Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

PR Partai dalam Mengusung Pemimpin


Topswara.com -- Pilpres memang masih dua tahun lagi. Namun, desas desus koalisi beberapa partai mulai menyelimuti media. Sebut saja partai PKS yang saat ini sedang mencari calon untuk mereka usungkan ke konstestan pemilu 2024 nanti. PKS akan mengusung langsung capres-cawapres yang berpontensi menang. Perkataan yang sempat disampaikan sekjen PKS di acara milad PKS ke 20.

PKS telah membidik nama tokoh-tokoh yang menurutnya menarik. Rencananya sekjen PKS akan meminang calon secara mendadak di acara milad partainya itu. Sekjen PKS langsung menyebut satu persatu nama-nama yang telah menjadi targetannya. Seperti, Muhaimin Iskandar, Anis baswedan, Sabdiaga uno dan Agus Harimurti Yudhoyono. Serta menyampaikan harapan sekjen PKS agar PKS berjodoh dengan mereka (meredeka.com, 29/5/22).

Menjadi hal yang lumrah jika menghadapi konstestan pilpres, para partai mengaudisi calon mana yang pantas mereka lamar. Namun, ada hal yang harus dievaluasi dari peminangan calon presiden dari partai-partai. Janganlah mereka mengulangi kesalahan yang sama. Hanya memilih calon usung tanpa akad yang jelas perihal tanggungjawab partai dan sang calon usung terhadap rakyatnya.

PKS mesti memperhatikan betul apa latarbelakang calon yang akan dipercayanya itu. Apakah mereka mampu memenuhi janji-janjinya ataukah tidak. Sebab, rata-rata visi misi yang mereka katakan, seringkali diingkarinya. Sebagaimana kita lihat fakta setiap pasca pilpres, calon yang masyarakat dan partai usung selalu kembali melupakan janjinya. Alhasil rakyat berulang termakan janji palsu para calon pemimpinnya.

Terlebih PKS dikenal sebagai partai Islam. PKS harus bisa mengazamkan dalam diri partainya, Islam sebagai landasan berpikir dalam mengangkat seorang pemimpin. Sehingga, partai tersebut lebih peka dan tahu mana yang harus dilakukan untuk menjadikan pemimpin negara serta negaranya itu mendapatkan ridha Allah. Jangan lantas membiarkan pemimpin negeri ini terus bermaksiat kepada Allah, dengan memberlakukan kebijakan yang jauh dari Islam. 

Ayat Al-Qur'an dan hadis pun memperingatkan atas kezaliman para pemimpin. Mereka akan mendapat ganjaran yang amat pedih dari Allah sebagai pembalasan di akhirat kelak. “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada sesama manusia dan melampaui batas di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran. Mereka itu mendapatkan siksa yang pedih” (QS asy-Syura: 42).

"Seorang pemimpin yang zalim akan merasakan akibatnya pada Hari Pembalasan. “Sungguh, manusia yang paling dicintai Allah pada Hari Kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah ialah pemimpin yang adil. Orang yang paling dibenci Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah pemimpin yang zalim” (HR Tirmidzi).

Seharusnya mereka tahu PR besar dari pengangkatan seorang pemimpin. Selain dilihat dari agamanya, juga terpenting bagaimana sang calon mampu mengaplikasikan agamanya dalam negara. Kebijakan yang otomatis akan menampakkan perlakuan sang calon usung terhadap rakyat pasca dilantik sebagai pemimpin negara. 

Jika saja ia dapat memenuhi akadnya sebagai pemimpin Islam, menerapkan Islam sebagai sistem negara. Ia akan mendapatkan keridaan Allah yang akan menurunkan keberkahan bagi negerinya. Sebaliknya, jika ia tetap berkhianat, maka tunggulah kehancuran melanda negeri. 
Bukankah kita tak mau jika hal ini terjadi? 

"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. Dan berapa banyaknya kaum sesudah Nuh telah Kami binasakan. Dan cukuplah Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Melihat dosa hamba-hamba-Nya". (Q.S. Al Isra 16-17)

Namun, memandatkan pemimpin yang ingin mengaplikasikan Islam dalam sistem demokrasi pastilah akan menjadi sebuah khayalan. Antara Islam dan demokrasi tidak akan pernah sinkron dalam melahirkan aturan dalam negara. 

Islam lahir dari sang pencipta. Aturannya pasti akan sama, satu ide tanpa mengenal perbedaan. Sedangkan demokrasi buah dari pemikiran manusia. Makhluk dengan segudang pemikiran yang berbeda-beda dalam menghukumi fakta. Alhasil tidak heran jika kebijakan seringkali berubah-ubah sesuai pesanan. 

Adapun diperlukan thariqah yang hak untuk mewujudkan Islam kaffah. Thariqah yang pernah dicontohkan oleh Rasullullah dan para sahabat kala menginginkan Islam sebagai landasan bernegara. Bukan atas landasan perjanjian, melainkan karena keimanan yang menuntut Rasulullah untuk mempraktikkan Islam kaffah. 

Seperti sejarah Rasullullah tidak pernah menyetujui sistem kompromi dari kaum kafir dalam mengemban dakwah Islam kaffah. Ia menolak harta, wanita serta tawaran berselang sehari menerapkan syariat Islam dengan hukum lain dari kaum kafir. 

Artinya Rasulullah tidak pernah terlebih dahulu masuk ke pemerintahan jahiliyah yang ada pada saat itu. Sebagai contoh sejarah penerapan Islam kaffah di Madinah pasca diterimanya Rasulullah oleh kaum anshor. Rasul langsung mengganti sistem pemerintahan Madinah tanpa jalan tengah. Rasul pun menjadi kepala negara Madinah di kala itu.



Oleh: Gina Kusmiati
Sahabat Topswara
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar