Topswara.com -- Kerusakan sistem demokrasi semakin terlihat jelas pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Hal ini dikarenakan adanya pasal-pasal yang membatasi kebebasan berpendapat atau mengkritisi kebijakan penguasa. Padahal, sistem demokrasi hakikatnya dibangun atas landasan kebebasan.
Salah satu pasal bermasalah pada RKUHP adalah pasal 218 ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Kemudian, pada pasal 220 disebutkan bahwa tindak pidana penyerangan terhadap kehormatan, harkat, martabat presiden dan wakil presiden hanya dapat dituntut jika ada aduan. Pengaduan itu dapat dibuat secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden.
Pasal ini tentu sangat membatasi ruang berpendapat atau kritik terhadap penguasa karena tidak ada standar yang jelas terkait “penyerangan terhadap kehormatan, harkat, martabat presiden dan wakil presiden.” Maka, pasal ini dapat menyerang siapa pun yang dianggap menjatuhkan kehormatan, harkat, maupun martabat presiden meski berupa kritik terhadap kebijakan yang diambil oleh pimpinan negara atau presiden dan wakil presiden serta jajarannya.
Permasalahan pada RKUHP dianggap semakin parah dengan adanya kerahasiaan dalam penyusunan RKUHP sehingga masyarakat tidak dilibatkan dalam perumusan peraturan yang akan diberlakukan di tengah masyarakat.
Hal ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip dalam sistem demokrasi yang dianggap harus senantiasa melibatkan rakyat sebagaimana makna demokrasi menurut Abraham Lincoln bahwa pemerintahan itu berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Hal ini menuai tuntutan dari para aktivis mahasiswa maupun berbagai elemen masyarakat untuk dibukanya draf RKUHP sebelum pengesahan pada rapat paripurna DPR RI sekaligus merevisi pasal-pasal bermasalah.
Sistem Demokrasi: Akar Masalah dari Pasal Bermasalah
Pasal-pasal bermasalah tersebut merupakan suatu kewajaran dalam sistem demokrasi karena penetapan hukum ditetapkan berdasarkan pertimbangan akal pikiran manusia yang sebenarnya sangat rentan pada perbedaan pendapat.
Setiap manusia diberikan kebebasan untuk menyuarakan penetapan hukum di tengah masyarakat. Maka, kebebasan yang sama pula bagi para penguasa untuk mengambil keputusan terkait hukum yang akan ditetapkan maupun standar yang akan digunakan.
Prinsip dalam sistem demokrasi ini tentu akan menimbulkan hipokritisasi dalam pengambilan keputusan karena penafsiran masalah maupun solusi pasti berbeda-beda bagi setiap orang bergantung pada kepentingan, pengalaman maupun pengetahuan yang dimilikinya.
Oleh karena itu, kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi tidak akan pernah benar-benar bisa direalisasikan karena setiap orang bebas menentukan standar kebenarannya sehingga sangat rentan terjadinya konflik bahkan saling menjatuhkan yang berujung pada hilangnya kebebasan untuk mengemukakan pendapat.
Ketidakjelasan standar benar dan salah dalam sistem demokrasi juga bisa menimbulkan penistaan atau kriminalisasi ajaran agama Islam atas dasar kebebasan. Kriminalisasi ajaran agama Islam tersebut dianggap sebagai bentuk kebebasan berpendapat dalam demokrasi.
Dengan standar kebebasan yang sama pula, demokrasi memandang benar setiap kebijakan yang diambil berdasarkan kepentingan para kapitalis. Begitu pula dalam penetapan undang-undang pada RKUHP yang dinilai benar bagi penguasa sehingga sangat besar kemungkinan untuk disahkan pasal-pasal bermasalah ini karena memang kebebasan yang menjadi prinsip dasar sistem demokrasi.
Maka, sistem demokrasi yang hipokrit inilah akar penyebab lahirnya pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP sehingga perlu adanya solusi sistemis untuk menuntaskan sistem yang rusak ini.
Suarakan Solusi Sistemis
Masalah pada RKUHP pada dasarnya lahir dari sistem bermasalah sehingga revisi pasal-pasal yang ada di dalamnya tentu belum menyelesaikan akar masalah. Padahal, mengkritisi kebijakan yang diambil oleh penguasa adalah kewajiban dalam Islam selama kritik yang disampaikan sesuai dengan syariat Islam, bukan hanya berlandaskan kepentingan apalagi kebencian.
Kritik terhadap penguasa tentu berbeda dengan penistaan atau penjatuhan kehormatan, harkat maupun martabat penguasa. Masyarakat dalam sistem Islam harus mengkritisi setiap kebijakan yang diambil oleh penguasa karena kebijakan-kebijakan yang diambil oleh penguasa akan berdampak pada keberlangsungan hidup masyarakat luas.
Dalam sistem Islam, hak masyarakat untuk mengkritik penguasa tidak boleh dibungkam karena kritik penguasa dalam pengambilan kebijakan merupakan bentuk amar ma’ruf nahi mungkar yang hukumnya wajib. Kritik yang diberikan kepada penguasa tentu berlandaskan syariat Islam.
Penyampaian pendapat maupun kritik berdasarkan syariat Islam tentu tidak dapat direalisasikan dalam sistem demokrasi. Untuk mewujudkan keterbukaan dan penerapan peraturan yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengingatkan serta mengkritisi penguasa, diperlukan penerapan sistem Islam secara paripurna. wallahu a’lam.[]
Oleh: Isra Novita
Mahasiswi Universitas Indonesia
0 Komentar