Negeri yang seharusnya memiliki penghasilan terbanyak.
Negeri yang seharusnya memberikan kesejahteraan rakyatnya.
Negeri yang seharusnya tidak berutang ke negara-negara lain.
Negeri yang seharusnya membebaskan biaya pendidikan, kesehatan dan lain-lain, ini malah selalu memberikan kejutan-kejutan menyakitkan bagi rakyatnya.
Bagaimana tidak, setelah berbagai barang dikenakan pajak, dan hampir setiap tahun pula kenaikan tarif barang-barang komoditi. Kini pemerintah kembali berwacana menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) untuk pengguna 3000VA.
Sebagaimana dilansir dalam Media online CNBC Indonesia,tarif dasar listrik (TDL) terancam mengalami kenaikan pada Juli 2022 ini. Ancaman kenaikan harga setrum itu terjadi imbas dari rencana dibentuknya Entitas Khusus Batu Bara atau Badan Layanan Umum (BLU) pemungut iuran batu bara.
Dengan hadirnya BLU batu bara, kabarnya harga batu bara dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) akan dilepas melalui mekanisme pasar, sehingga tidak lagi dipatok senilai US$ 70 per ton. (CNBC Indonesia, 18/05/2022)
Terkait kenaikan tarif dasar listrik ini sudah disepakati oleh Presiden Joko Widodo, ujar Menkeu Sri Mulyani.
Presiden dan kabinet sudah menyetujui untuk berbagi beban, kelompok rumah tangga yang mampu, yaitu mereka yang langganan listriknya di atas 3.000 VA, boleh ada kenaikan tarif listrik, hanya di segmen itu ke atas," ujar Sri Mulyani dalam rapat bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR RI.
(Jpnn.com, 22/05/2022).
Namun, benarkah kenaikan tersebut sebagai bentuk berbagi atas kesulitan pemerintah? Dan tidak berpengaruh terhadap rakyat miskin atau kelas bawah?
Menurut Ekonom yang juga Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai kenaikan tarif dasar listrik untuk golongan 3.000 volt ampere (VA) ke atas akan menyebabkan inflasi ke depan.
Menurutnya, masyarakat miskin akan menerima dampak tidak langsung dari kenaikan tarif listrik tersebut.
Alhasil, sama saja rakyat kelas bawah pun tetap merasakan kesusahannya.
Beginilah, jika sumber daya alam negara dikuasai oleh para kapitalis, maka semuanya dihitung berdasarkan untung-rugi.
Penghasilan dari sumber daya alam yang seharusnya masuk ke kas negara untuk kepentingan rakyatnya, menjadi diprivatisasi oleh swasta dan hasilnya pun masuk ke kantong masing-masing.
Semua ini karena paham liberalisme yang membebaskan kepada para kapitalis untuk menguasai seluruh sumber daya alam yang mereka inginkan untuk diswastanisasi. Sehingga hitungannya adalah untung rugi, bukan lagi kesejahteraan rakyat.
Islam sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, tidak terbersit dalam jiwa para pemimpin Islam untuk berbagi kesulitan dengan rakyatnya. Karena dalam Islam, pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya.
Oleh karenanya, Islam mengatur bagaimana pemasukan dan pengeluaran kas negara.
Dilihat dari sisi kepemilikan.
Kepemilikan dalam Islam terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama kepemilikan Individu yakni
Izin yang diberikan Allah kepada seorang individu untuk memanfaatkan suatu barang, contohnya, rumah, tanah(dengan luas tertentu), uang dan kendaraan.
Kedua kepemilikan umum, yakni izin yang diberikan Allah kepada orang banyak/umum.
Untuk memanfaatkan suatu barang.
Apa saja yang menjadi milik umum?
Sabda Rasulullah SAW.
"Kaum Muslim bersekutu dalam tiga hal: air, padang rumput dan api (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Ketiga kepemilikan negara, yakni harta yang merupakaan hak seluruh kaum Muslim, pengaturan distribusi dari harta tersebut diserahkan kepada negara.
Jika dilihat dari sisi pemasukannya. Yakni meliputi tiga diwan.
1. Pos fa'i kharaj, meliputi ghanimah, kharaj, tanah-tanah, jizyah,fa'i dan pajak.
2. Pos kepemilikan umum, meliputi, minyak bumi gas, listrik, barang tambang, laut, sungai, srlat, mata air, hutan, padang gembalaan, hima, dan sebagainya.
3. Pos zakat, meliputi zakat uang, komoditas perdagangan, pertanian, buah-buahan, unta, sapu dan domba.
Dengan demikian, jelas dalam Islam, listrik termasuk dalam kepemilikan umum yang harus dinikmati rakyat tanpa harus dibebani dengan biaya yang mencekik rakyat.
Islam mengatur semua pengelolaan sumber daya alam langsung oleh negara, tidak untuk diswastanisasi, sebagaimana dalam sistem kapitalis.
Meskipun diberikan kepada pihak asing, itupun hanya bersifat pekerja saja, dan dalam pantauan khalifah.
Oleh karenanya, dengan kembalinya pengelolaan sumber daya alam pada sistem Islam, insyaallah rakyat tidak lagi akan terbebani dengan berbagai kesusahan.
Walaupun, seandainya negara dalam Islam mengalami kekosongan kas negara, maka negara dengan terpaksa akan memungut pajak dari kalangan rakyat menengah keatas yang sifatnya juga sementara.
Wallahu a'lam bishshawab
Oleh: Aisyah Yusuf
(Pendidik generasi dan Aktivis Subang)
0 Komentar