatnya dan memiliki kemampuan untuk memecahkan semua persoalan yang dihadapi, termasuk mencegah meluasnya PMK pada hewan. Kondisi ini bertolak belakang dengan sistem saat ini, di mana negara berlepas tangan dari tanggungjawabnya.
Wallahu a’lam bishawwab
Oleh: Siti Aisyah
(Penulis,y Member Komunitas Muslimah Rindu Surga)
0 Komentar