Topswara.com -- Malang nian nasib Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang berada di pusat tahanan imigrasi Sabah, Malaysia. Pihak otoritas setempat menahan para imigran tersebut sebab mereka termasuk undocumented atau tanpa dokumen (tempo.co, 29/6/2022).
Menurut data yang didapat dari anggota Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMK), Abu Mufakhir, dalam kurun waktu satu setengah tahun terdapat 149 warga negara Indonesia yang meninggal di seluruh pusat tahanan imigrasi di Sabah (CNN Indonesia, 25/6/2022). Artinya, kasus ini telah terjadi sejak tahun 2021.
Bahkan ada data yang menyebutkan bahwa kasus imigran undocumented telah terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Namun, lambat ditangani oleh pemerintah Indonesia. Ironisnya, pemerintah tetap saja mengirim TKI ke Malaysia tanpa menyelesaikan problem tersebut.
Tentu kita bertanya-tanya. Mengapa pemerintah bersikap seperti itu? Terkesan mengabaikan warga negaranya. Apalagi baru-baru ini Presiden RI, Joko Widodo, melakukan kunjungan ke Rusia dan Ukraina untuk misi perdamaian (Sindonews, 1/7/2022).
Di tengah terancamnya nyawa rakyat Indonesia yang berada di negeri Jiran, mengapa sang pemimpin lebih mengutamakan kepentingan negara lain? Benarkah ini sebuah misi perdamaian? Atau ada motif lain di balik kunjungan tersebut?
Menilik Posisi Indonesia dalam Perpolitikan Global
Sudah menjadi rahasia umum sejak zaman kemerdekaan bahwa Indonesia adalah negara yang menerapkan politik bebas aktif atau bisa juga disebut non-blok. Meneruskan apa yang sudah dirintis oleh Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno. Politik bebas aktif ini artinya Indonesia berusaha untuk netral, tidak bersekutu dengan pihak mana pun. Maka ketika ada konflik dua negara, misal, Indonesia memilih independen dan menjadi penengah. Teorinya begitu.
Namun, melihat perjalanan politik Indonesia pasca kepemimpinan Ir. Soekarno, apakah politik bebas aktif ini benar-benar terealisasi? Tunggu. Yang lebih tepat untuk dipertanyakan ialah, apakah politik bebas aktif ini mungkin dilakukan? Apakah Indonesia benar-benar menjadi negara non-blok?
Untuk menjawabnya cukuplah mudah. Satu hal yang harus kita perhatikan, yakni sejatinya Indonesia berada dalam tekanan Amerika Serikat dan Cina. Lihatlah bagaimana hegemoni AS dengan ideologi Kapitalismenya menyetir arah kebijakan negeri kita dalam berbagai bidang. Mulai dari politik, ekonomi, hingga militer. Pasukan militer Indonesia berada dalam cengkeraman AS melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Kita juga bisa melihat bagaimana TNI AD melalui Garuda Shield dengan sukarela menggelar latihan bersama dengan tentara Amerika Serikat pada Agustus 2021 lalu (tempo.co, 6/8/2021). AS mendapat keuntungan dalam hal ini, sebab berhasil mendapatkan hati militer negara yang memiliki posisi strategis di Asia Tenggara. Indonesia pun bangga menjadi ‘kawan baik’ sang adidaya.
Sementara hegemoni Cina begitu terasa dalam aspek ekonomi, dalam konteks ini perdagangan di wilayah Asia. Indonesia pun bersedia ikut berpartisipasi dalam kerja sama One Belt One Road (OBOR) yang diinisiasi oleh Presiden Cina, Xi Jin Ping. Proyek ini diteken pada tahun 2019 (tempo.co, 27/3/2022).
Kita tak bisa menafikan bahwa memang Indonesia menjalin kerja sama yang erat dengan Cina dalam dunia perdagangan di Asia. Negara kita pun menjadi pasar bagi produk-produk mereka. Hal ini memang menguntungkan bagi Cina, dan setidaknya bagi oligarki Indonesia.
Berbagai fakta di atas cukuplah menjadi bukti bahwa sejatinya Indonesia takkan bisa benar-benar menjadi negara non-blok. Politik bebas aktif hanya isapan jempol. Yang mana yang mendatangkan keuntungan, maka itulah yang Indonesia pilih. Begitu kira-kira. Itu pun entahlah, keuntungan untuk rakyat atau oligarki? Indonesia berada dalam bayang-bayang AS dan Cina. Kita akui posisi Indonesia lemah. Mereka bisa menyetir negeri ini dengan segala cara.
Ya, posisi Indonesia lemah dalam konstelasi politik global. Mari kita lihat bagaimana catatan internasional berbicara mengenai kehadiran Presiden RI dalam sidang tahunan PBB. Dalam periode pertama menjabat, Presiden RI terhitung selalu absen dalam sidang PBB, dan hanya diwakilkan oleh Wakil Presiden, Jusuf Kalla (Liputan6, 29/92022). Pada periode kedua pun, Presiden Jokowi menghadiri sidang melalui virtual saja. Meski dengan dalih padatnya agenda dalam negeri, hal ini tak bisa dijadikan pembenaran.
Sebab hadirnya pemimpin negara sangatlah diperhitungkan. Maka sudahlah Indonesia berada dalam hegemoni negara adidaya, ia tak punya taring. Jika seperti ini, bagaimana bisa kita berharap posisi kita diperhitungkan?
Setelah kunjungan Presiden RI pun, Rusia masih melancarkan serangannya ke Ukraina (detikNews, 2/7/2022). Indonesia memang diterima dengan baik oleh Rusia maupun Ukraina. Namun, untuk menyelesaikannya? Nope. Rusia seolah mengatakan, “Ok. Anda kami terima. Tapi perang ini urusan saya lah, Anda tidak usah ikut campur.” Ketika posisi Indonesia lemah seperti ini, maka jangan terlalu berharap misi perdamaian itu akan benar-benar menyelesaikan konflik Rusia-Ukraina.
Benarkah Misi Perdamaian atau Ada Motif Lain?
Sudah tahu Indonesia memiliki posisi yang lemah, namun mengapa kunjungan ke Rusia dan Ukraina tetap dilakukan? Maka mari kita bergeser ke pembahasan apa saja dampak konflik Rusia-Ukraina ini bagi dunia, khususnya Indonesia. Selain krisis energi akibat konflik tersebut, dunia pun terancam mengalami krisis pangan. Pasalnya, sebanyak 77 juta ton gandum tidak bisa keluar dari Ukraina untuk diekspor (tempo.co, 7/7/2022). Hal ini karena Rusia melakukan blokade pangan terhadap Ukraina.
Daripada Rusia, Indonesia mengimpor gandum lebih besar dari Ukraina. Maka akibat blokade ini, selain kelangkaan gandum, Indonesia mengalami defisit hingga Rp 200 Miliar. Harga gandum dalam negeri pun melambung tinggi. Pertanyaannya, mengapa gandum menjadi topik pembahasan pada kunjungan Presiden RI ke Rusia dan Ukraina? Bukankah bahan makanan pokok masyarakat Indonesia adalah beras? Ini menarik.
Untuk menjawabnya, kita harus mengetahui bagaimana pasar pangan Indonesia selama ini berjalan dan siapa yang menguasainya. Mengapa? Sebab yang terkena imbas besar blokade pangan Ukraina, khususnya gandum, ialah pihak-pihak yang berkuasa di dalam pasar pangan. Ternyata Indonesia yang sangat luas ini, pasar pangan hanya dikuasai oleh segelintir kelompok. Media menyebutnya ‘enam kerajaan bisnis penguasa pasar makanan Indonesia’ atau ‘kerajaan bisnis Grup Salim’ (Kompas, 28/9/2020).
Kerajaan bisnis itu mencakup Bogasari, Indofood, KFC, Indofood CBP, Sari Roti, serta Ivomas dan London Sumatera. Bisnis itu sekarang hanya mengandalkan gandum domestik, yang mana kuantitasnya takkan mencukupi dan kualitasnya tak sebagus gandum Eropa. Nuansa oligarki begitu kental di sini.
Di dalam alam kapitalisme, kelompok bisnis yang menguasai pasar lebih kuat dari pemerintah. Bahkan kelompok tersebut bisa mendesak dan menyetir arah kebijakan negara. Dan ini terjadi di Indonesia. Produk pangan yang dihasilkan dari bisnis-bisnis tadi memang untuk massal/masyarakat, namun yang perlu ditekankan di sini ialah pembahasan gandum ini untuk siapa.
Mengapa Presiden lebih fokus membahas pembukaan blokade pelabuhan Ukraina daripada misi perdamaian? Maka jelas ini bukan untuk menyelesaikan konflik, apalagi untuk kepentingan rakyat Indonesia. Kunjungan ini untuk mereka yang mendapat keuntungan. Siapa lagi jika bukan para oligarki?
Hal ini semakin diperkuat dengan abainya pemerintah terhadap nyawa TKI yang berada di Sabah. Belum ada langkah konkret dan tindakan yang berpengaruh dari pemerintah untuk menyelesaikan problem tersebut. Seolah dinomorduakan. Seolah ada ‘sesuatu’ yang lebih penting daripada nyawa rakyat. Beginilah Indonesia. Ia sejatinya menerapkan sistem kapitalisme yang menempatkan keuntungan materi sebagai orientasi negara.
Islam Menjaga Nyawa, Menjadikan Negara Adidaya
Maha Besar Allah yang telah menurunkan agama Islam untuk menjadi solusi bagi segala permasalahan hidup manusia. Menjadi penerang ketika dunia dirundung kegelapan. Keyakinan terhadap hal itu semakin terbukti ketika Islam benar-benar menghargai dan melindungi nyawa manusia.
Bahkan Islam menekankan penjagaan nyawa ini dilakukan secara langsung oleh negara. Begitu berharganya satu nyawa dalam pandangan Islam. Sebagaimana firman Allahﷻ,
مَن قَتَلَ نَفْسًۢا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِى ٱلْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحْيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعًا
“... barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia.” (QS al-Ma’idah: 32)
Bahkan hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah dibanding hilangnya nyawa seorang mukmin tanpa hak (HR. Nasai).
Penjagaan dari negara yang luar biasa itu mustahil terwujud jika Indonesia masih menerapkan sistem Kapitalisme. Sebab dalam sistem ini, keuntungan materi di atas segalanya, termasuk nyawa manusia. Indonesia, bahkan dunia, memerlukan sebuah aturan pasti yang dapat menjaga nyawa manusia. Aturan yang bebas dari nafsu serakah kepentingan ekonomi. Aturan itu tidak lain dan tidak bukan ialah Islam. Sistem Islamlah solusi yang selama ini kita cari.
Satu-satunya institusi yang mampu menerapkan sistem Islam secara menyeluruh ialah khilafah.
Khilafah akan menjamin terpenuhinya segala kebutuhan rakyat demi menjaga keberlangsungan hidup mereka. Sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan semuanya tercukupi. Maka nantinya warga negara khilafah tak perlu menjadi TKI untuk mendapatkan nafkah.
Hidup mereka telah terjamin di dalam negeri. Rakyat yang sakit pun langsung ditangani dengan fasilitas rumah sakit dan dokter yang gratis. Hal ini sebagaimana masa kepemimpinan Rasulullahﷺ dahulu. Beliau menyediakan dokter gratis untuk mengobati Ubay dan ketika mendapat hadiah seorang dokter dari Raja Mesir, Rasulullahﷺ langsung menjadikannya dokter umum bagi masyarakat (HR. Muslim).
Dalam konteks posisi negara terhadap konstelasi politik global, kita pun perlu belajar dari Islam. Islam mengharuskan negara untuk memiliki kemandirian dan kekuatan adidaya. Bahkan telah ditunjukkan di dalam Islam bagaimana cara untuk mencapainya.
Negara khilafah tak boleh bergantung pada siapa pun, mulai dari aspek politik, ekonomi, hingga militer. Ia menjadi negara independen yang tak mengikuti arahan negara mana pun, apalagi mengikuti negara kafir yang memusuhi Islam seperti AS dan Cina.
Satu-satunya yang menjadi arahan dan sandaran seorang khalifah dalam memimpin negara ialah syariat Islam. Dengan ketundukan pada Allah, ia curahkan hidupnya untuk meri’ayah umat dengan totalitas tanpa memandang keuntungan materi. The entire world needs khilafah. []
Oleh: Aisya Setiawan
Sahabat Topswara
0 Komentar