Topswara.com -- Institusi Kepolisian terus menjadi pusat perhatian dengan berbagai kasus besar yang tidak "mampu" diusut tuntas. Seperti kekerasan terhadap Novel Baswedan, kematian warga sipil dalam kerusuhan 21-22 Mei 2019, tragedi KM 50, dan masih banyak kasus besar lain yang berujung misteri. Dan kini muncul kasus baru yakni penembakan sesama anggota Kepolisian.
Dikutip dari KOMPAS.com, 15/7/2022, baku tembak terjadi antara dua anggota Polri, yakni Brigadir J dan Bharada E, di rumah Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Irjen Ferdy Sambo. Banyak pihak melihat kejanggalan kasus tersebut, diantaranya: CCTV yang kabarnya rusak (mati), adanya kasus yang baru diumumkan setelah lewat dua hari, jenazah dikirim secara diam-diam kepada pihak keluarga, adanya tanda-tanda bekas siksaan selain tembakan, juga keterangan pihak Kepolisian yang kadang berbeda dan berubah-ubah.
Melihat sepak terjang penegakan hukum di tanah air yang jauh panggang dari api, karena lebih banyak memihak penguasa, pengusaha, juga politisi, tentu saja membuat banyak orang skeptis kasus tersebut dapat diadili dan diusut tuntas.
Sementara di sisi lain, justru masyarakat dibuat ketakutan akan banyaknya warga yang diadili dengan tuduhan kasus-kasus kecil, seperti menyebarkan hoax, menghina pejabat negara, menyuarakan pendapat, dan lain-lain. Namun, para buzzer yang menista tokoh Islam dan menyebar berita palsu nyaris tak dijerat hukum.
Persoalan hukum di mana pun sebenarnya bersumber pada dua hal besar yakni kesahihan hukum itu sendiri dan moralitas para penegak hukum. Hukum yang sahih pasti adil. Penegak hukum yang amanah juga akan menjamin keadilan untuk semua pihak.
Hukum selamanya tidak akan sahih jika datang dari akal dan hawa nafsu manusia, bukan dari ketetapan Pencipta manusia, Allah SWT. Selain itu, hukum buatan manusia penuh dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Ditambah landasan yang sekuler materialis semakin menjadikam hukum buatan manusia bersifat buas dan liar. Karenanya, tak heran hukum yang ada berisi pasal-pasal karet sehingga dapat ditarik-ulur sesuka hawa nafsu yang berkepentingan.
Allah SWT telah mengingatkan bahwa kehancuran akan datang jika standar kebenaran mengikuti hawa nafsu. Dan mereka adalah orang yang sesat. Allah SWT berfirman:
"Andai kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka peringatan, tetapi mereka berpaling dari peringatan itu" (TQS al-Mukminun [23]: 71).
"Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun?" (TQS al-Qashash [28]: 50).
Penegakan hukum dalam sistem kapitalisme sekular sangat berbeda dengan penegakan hukum Islam, yang menjamin dan mewujudkan keadilan karena datang dari Allah Yang Maha Adil, bebas dari hawa nafsu manusia dan kepentingan politik. Hukum Islam aturannya jelas dan tegas.
"...Sungguh yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya, jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!” (HR al-Bukhari).
Keadilan hukum juga akan didapat dengan sikap amanah para penegak hukum. Allah SWT telah memerintahkan kaum Muslim untuk menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya.
"Sungguh Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya. Jika kalian memutuskan hukum di antara manusia, putuskanlah hukum dengan adil" (TQS an-Nisa’ [4]: 58).
Hanya saja, berbicara amanah tentu tidak lepas dari persoalan keimanan. Sebab, amanah ini hanya muncul jika keimanan menjadi landasan kehidupan. Amanah erat kaitannya dengan keimanan terhadap adanya Hari Penghisaban dan Pembalasan di akhirat kelak.
Maka, sikap amanah menjadi langka di tengah masyarakat sekuler materialis. Sebab, sekulerisme telah memisahkan persoalan dunia (dalam hal ini penegakan hukum) dengan akhirat, yakni keimanan beserta aturan yang mengikatnya. Akibat sekularisme lahirlah hukum yang buas serta para penegak hukum yang bermasalah.
Suap menyuap, penyalahgunaan jabatan, saling menjatuhkan, hukum bisa dibeli, menjadi hal biasa. Kepercayaan umat kepada penegakan hukum beserta penegaknya terus merosot. Main hakim sendiri menjadi salah satu indikasi. Banyak masyarakat enggan berhubungan dengan pengadilan.
Hanya hukum Islam yang mampu menciptakan keadilan. Tidak ada satu orang pun yang kebal hukum, khalifah sekalipun. Khalifah Ali bin Abi Thalib bisa dikalahkan di pengadilan oleh seorang yahudi ketika bersengketa terkait baju besi, sebab saksi yang dihadirkan oleh Khalifah Ali tidak memenuhi syarat.
Dalam sistem Islam, penyelesaian sebuah masalah tidak dibikin ribet dan berbelit-belit. Contoh kasus yang dialami Khalifah Ali. Bahkan ketika terjadi penyimpangan di pasar seperti mengurangi timbangan, seorang Qadli bisa langsung mengingatkan dan menindak tegas pelaku untuk kembali menjalankan jual belinya sesuai syariat.
Tidak dikenal istilah "kalau kehìlangan
ayam kemudian diajukan ke ranah hukum maka akan kehilangan domba".
Masyarakat benar-benar akan merasakan kenyamanan dan keamanan di bawah para penegak hukum yang hanya takut kepada Allah Swt.
Kuatnya keimanan kepada Allah SWT. di samping kemampuan dalam seluk beluk peradilan Islam, menjadi prasyarat utama bagi para penegak hukum. Sehingga penegak hukum yang bermasalah dapat diminimalisir.
Selama kapitalisme sekular tegak mengatur kehidupan, maka selama itu pula berbagai penyimpangan penegakan hukum akan terus berlangsung. Negeri yang terkenal dengan keramahtamahannya, malah berjubel kasus penuh misteri.
Hanya sistem Islam yang mampu mengurai, menuntaskan serta memberikan keadilan bagi seluruh warganya.
Wallahu alam bi ash-shawwab
Oleh: Nita Kurnia
Sahabat Topswara
0 Komentar