Topswara.com -- Setiap orang pasti menolak menjadi tua. Sebab, tua atau lanjut usia adalah kondisi di mana seseorang mengalami kemunduran, baik fisik maupun mental. Menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) jika ia mencapai usia 60 tahun ke atas.
Namun apa pun kondisinya, mereka adalah bagian dari rakyat bangsa ini. Mereka telah ikut serta berjuang dan mengisi pembangunan. Oleh karena itu, sebagai bentuk apresiasi pemerintah terhadap lansia, sejak tahun 1996 setiap tanggal 29 Mei ditetapkan sebagai Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN).
Apalagi, ternyata pada tahun 2020 persentase lansia cukup banyak, yaitu 10,7 persen dari total populasi Indonesia atau sekitar 28 juta. Dan, jumlah ini diperkirakan terus meningkat hingga 19,90 persen atau seperlima penduduk Indonesia pada tahun 2045 (dataindonesia.id,28/12/2021).
Pemerintah pun tiap tahun mengadakan peringatan dengan tema dan agenda tertentu. Untuk tahun ini, Kemensos menggelar seremoni di Tasikmalaya, Jawa Barat dengan tema Lansia Sehat, Indonesia Kuat. Dilanjutkan dengan memberikan bantuan Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI) kepada kepada101 lansia.
Bantuan tersebut ada empat jenis, yaitu renovasi satu rumah tidak layak huni, bantuan aksesibilitas terdiri dari 22 buah kursi roda, sebelas buah alat bantu, tujuh buah tongkat kaki serta lima buah kacamata. Dan terakhir, bantuan kebutuhan dasar dan nutrisi, juga sandang berupa mukena, sarung, dan sajadah.
Akan tetapi, cukupkah bentuk tanggung jawab negara terhadap lansia hanya dengan kegiatan seperti di atas?
Lansia dalam Kapitalisme
Tak dipungkiri, fakta saat ini banyak lansia hidup mengenaskan. Bahkan viral, beberapa kakek juga nenek usia 70 bahkan 90 tahun masih berkeliaran mencari nafkah. Meski tubuh mereka sudah lemah, bahkan tangan dan kakinya sudah gemetar.
Mereka terpaksa melakukan hal tersebut. Karena dalam sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan saat ini, jika individu ingin memperoleh kekayaan untuk memenuhi kebutuhannya, maka ia harus terlibat dalam proses produksi. Tidak terkecuali bagi yang fisiknya lemah, bisa karena sakit atau tua.
Hal ini sesuai dengan konsep kelangkaan dalam ilmu ekonomi kapitalisme. Bahwa alat pemuas kebutuhan manusia jumlahnya terbatas, sedangkan jumlah kebutuhan tak terbatas. Maknanya bisa jadi alat pemuasnya tersedia, namun butuh pengorbanan untuk mendapatkannya yakni dengan bekerja.
Oleh sebab itu, tua, muda, miskin kaya, semua harus bekerja. Tentu saja hanya orang yang kuat, fisik maupun kapitalnya, berpeluang lebih besar memenuhi kebutuhannya dibanding yang lemah dan miskin.
Sehingga tema lansia sehat, tak mungkin tercapai jika mereka harus tetap bekerja mencari nafkah dengan kondisi fisik yang lemah. Mereka harus banting tulang agar sekadar bisa makan, juga membayar BPJS untuk menjamin kesehatannya.
Di sisi lain, kapitalisme memandang keberhasilan sistem ekonomi terlihat dari tingkat produksi setinggi-tingginya, sehingga kekayaan pendapatan negara meningkat. Sementara ekonom kapitalis menganggap distribusi bukan suatu hal utama. Dan, menurut mereka, dengan mencukupkan pendapatan nasional, maka distribusi barang dan jasa berjalan dengan sendirinya. Yakni melalui kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja bagi tiap individu.
Seolah jika angka pendapatan nasional dibagi dengan jumlah penduduk hasilnya tinggi, maka dianggap kebutuhan seluruh individu terpenuhi. Atau jika jumlah barang di pasar, kemudian dibagi dengan jumlah penduduk hasilnya positif, maka dianggap kebutuhan seluruh rakyat terpenuhi.
Tentu saja realitasnya tidak demikian. Orang-orang lemah –termasuk sebagian besar lansia- yang berpenghasilan jauh di bawah jumlah tersebut, tetap tidak pernah bisa memenuhi kebutuhannya.
Dari sini terbukti, kapitalisme tidak mampu memberikan solusi distribusi kekayaan terhadap lansia. Dan jelaslah bahwa upaya apresiasi dan bentuk tanggung jawab negara terhadap lansia hanya dengan seremonial HLUN, jauh panggang dari api. Sebab penerima bantuan hanya 101 lansia atau 3,61 persen dari jumlah lansia saat ini. Apalagi bantuan tersebut hanya bersifat insidental.
Lansia dalam Islam
Allah berfirman dalam surat Yasin ayat 68 yang artinya:
“Dan barang siapa Kami panjangkan umurnya, Kami mengembalikannya dalam penciptaan. Maka tidakkah mereka berpikir?”
Imam al-Qusyairi menerangkan ayat di atas, bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang akan bertambah kekuatan. Akan tetapi, dengan berkurangnya usia, ia menjadi seperti kanak-kanak yang lemah tidak berdaya. Oleh karena itu, lansia butuh bantuan untuk melangsungkan kehidupannya. Apatah ia bekerja mencari nafkah, mengurus dirinya sendiri saja terkadang sudah tak mampu.
Sementara itu, Islam mewajibkan tiap individu memenuhi kebutuhan dasarnya, yakni sandang, pangan, dan papan. Sebab jika tidak dipenuhi manusia akan menjadi binasa. Jika ia mampu memenuhi dengan upayanya sendiri, maka wajib baginya memenuhi kebutuhannya sendiri. Namun jika ia tidak mampu karena sakit atau lansia, maka ada mekanisme yang sudah Allah tetapkan.
Firman Allah dalam Al-Qur'an surat Al Baqarah ayat 233 yang artinya, ”…Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula…”
Maksud ayat di atas adalah bahwa ahli waris berkewajiban sama seperti seorang ayah –jika sudah tua- dari segi nafkah dan pakaian. Dan yang dimaksud pewaris bukan hanya ahli waris secara langsung, tapi juga siapa saja yang berhak mendapat waris. Lalu, bagaimana jika para ahli waris tidak ada, atau ada tapi tidak mampu?
Rasulullah bersabda ,” …Siapa saja yang meninggalkan “kalla”, maka ia menjadi kewajiban bagi kami.” (HR. Muslim)
Kalla disini adalah orang yang lemah, yang tidak memiliki anak atau orang tua. Artinya jika ada yang tak ada kerabat yang mampu mengurus seorang yang lemah, maka kewajiban tersebut berpindah kepada negara.
Dalam sistem Islam, dana akan diambilkan dari baitul mal. Namun jika baitul mal kosong, maka akan diambilkan dari dharibah insidental atau pungutan dari mukmin yang kaya. Dan distribusi ini akan terus dilakukan pada setiap lansia yang fakir atau miskin. Tanpa ada batas waktu.
Demikianlah, jika ingin nasib lansia terpelihara dengan baik, maka hanya bisa dilakukan dengan meninggalkan kapitalisme. Kemudian, menggantinya dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah. Wallahu ‘a’lam
Oleh: Dewi Masitho, M.Si.
(Aktivis Muslimah Bogor)
0 Komentar