Topswara.com -- Pencabutan subsidi, menutup kantor pemerintahan dan sekolah tengah terjadi di Sri Lanka. Tidak hanya itu, ancaman krisis pangan dan energi telah terjadi dan membuat warga berkecamuk di sana. Dikutip dari suara.com, pemerintah Sri Lanka kini resmi menyatakan bahwa negaranya mengalami kebangkrutan pada Kamis (23/6/2022). Laman berita The Guardian melaporkan bahwa Sri Lanka dinyatakan bangkrut setelah menghadapi kekurangan ketersediaan bahan pokok dari bahan bakar, listrik, hingga makanan.
Dikutip dari Kompas.com (27/6/2022), Sri Lanka bangkrut karena beberapa hal. Pertama, impor lebih besar daripada ekspor. Sri Lanka gagal mengelola ekonomi, karena besar pasak daripada tiang. Hal itu terjadi terus-menerus. Kedua, utang ke asing. Iming-iming pembangunan infrastruktur yang mewah membuat Sri Lanka pinjam uang ke China, inilah penyebab Sri Lanka terjerat utang.
Ketiga, pemasukan sektor pariwisata akibat pandemi Covid-19 kecil. Sehingga Sri Lanka kekurangan sumber pemasukan. Keempat, tidak mampu memproduksi pangan. Sri Lanka tidak bisa impor karena ancaman krisis, larangan impor pupuk membuat produksi pangan mandeg.
Dikutip dari CNNIndonesia (28/6/2022), China disebut sebagai negara pemberi pinjaman terbesar ke Sri Lanka dengan total nilai US$ 8 miliar atau setara Rp118,4 triliun (asumsi kurs Rp14.800 per dolar AS). Jumlah ini seperenam dari total utang luar negeri Sri Lanka sebesar US$45 miliar pada April 2022. Melansir Times of India, tahun ini saja, Sri Lanka utang US$1 miliar hingga US$2 miliar ke Negeri Tirai Bambu. Pemerintah Sri Lanka banyak meminjam dari Beijing sejak 2005 untuk sejumlah proyek infrastruktur, termasuk pelabuhan Hambantota. Namun, proyek infrastruktur tersebut dianggap tak memberi manfaat.
Hal senada tidak jauh berbeda dengan Indonesia, utang Indonesia ke IMF, negara asing lainnya maupun China cukup banyak. Pada Maret 2022, Indonesia memiliki utang sebesar 22 miliar dollar AS atau senilai Rp 322 triliun ke China (Kompas com, 29 Mei 2022). Indonesia melakukan pembangunan infrastruktur besar-besaran, bahkan proyek pindah ibu kota pun juga digadang akan dilakukan dengan mencari investor asing. Sejatinya inilah alarm malapetaka yang sedang dirancang Indonesia sendiri. Utang Indonesia tembus 7000 triliun. Dikutip dari CNBCIndonesia.com (27/6/2022), rasio utang Indonesia, saat ini masih dalam kondisi aman dan terkendali pada level 39,09 persen pada akhir April dan posisi utang mencapai Rp 7.040,32 triliun.
Dilansir dari CNBCIndonesia.com (15/7/2022), posisi ULN Indonesia pada akhir Mei 2022 tercatat sebesar 406,3 miliar dolar AS atau Rp 6.094,5 triliun (kurs Rp 15.000/US$. Realisasi ini turun dibandingkan dengan posisi ULN pada bulan sebelumnya sebesar 410,1 miliar dolar AS.
Tidak ada yang aman dalam utang ribawi. Utang riba mengundang bencana, apalagi utang ini dilakukan oleh negara kepada negara kapitalis penjajah. Sejatinya pemerintah Indonesia sedang merencanakan kesengsaraan berlapis akibat utang ribawi ini. Tetapi, Indonesia merasa aman ketika utang jatuh tempo, mereka bisa membayar bunga utangnya. Padahal bahaya akibat utang ribawi ini datang dari Allah Subhanahuwa wata'ala yang mengancam pelaku riba. Sejatinya para pelaku riba sedang menabuh genderang perang terhadap Allah Subhanahuwa wata'ala.
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba,” (QS Al-Baqarah: 275). Tak hanya hartanya yang akan menjadi haram, tetapi tindakan pemberi riba maupun penerima riba akan menerima status keharaman dari riba. Dari Jabir, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikannya.” Ia berkata: “Mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim, nomor 2994).
Riba menjadi pintu masuk penjajahan, penjarahan, dan penindasan. Inilah bahaya yang nyata mengancam mereka yang utang ribawi. Sebagaimana dalam surah Ani-Nisa, “Maka sebab penindasan yang dilakukan oleh orang Yahudi, maka kami haramkan kepada mereka harta yang baik-baik yang (sebelumnya) pernah diperbolehkan bagi mereka disebabkan tindakan mereka yang keluar dari jalan Allah, tindakan mereka dalam memungut riba padahal telah dinyatakan larangannya, dan tindakan mereka dalam memakan harta orang lain dengan jalan bathil (jalan yang tidak dibenarkan oleh syara). (Untuk itu) telah kami siapkan bagi orang-orang yang membantah perintah Allah ini (kafir) suatu azab yang pedih,” (QS. An-Nisa: 16). Sungguh ini adalah alarm bahaya. Seharusnya Indonesia menyetop utang pembayaran bunga bank dan cukup bayar pokoknya saja, karena memang haram hukumnya utang ribawi. Masihkah penguasa negeri ini ngeyel?
Karena, jika Indonesia tetap santai dan merasa aman terhadap utang ribawi yang sudah menyentuh angka 6000an triliun ini akan mengundang malapetaka untuk negerinya, utamanya rakyat yang seharusnya diriayah (dikelola) dengan benar. Mereka para pejabat diberi fasilitas wah di negera ini. Tetapi berbeda dengan rakyat yang akan berdampak besar jika krisis ekonomi itu terjadi. Lonjakan harga pangan, pajak naik, semua kena pajak, dan parahnya krisis multidimensi tidak dapat terhindarkan.
Alih-alih tobat dari utang ribawi, tetapi negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalistik justru sibuk mencari suntikan dana segar. Sejatinya, ini yang membuat sebuah negara dalam kendali penuh penjajahan asing. Rakyat jadi korban dan tumbal atas nama utang ribawi ke negara-negara asing. Banyak kebijakan-kebijakan yang diputuskan menzalimi rakyatnya sendiri dan menguntungkan kapitalis asing. Di sinilah kongkalikong penguasa dan pengusaha terjadi. Itulah kezaliman nyata yang masif, terstruktur, dan sistematis yang terjadi dalam sistem kapitalisme sekuler.[]
Oleh: Ika Mawarningtyas (Direktur Mutiara Umat Institute) dan Alfia Purwanti (Analis Mutiara Umat Institute)
0 Komentar