Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mungkinkah Pemimpin Ideal Dalam Sistem Demokrasi?



Topswara.com --Tahun 2022 masih berada di pertengahan tahun, namun geliat manuver politik demi maju pada kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 sudah terlihat gencar dilakukan para pejabat dan elit partai politik. Tak ketinggalan sejumlah partai politik calon peserta Pemilu, Mereka melakukan konsolidasi sejak dini. Muncul, misalnya, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Di dalamnya tergabung Partai Golkar, PAN dan PPP. Ada pula Koalisi Partai Gerindra dan PKB, semua bentuk Koalisi ini dibentuk tidak lain demi kepentingan politik pilpres 2024.

Sejumlah nama tenar muncul dan dimunculkan sebagai calon presiden. Ada Puan Maharani (Ketua DPR-RI) dan Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng) dari PDIP. Ada Airlangga Hartarto (Menko Perekonomian) dari Golkar. Ada Prabowo Subianto (Menhan) dari Gerindra. Ada AHY dari Demokrat. Ada Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dari PKB. Ada pula para tokoh dari kalangan nonpartai seperti Anies Baswedan (Gubernur DKI) dan Tak ketinggalan Erick Thohir (Menteri BUMN) yang diduga juga berambisi menjadi presiden. 

Beberapa lembaga survei juga tak ketinggalan ikut menyemarakkan perhelatan akbar lima tahunan ini, survei tentang para calon terus dilakukan dari waktu ke waktu. Litbang kompas misalnya merilis hasil survei atas survei tertutup untuk 25 nama capres, Ganjar mendapat elektabilitas 25,2% sedangkan Prabowo 24,9%. Survei tertutup atas 10 nama Capres, elektabilitas Ganjar 26,6%, Prabowo 25,2%. “Pada survei 5 nama, Prabowo 28,1%, Ganjar 30,2%, sementara tiga nama capres Prabowo 32,8% dan Ganjar 33,6%, (Kompas, 22/6). 

Lembaga Survei Jakarta (LSJ) juga melakukan survei yang dilakukan 28 Mei sampai 6 Juni 2022. Survei LSJ dilakukan dengan tatap muka dan pendoman kuesioner di 34 provinsi. LSJ menyebut, hasil survei atas elektabilitas Prabowo Subianto mencapai 29,4%, di posisi kedua Ganjar Pranowo dengan hasil 22,2%, kemudian Anies Baswedan 17,4% serta Gubernur Jabar Ridwan Kamil menduduki posisi ke empat dengan elektabilitas 6,5%. (Kontan.id) 

Deretan nama-nama elite parpol dan pejabat yang masuk dalam bursa capres 2024, muncul bukan didasari akan kapabilitas serta keterikatan pada syariah Islam. Semua hanya di dasarkan para sejauh mana calon tersebut dianggap bisa menang dan dapat mengakomodir sejumlah kepentingan para pengusaha dan elite politik. Tanpa peduli apakah calon yang di usung berada dalam kebenaran, memiliki kapasitas terhadap rakyat, apalagi Islam. Tidak ada satupun dari nama-nama yang dimunculkan tersebut memiliki visi demi diterapkannya syariah Islam. Semua hanya demi kepentingan golongan dan ekonomi.

Juga adanya perbedaan calon yang di usung oleh Parpol dan rakyat semakin membuktikan bahwa jargon demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanya ilusi semata. Parpol yang harusnya menjadi wakil aspirasi rakyat nyatanya memiliki haluan sendiri yang tak sejalan dengan rakyat yang diwakilinya di parlemen. 

Dalam Islam urusan kepemimpinan menjadi urusan yang penting. Islam memandang bahwa dalam urusan kepemimpinan serta kekuasaan berarti berbicara penerapan syariah Islam. Karena syariah dan kekuasaan ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Dengan gambaran yang sangat indah, Imam al-Ghazali memberikan keterangan hubungan antara Islam dan kekuasaan. 

Dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumuddin, beliau mengatakan :
 “Agama dan kekuasaan adalah seperti dua orang saudara kembar, keduanya tidak boleh dipisahkan. Jika salah satu tidak ada, maka yang lain tidak akan berdiri secara sempurna. Agama adalah asas sementara kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu tanpa adanya asas akan rusak dan jika tidak dijaga, ia akan hilang.” (Ihya’ ‘Ulumuddin, 1/17)

Dalam Islam tujuan kepemimpinan adalah menjadikan negeri ini bertakwa, hingga berkah Allah SWT tercurah dari langit dan bumi. Karena itulah, Islam menganjurkan untuk mengangkat seorang pemimpin yang mampu mewujudkan hal tersebut. Memiliki kemampuan dalam memimpin dan memiliki visi untuk menjaga agama. Bukan hanya terkenal dan disenangi orang ramai semata. Dan pemimpin seperti itu tidak akan lahir di sistem sekuler-demokrasi. Butuh sistem baik yang mampu melahirkannya yakni penerapan sistem Islam karena tanpa sistem Islam mustahil melahirkan pemimpin ideal dambaan umat.

Syaikhul Islam dalam karyanya As Siyasah Asy Syar'iyah menjelaskan tentang kriteria pemimpin yang ideal memiliki dua sifat dasar yakni kuat(amanah) dan mampu. Yang di maksud mampu adalah kapabilitas dalam setiap urusan, baik dalam urusan peperangan, pemerintahan, yang terwujud pada kapasitas ilmu dan keadilan, serta kemampuan dalam menerapkan syariat. 

Pemimpin yang kuat adalah tidak tersandera dalam kepentingan partai, golongan, apalagi menjadi antek penjajah dan kaum kafir. Kepemimpinan kuat adalah sikap berani melawan kezaliman dan menerapkan syari'at Islam yang datang dari Allah SWT. 

Islam secara mendasar telah mendudukkan kepemimpinan sebagai amanah yang akan di mintai pertanggung jawaban di akhirat kelak. Sehingga, menjadikan pemimpin tak berani bertindak sesuka hati karena merasa diawasi oleh Allah SWT. Seseorang yang kurang tsaqafah Islam dengan sendirinya akan menyingkir dari kontestai, karena merasa dirinya tak layak untuk menjadi imam dari jutaan jiwa dan memimpin mereka di jalan takwa. Orang yang menjadi pemimpin bukanlah sosok yang diliputi nafsu berkuasa, melainkan orang yang terus berusaha menghadirkan sifat adil pada dirinya. Hingga tiada satu makhluk bernyawa pun yang akan dizaliminya. Meski hanya seekor hewan. 

Maka, jalan satu-satunya untuk mewujudkan pemimpin ideal yang islami yakni melalui sistem Islam, yang diemban oleh negara (daulah khilafah). Di dalam sistem Islam para kapitalis (pemilik modal) tidak punya peran menentukan dalam politik, selain peran sebagai warga negara biasa untuk memilih calon pemimpinnya, sehingga tidak memungkinkan adanya kongkalikong antara pengusaha dan penguasa. 

Pemilihan pemimpin dalam Islam berbiaya murah, berlangsung efektif dan efisien namun efektif menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Para calon tidak memerlukan dana besar yang memunculkan peluang campur tangan para pemilik modal. Selama memenuhi syarat in’iqad, siapapun boleh mengajukan diri menjadi calon penguasa. Selanjutnya, rakyat bisa memilih pemimpin yang mereka ridhoi. Dan pemimpin yang terpilih tidak akan terjerat oleh kepentingan para pemilik modal. 

Berbeda jauh dengan sistem demokrasi hari ini dimana para kontestan di dukung para kapitalis dan dana yang besar sehingga melahirkan pemimpin yang berhutang budi pada para pemilik modal dan tidak peduli kebenaran. Maka sudah selayaknya umat Islam bangkit untuk berjuang mewujudkan sistem Islam sehingga mendapatkan pemimpin yang mengayomi dan melayani berdasarkan wahyu Ilahi. Dengan kembali menerapkan Islam secara kaffah dan meninggalkan demokrasi yang hanya menghasilkan pemimpin yang kurang cakap.

 Wallahu a'lam bishawwab 

Oleh: Imroatus Sholeha 
(Pegiat Opini) 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar