Topswara.com -- Dikutip dari detik.com (23/05/2022), Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Fadil Zumhana menyebut Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menghentikan sedikitnya 1.070 perkara dengan menggunakan pendekatan restorative justice.
Restorative justice itu diterapkan terhadap perkara tindak pidana yang sifatnya ringan, sesuai Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative.
Melalui pemaparan Jampidum Fadil Zumhana yang dikutip oleh detik.com (23/05/2022), dapat diketahui ada beberapa alasan yang mendukung kebijakan keadilan restoratif ini untuk diterapkan, diantaranya, karena kondisi penjara di Indonesia sudah terlalu padat, sehingga penerapan praktik keadilan restorative diharapkan membawa konsekuensi mengurangi napi di lembaga pemasyarakatan.
Kejagung terus mendapat desakan dari masyarakat untuk tidak melanjutkan penuntutan terhadap tindak pidana yang tidak perlu untuk dituntut dan sifatnya ringan. Hal itu disebabkan karena biaya penuntutan perkara disebut mahal.
Sistem hukum Indonesia menganut prinsip diskresi penuntutan, di mana kejahatan akan dituntut hanya jika penuntutan itu dianggap tepat dan lebih bermanfaat bagi kepentingan umum.
Fadil menambahkan, beberapa kriteria perkara yang dapat dijatuhkan atau dikesampingkan dengan menggunakan prinsip penuntutan diskresioner, yaitu tindak pidana dilakukan baru pertama kali, bukan tindak pidana yang berat, serta nilai, atau kerugian yang ditimbulkan, tidak terlalu besar.
Disamping itu, juga perlu diperhatikan faktor lain, seperti terdakwa merupakan masyarakat yang secara ekonomi kurang beruntung; atau terdakwa adalah satu-satunya pencari nafkah keluarga, dimana keluarga akan ikut menderita apabila pelaku ditahan. (detik com 23/05/2022)
Puncaknya, penerapan keadilan restoratif diharapkan dapat membantu pemerintah mengurangi residivisme, melestarikan nilai-nilai keadilan lokal dan mendorong rekonsiliasi antarakorban, dan pelaku di masyarakat (detik.com 23/05/2022).
Sudah Tepatkah?
Sekilas kebijakan ini seperti solusi. Namun, jika dianalisa lebih cermat, kebijakan ini justru semakin mengkonfirmasi adanya kecatatan hukum di negeri ini. Banyaknya jumlah kasus besar yang dihentikan, ditambah fakta kondisi penjara yang sudah terlalu padat.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, ada apa dengan sistem sanksi di negeri ini? Mengapa penjara menjadi seperti tempat wisata yang laris manis disesaki namun oleh para napi? Mengapa kriminalitas seperti bukan hal yang ditakuti melainkan hal yang digemari untuk dilakukan?
Inilah potret buram ketika sistem sanksi dibuat berdasarkan aturan manusia semata. Manusia yang lemah dan terbatas akan menghasilkan kebijakan yang lemah dan terbatas pula. Inilah yang disebut dengan sistem kapitalis.
Di sistem ini untung rugi adalah segalanya termasuk dalam membuat kebijakan. Maka jangan heran, jika keadilan adalah sesuatu yang mahal dan langka untuk didapatkan. Lalu apa bedanya ketika kebijakan restorative justice ini diterapkan. Bukankah kebijakan ini juga menjadikan pendapat manusia sebagai landasannya? Ketidakjelasan yang akan menghasilkan berbagai tafsir itu dapat dilihat misalnya dari kriteria perkara yang dapat dijatuhkan atau dikesampingkan dengan menggunakan prinsip penuntutan diskresioner.
Diantaranya yaitu bukan tindak pidana yang berat, serta nilai, atau kerugian yang ditimbulkan, tidak terlalu besar. Disamping itu, juga perlu diperhatikan faktor lain, seperti terdakwa merupakan masyarakat yang secara ekonomi kurang beruntung.
Seperti apakah yang disebut dengan bukan tindak pidana berat? Seberapa banyakkah yang termasuk kerugian tidak terlalu besar? Seperti apakah masyarakat yang kurang beruntung? Alih-alih mengurangi residivisme, tidakkah kebijakan ini justru akan membuat pelaku semakin menemukan dalih baru untuk beraksi?
Apa Solusinya?
Kesalahan sistem kapitalisme adalah pemisahan agama dengan kehidupan. Islam memiliki aturan lengkap dan sempurna sebab berasal dari Sang Pencipta yang Maha Tahu kelemahan hamba-Nya.
Dalam menetapkan hukum, Islam telah mengatur bahwa kedaulatan ada di tangan syara. Manusia hanya sebagai pelaksana. Artinya setiap hal akan distandarkan pada apa yang telah Allah SWT tetapkan dan apa yang Rasulullah Saw. tuntunkan.
Sistem sanksi dalam Islam tidak hanya memberikan efek jera (jawazir), tapi juga sebagai penghapus dosa bagi pelakunya (jawabir). Sehingga pelaku tidak akan dihukum lagi di akhirat kelak atas dosa kriminalitas yang dilakukannya.
Masyarakat pun akan berpikir seribu kali untuk melakukan tindakan serupa, sebab sanksi tegas telah pernah dilihatnya di depan mata. Karena pemberian sanksi dalam Islam dilakukan di lapangan terbuka.
Hal yang tidak kalah penting adalah sistem Islam tidak mencukupkan penerapannya hanya pada pemberian sanksi, tapi di semua lini termasuk sosial dan ekonomi yang akan luar biasa memberi keamanan dan kesejahteraan.
Hasilnya telah terbukti, bahkan seorang sejarawan barat bernama Will Durant telah menyatakan dalam bukunya yang berjudul The Story of Civilization, “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka". Maasyaa Allah. Inilah Islam, ketika aturannya diterapkan secara keseluruhan maka rahmat bagi seluruh alam yang akan kita rasakan.
Oleh: Noor Dewi Mudzalifah
Pegiat Literasi
0 Komentar