Topswara.com -- Berbagai kebijakan dilakukan pemerintah guna menormalisasi harga minyak goreng. Terbaru pemerintah mengambil kebijakan dengan mengganti menteri perdagangan. Menteri perdagangan yang baru membuat kebijakan membentuk Satgas minyak goreng dan memproduksi minyak goreng curah dengan harga eceran tertinggi (HET). Lantas apakah berbagai solusi cara kapitalis-sekuler ini mampu menormalisasi harga minyak goreng? Sejatinya kenaikan harga juga merembet pada kebutuhan pokok lainnya seperti telur dan cabai.
Menteri Perdagangan (Mendag), Zulkifli Hasan menegaskan komitmennya untuk segera mengeksekusi perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengendalikan harga-harga barang kebutuhan pokok, terutama minyak goreng (Migor).
Mendag menyatakan bahwa Kemendag sudah melakukan koordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sebagai Kepala Satgas Migor yang saat ini masih efektif.
Mendag menjelaskan, pemerintah akan memastikan semua berjalan dengan skema yang ada. Domestic Market Obligation (DMO), Domestic Price Obligation (DPO) dan minyak goreng curah rakyat akan tersedia di masyarakat dengan harga terjangkau.
Menurutnya, untuk memastikan harga terjangkau, pemerintah berharap adanya kerjasama antara masyarakat dan pelaku usaha untuk melaporkan keSatgas Pangan atau lembaga-lembaga terkait jika ada pelanggaran di lapangan.
Mendag juga mengatakan akan memastikan koordinasi dengan Menteri Pertanian untuk memastikan kondisi pasokan bahan pokok sehingga dapat menjamin keterjangkauan harga bahan pokok. (bisnis.com/18/6/2022)
Sementara itu Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan masa sosialisasi akan dimulai 27 Juni 2022 dan akan berlangsung selama dua minggu. Setelah masa sosialisasi selesai, masyarakat harus menggunakan aplikasi peduli lindungi atau menunjukkan NIK, untuk bisa mendapatkan minyak goreng curah rakyat (MGCR) dengan harga eceran tertinggi (HET).
Luhut mengatakan pembelian MGCR di tingkat konsumen akan dibatasi maksimal 10 kg untuk satu NIK per harinya dan dijamin bisa diperoleh dengan harga eceran tertinggi, yakni Rp 14.000 per luter atau Rp 15.500 per kg (merdeka.com/27/6/2022)
Normalisasi Migor Dalam Islam
Minyak goreng (Migor) merupaan salah satu kebutuhan pangan masyarakat, sehingga sudah selayaknya dipenuhi oleh negara. Fakta yang terjadi meskipun Indonesia termasuk negera penghasil sawit terbesar di dunia, tetapi rakyat negara ini masih kekurangan pasokan minyak goreng, kalau pun pasokannya tersedia, harganya cukup memberatkan masyarakat.
Terjadinya hal paradoks ini menunjukkan jika ada yang salah dalam tata kelola minyak goreng. Bandingkan dengan sistem Islam yang menyelesaikan suatu permasalahan dari akar masalahnya, sehingga solusi yang dihasilkan pun tepat sasaran.
Misalnya permasalahan minyak goreng di negara ini disebabkan adanya eksistensi kartel atau mafia, yang mana kartel minyak goreng ini merupakan bagian dari sistem pemerintahan, alias oligarki mitra pemerintah yang mengatasnamakan keuntungan negara dan kesejahteraan masyarakat.
Dengan atas nama tersebut, para mafia minyak goreng menjadikan pemeritah hanya sebagai regulator (pengawas) bukan penentu kebijakan, sehingga solusi kebijakan yang dilakukan pemerintah atas dasar kompromi dengan mereka. Yang tentunya menguntungkan mereka, sebaliknya merugikan masyarakat.
Jika saja sistem Islam tegak, tentunya para kartel/mafia minyak goreng akan diberantas. Karena negara sistem Islam akan melakukan pengelolaan sumberdaya pangan secara mandiri, tanpa melibatkan asing/aseng. Hal ini penting dilakukan guna menjamin ketersediaan dan kedaulatan pagan.
Kalau pun terjadi paceklik atau wabah, pemeritah Islam akan mengutamakan meminta bantuan kepada negeri Islam lainnya, bukan kepada negara kafir. Seperti yang pernah dilakukan Khalifah Umar bin Khathab saat terjadi wabah penyakit di Syam, dirinya meminta bantuan pangan dari Irak.
Pemerintah sistem Islam akan memaksimalkan pengelolaan potensi sumberdaya alam dan manusia untuk sebesar-besar kesejahteraan umat. Hal ini dilakukan karena sistem Islam menjalankan pemerintahan sesuai syariat Islam, yang mana semua aktivitas yang dilakukan semata-mata untuk mengharap ridha Allah SWT.
Jika terjadi penyimpangan yang berdampak pada hajat hidup umat, pemerintah akan menerapkan sanksi setimpal, misalnya jika terjadi penimbunan pangan akan dilakukan ta’zir (pencegahan dan pengekangan).
Sehubungan dengan penentuan HET, sistem pemerintahan Islam tidak akan melakukannya, karena negara menyerahkan penetapan harga pada transaksi pasar, sebagaimana sabda Rasulullah saw “Seorang laki-laki datang dan berkata” Ya Rasulullah patoklah harga!” Beliau menjawab,”Akan tetapi saya berdoa”. Kemudian seorang laki-laki yang lain datang dan berkata,”Ya Rasulullah patoklah harga”. Beliau bersabda”Akan tetapi Allah-lah yang menurunkan dan menaikkan harga” (HR Abu Dawud).
Semoga kerinduan umat akan penyelesaian masalah kehidupan sesuai syariat Islam segera terwujud. Semoga tidak lama lagi sistem pemerintahan Islam segera tegak. Wallahu’alam bishawab [].
Oleh: Ulfah Sari Sakti, S.Pi
Jurnalis Muslimah Kendari
0 Komentar