Topswara.com -- Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar…
Laa ila haillallahu Allahu Akbar
Allahu Akbar... Walillahilhamd
Suara takbir bergema bersahutan di desaku. Musala-musala tak seperti biasanya pada jam tersebut sepi. Yah, pagi ini adalah hari raya Idulfitri yang diumumkan pemerintah. Tepat pukul 02.30 WIB aku terbangun, tetapi mata ini tak terasa mengantuk lagi untuk tidur. Aku beranjak bangun dari tempat tidur untuk ke kamar mandi.
Aku buang air kecil sekalian ambil wudu untuk shalat Tahajud. Tetapi, saat aku mau membuka pintu, perutku terasa nyeri. Lumayan sakit rasanya, tetapi masih bisa kutahan rasa nyeri itu.
Berat badanku sudah 82 kg, sangat kepayahan sekali jika aku shalat dengan berdiri. Maka aku shalat dengan duduk. Memang selama kehamilan lebih dari tujuh bulan aku lebih sering shalat dengan duduk, karena pinggang nyeri dan kerepotan sekali badan ini untuk beranjak berdiri.
Setelah shalat Tahajud dua rakaat, nyeri itu tiba-tiba datang lagi, lebih sakit dari yang pertama. Aku hampiri suami yang tidur terlelap. Terlihat kecapekan raut wajahnya, karena kemarin sore habis perjalanan dari rumah Manyaran Semarang ke rumah orang tuaku di Kendal.
Semakin sakit perutku. Waktu menunjukkan pukul 03.00 WIB, "Yang bangun, perutku sakit," ucapku kepada suami dengan panggilan kesayangan.
Tetapi suamiku tidak mendengar. Beberapa kali aku ulangi membangunkan suami, sampai agak merengek baru bangun. "Yang perutku sakit, kayaknya mau lahiran ini," kataku. Memang hasil pemeriksaan USG sudah waktunya.
Suamiku bangun dan terus kupeluk karena sakit perut yang semakin kuat karena kontraksi di perut. Menunggu azan untuk shalat Subuh seakan-akan terasa lama sekali, sementara perut sudah mules melilit.
Ketika sudah memasuki azan untuk shalat Subuh, aku dan suami shalat berjamaah di rumah karena ingin cepat-cepat bergegas periksa ke bidan. Alhamdulillah rumah Bu Bidan dekat dengan rumahku masih satu dusun. Tidak ada lima menit menuju rumahnya.
Setelah diperiksa, ternyata sudah bukaan satu. Bu bidan mengatakan nanti ke Puskesmasnya jam 10.00 WIB atau jam 09.00 WIB pesannya.
Bu Bidan tidak bisa membantu untuk proses lahiranku, karena beliau ingin mudik ke Purwodadi. Proses persalinan di pindahkan ke bidan lain yang masih tetangga desa.
Aku pulang sama suami, sesampainya di rumah, perut makin sakit menjadi-jadi. "Yang, ini perutnya sudah sakit sekali, ayo ke Puskesmas sekarang!" ajakku.
Sementara itu, ibuku yang biasa kupanggi Mak’e meminta tolong kepada tetangga samping rumah untuk mengantarkan ke Puskesmas terdekat. Aku belum ada mobil, jadi meminta bantuan tetangga untuk mengantarku.
Mobil Mobilio putih yang dibawa Kang Sulis tetanggaku itu sudah menunggu di depan rumah, aku dan suami pun masuk sekaligus membawa perlengkapan untuk melahirkan. Dalam perjalanan kang Sulis pun menceritakan momen saat ia mengantarkan istrinya ke klinik waktu melahirkan dulu.
Sebenarnya jarak rumah ke Puskesmas dekat, mungkin sekitar 5-10 menit sampai. Tetapi lagi-lagi terasa lama dan jauh untuk sampai ke Puskesmas. Dalam perjalanan aku kesakitan menahan kontraksi semakin kuat.
Sesampainya di Puskesmas terlihat ada satu motor yang parkir, akan tetapi gerbang ditutup. Posisiku masih di dalam mobil, sementara suami menelpon bidan yang membantu proses persalinanku, karena setelah Kang Sulis masuk ke dalam Puskesmas tidak ada bidan yang bertugas.
Beberapa kali kontraksi di dalam mobil dan aku sambil menahan sakit. "Kok, belum datang-datang ya bidannya, apa mau pindah puskesmas saja," kata Mak’e. Mak’e sempat berpikiran untuk pindah Puskemas lain. "Apa mau di bawa ke Puskesmas Pegandon saja?" ujar Mak’e.
Sudah 15 menit berlalu, tiba-tiba dari arah selatan datang seorang perempuan naik motor dan menuju ke Puskesmas. Mak’e mengatakan, "Oh, itu bidannya sudah datang."
Aku langsung dibawa masuk ke ruang persalinan. Diperiksa lagi ternyata sudah bukaan lima, makin sakit, dan tambah sakit mulas perutnya. Mak'e dan suami di sampingku menunggu proses persalinan yang dibantu Bu Sri bidan dari Kebonagung dan satu bidan lagi. Sementara Pak’e menunggu di luar ruangan.
"Aduh... Aduh... Sakit," rintihku.
"Ya, semua orang melahirkan sakit. Ayo sambil baca wirid, jangan bilang aduh-aduh terus" kata Mak’e.
Yang terucap waktu itu hanyalah istigar, "Astagfirullah hal’azim… Astagfirullah, Astagfirullah," ucapku sambil merintih kesakitan.
Bu Sri menginginkan untuk tidak mengangkat bokong. Aku disuruh miring ke kiri dan kaki ditekuk. Karena susah aku tidak bisa menekuk kaki, akhirnya kakiku diangkat suami dan diletakkan di bahunya.
"Mbak sudah bukaan delapan, sekarang boleh mengejan" kata bidan. Dua kali aku mengejan, yang pertama belum keluar.
"Aaaaa.. Aaaaa," jeritku. Si bayi jebrol tepat pukul 06.25 WIB, tanggal 2 Mei 2022 dengan selamat.
"Alhamdulillah… Ya Allah," batinku.
Seketika badanku lemas dan masih belum nyangka telah melalui proses yang menyakitkan bertaruh nyawa untuk melahirkan anak. Aku disodori teh hangat oleh bidan untuk diminum agar tambah tenaga. Si bayi diazani suamiku, lalu dibersihkan bu bidan.
Ternyata perjuangan belum usai, ari-ari dalam perutku tak kunjung keluar. Diurut-urutlah perut ini, sampai 30 menit tak juga keluar. Ditekan-tekan tambah keras, lagi-lagi aku menahan sakit yang kedua kalinya.
"Aduh... Aduh…" jeritku.
Bu Sri kemudian memasukkan tangannya ke dalam rahimku dan diambilnya ari-ari. Alhamdulillah, ari-ari berhasil keluar. Andai saja ari-ari tidak berhasil keluar akan di rujuk ke Rumah Sakit Kendal. Untung saja bisa berhasil keluar, padahal salah satu bidan yang menangani sudah membuat surat rujukkan ke rumah sakit.
Jam 08.00 WIB aku langsung disuruh berlatih miring ke kanan, miring ke kiri, berlatih duduk, berdiri, dan berjalan. Sebenarnya masih sakit sekali, karena bekas jahitan yang lumayan banyak di vaginaku membuat nyeri untuk bergerak.
Bagaimana pun sakitnya harus bisa kulalui agar bisa pulang. Alhamdulillah, ketika sudah bisa berdiri, berjalan, dan tensi darah juga normal, maka diperbolehkan pulang pukul 10.00 WIB.
Pulang dijemput lagi oleh Kang Sulis tetanggaku. Alhamdulillah sampai rumah dengan selamat setelah beberapa berjuang melahirkan bertaruh nyawa, dan Allah memberikan kemudahan untuk keluarnya bayiku. Muhammad Ghozi Pradana, nama bayiku yang pertama, semoga menjadi anak yang shalih, penolong, dan pejuang di jalan Allah. Aamiin…[] Munamah
0 Komentar