Topswara.com -- Tenaga honorer dianggap sebagai beban negara. Sementara pada waktu yang sama pemerintah senantiasa membuka peluang investasi (baca: mencari utang).
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Menteri PANRB (Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi) Tjahjo Kumolo, adanya rekrutmen tenaga honorer telah mengacaukan hitungan kebutuhan formasi aparatur sipil negara (ASN) di instansi pemerintah. Alasan lainnya karena keberadaan tenaga honorer dianggap membebani anggaran pusat (detikfinance, 23 Jan 2020). Pemerintah juga berdalih bahwa penghapusan tenaga honorer merupakan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 48/2005 plPasal 8 tentang larangan rekrutmen tenaga honorer.
Kemenpan RB melalui Surat Menteri PAN-RB tentang Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah nomor B/165/M.SM.02.03/2022 yang juga telah disepakati Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Komisi II DPR bakal menghapus tenaga honorer di instansi pemerintahan pusat maupun daerah mulai 28 November 2023.
Sungguh sangat menyakitkan alasan yang dikemukakan oleh Menteri PANRB bahwa tenaga honorer menjadi beban negara. Padahal selama ini gaji yang mereka terima terlalu kecil, tidak sepadan dengan waktu dan tenaga yang dicurahkan. Bagaikan kerja rodi masa kini.
Narasi tersebut menampakkan secara jelas bahwa pemerintah berniat berlepas tangan dengan keberadaan tenaga honorer. Padahal tidak dipungkiri mereka juga menyumbang pajak bagi negara. Jadi tidak adil kalau tenaga honorer dikatakan sebagai beban negara.
Alih-alih memakmurkan warganya dengan membuka lapangan pekerjaan, terutama bagi lulusan sarjana yang membludak. Pemerintah justru hendak memberhentikan sejumlah tenaga honorer.
Keberadaan tenaga honorer juga dianggap telah mengacaukan hitungan kebutuhan formasi ASN di instansi pemerintah. Sebenarnya kalau pemerintah lebih jeli dan profesional, pemetaan dan penghitungan kebutuhan ASN di setiap instansi pemerintah bukanlah hal yang sulit. Karena pemerintah mempunyai data di setiap instansi. Dengan demikian, ada atau tidak tenaga honorer mestinya tidak mempengaruhi hitungan kebutuhan formasi ASN.
Persoalan administrasi dan birokrasi menyebabkan tidak semua tenaga honorer bisa otomatis diangkat menjadi ASN, entah sebagai pegawai negeri sipil (PNS) ataupaun pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Apalagi bagi mereka yang terkendala usia, pupus sudah harapan untuk menjadi ASN meskipun sudah mengabdi selama puluhan tahun.
Persoalan lain yang akan muncul jika semua honorer dihapuskan secara serentak pada 28 November 2023 adalah adanya potensi lumpuhmya birokrasi dan pelayanan publik di kantor-kantor dinas di daerah. Sebab selama ini instansi-instansi tersebut masih mengandalkan tenaga honorer.
Di tengah kondisi ekonomi yang kian terpuruk, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang menambah nasib bangsa kian buruk. Karena penghapusan tenaga honorer tersebut akan menambah jumlah pengangguran, apabila tidak diiringi solusi yang tepat dan manusiawi.
Inilah fakta di negara yang menerapkan sistem kapitalisme, termasuk Indonesia. Dalam pandangan penguasa kapitalis, memberikan lapangan pekerjaan dengan gaji yang layak bagi rakyat dianggap membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Sementara tumpukan utang yang terus menggunung demi syahwat penguasa dalam pembangunan infrastruktur dianggap lazim dan terus membudaya di setiap rezim.
Alhasil, utang yang meningkat membuat APBN kian sekarat. Lagi-lagi yang disalahkan justru rakyat, karena telah menjadikan beban negara kian meningkat. Pada akhirnya, penguasa tidak lagi menjadi pelayan rakyatnya, namun menjadi pelayan pengusaha.
Berbeda dengan sistem Islam dalam daulah khilafah. Dalam Islam, hubungan pemerintah dengan rakyat adalah hubungan pengurusan dan tanggung jawab. Daulah bertanggung jawab penuh dalam memelihara urusan rakyatnya termasuk penyediaan lapangan kerja. Rasulullah SAW bersabda:
اَÙ„ْØ¥ِÙ…َامُ رَاعٍ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ Ù…َسْؤُÙˆْÙ„ٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ
"Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam Islam, negara (khilafah) berkewajiban memberikan pekerjaan serta menciptakan dan membuka lapangan kerja seluas-luasnya kepada mereka yang membutuhkan. Khilafah pun boleh mempekerjakan baik Muslim maupun kafir dengan perlakuan yang adil sejalan dengan hukum syariat.
Hak-hak semua pegawai, baik pegawai biasa maupun direktur, dilindungi oleh khilafah. Syariat Islam tidak mengenal istilah honorer dalam perekrutan pegawai negara. Karena pegawai negara diangkat sesuai kebutuhan riil negara untuk menjalankan semua pekerjaan administratif maupun pelayanan publik dalam jumlah yang mencukupi.
Semua pegawai negara dalam khilafah digaji lewat akad ijarah dengan gaji yang layak sesuai jenis pekerjaan. Gaji pegawai negara diambil dari kas baitulmal. Namun apabila tidak mencukupi, maka bisa ditarik dharibah/pajak yang bersifat temporer. Artinya pajak hanya dipungut dari rakyat yang mampu dan sebatas jumlah yang diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih.
Lebih dari itu, seluruh pegawai Muslim negara khilafah bekerja tidak sekadar hanya ingin mendapatkan upah, namun mereka memahami bahwa bekerja melayani urusan rakyat merupakan ibadah yang memiliki banyak keutamaan.
Inilah keagungan syariat Islam dalam mengatur semua aspek kehidupan. Sudah seharusnya kaum Muslim makin bersemangat memperjuangkan penerapan syariat Islam dalam naungan negara khilafah.
Oleh: Pujiati S.R., S.ST.
(Pemerhati Sosial)
0 Komentar