Topswara.com -- Secara teori ekonominya, harga jual barang jadi akan mengikuti harga bahan baku. Jika bahan bakunya saja sudah mahal, maka harga barang jadinya tentu mahal juga. Atau sebaliknya saat bahan baku berharga murah, maka barang jadi tentu tidak akan mahal.
Namun tampaknya hal ini tidak berlaku yang terjadi saat ini di Indonesia. Terutama pada komoditi minyak goreng.
Kenaikan yang terjadi sejak akhir tahun 2021 masih berlanjut hingga hari ini Juni 2022. Bahkan sempat pada angka Rp 24.000 per kilo nya.
Kondisi ini kemudian disikapi pemerintah dengan mematok harga Rp 14.000 per kilo, namun yang terjadi justru kelangkaan ditengah-tengah masyarakat. Saat pemerintah mencabut HET (harga eceran tertinggi) minyak goreng kemudian melimpah di pasaran. Aneh bukan? Ketidaklaziman juga terlihat saat minyak goreng sedang mahal-mahalnya, harga sawit justru anjlok.
Negara Penghasil Sawit Terbesar
Tak bisa dipungkiri, Indonesia adalah negeri kaya raya dengan sumber daya alam yang melimpah. Baik yang ada di bawah permukaan tanah ataupun yang berada di atas permukaan tanah. Di atas permukaan tanah misalnya Indonesia memiliki lahan yang sangat luas sebagai lahan pertania taupun perkebunan.
Termasuk perkebunan kelapa sawit.
Bahkan Indonesia adalah negara penghasil sawit terbesar pertama, dari lima besar di dunia. Selama satu decade Indonesia masih mencatatkan diri sebagai negara penghasil CPO terbesar di dunia.
Berdasarkan laporan Statistik Kelapa Sawit Indonesia tahun 2012 terungkap, saat itu luas perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai 9.23 juta hektare dengan jumlah produksi CPO lebih dai 24 juta ton. Posisi numero uno Indonesia masih bertahan hingga tahun 2021. Berikut lima negara penghasil minyak sawit atau CPO terbesar di dunia: Indonesia, Malaysia, Thailand, Kolombia dan Nigeria. (sindonews.com 31/03/2022).
Saat ini bahkan tercatat luas perkebunan kelapa sawit mencapai 15.08 juta hectare pada 2021. Dengan sebaran kepemilikan perusahaan negara, swasta, dan petani plasma. Dengan luas perkebunan dan hasil produksi yang melimpah ini tentu Indonesia memiliki bahan baku minyak goreng yang sangat banyak. Tidak wajar jika kemudia harga minyak goreng justru menjadi mahal, bahkan sempat terjadi kelangkaan.
Larangan Ekspor CPO
Rentetan dari mahalnya harga minyak goreng di pasaran, pemerintah kemudian mengambil kebijakan larangan ekspor CPO dan turunannya. Dengan harapan jika CPO tidak diekspor maka ketersediaan bahan baku minyak goreng di dalam negeri akan melimpah. Sehingga berpengaruh pada penurunan harga jual minyak goreng. Namun kebijakan ini justru membunuh petani sawit.
Di Asahan, Sumatera Utara, pertengahan April lalu, harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit di tingkat petani bisa mencapai Rp 3.600 per kilo. Empat hari berselang setelah Presiden meneteapkan larangan ekspor CPO dan produk turunannya, harga turun menjadi Rp 2.600 per kilo. Kini, kondisi terus memburuk dengan harga yang jatuh pada kisaran Rp 1.500 per kilo. (www.muslimahnews.net 20/05/2022)
Harga jual ini tentu sangat mencekik para petani. Belum lagi harga ini tidak sama untuk seluruh daerah, tergantung jarak tempuh ke pabrik yang menampung dan harga yg diberikan oleh pabrik sesuka pihak pabrik. Jika jarak tempuh jauh maka akan lebih murah, karena terhitung membayar ongkos angkut. Dengan harga semurah ini banyak petani yang memilih tidak mejual hasil sawitnya, namun satu sisi juga butuh biaya yang tidak sedikit.
Seperti biaya perawatan sawit, upah panen, pupuk dan sebagainya. Sangat dilematis dan merugikan petani.
Hingga bisa dikatakan larangan ekspor CPO bukanlah solusi. Pasalnya setelah larangan ekspor peruasahaan malah bermanuver dengan memainkan harga sawit. Perusahaan berusaha membuat skenario agar petani melakukan protes larangan ekspor CPO.
Lagi-lagi rakyat kecil yang menderita dan menjadi tumbal kebijakan rusak dari system kapitalis ini.
Minyak Goreng Tetap Mahal
Di sisi lain, minyak goreng yang bahan dasarnya dari kelapa sawit, justru tetap berada di atas harga jangkau masyarakat. Harga minyak goreng sawit ini masih tinggi dan melejit dalam beberapa bulan terakhir ini. Berbanding terbalik dengan apa yang terjadi pada para petani kelapa sawit.
Bukankah seharusnya jika harga minyak goreng tinggi maka para petani sawit juga akan mendapatkan keuntungan yang tinggi juga? Tetapi dilapangan, justru tidak demikian. Justru para petani rugi besar dikarenakan harga kelapa sawit yang dijual mendapatkan harga yang sangat murah. Bahkan membuat sebagian para petani sawit enggan membawa sawitnya ke penadah dikarenakan tidak mendapat keuntungan.
Bukankah tujuan pemerintah pusat menutup ekspor sawit dikarenakan untuk menurunkan harga minyak goreng? Untuk kesejahteraan petani lokal? Namun yang terjadi tidak demikian. Harga sawit yang anjlok, tapi minyak goreng masih mahal di pasaran.
Siapa yang mendapatkan keuntungan sebenarnya dari fenomena ini? Tak lain dan tak bukan adalah para kapital. Para pengusaha raksasa, pengusaha kelas kakap, dan juga diduga ada oknom-oknum yang mengambil keuntungan dibalik fenomena ini.
Inilah yang terjadi apabila kita hidup didalam negara yang mengusung ide-ide kapitalis sekuler. Sistem kapitalis sekuler melahirkan banyak mafia-mafia dalam berbagai proyek. Proyek yang mendatangkan keuntungan sepihak tentunya. Banyak mafia-mafia oligarki yang berperan dibalik tidak sinkronnya keadaan saat ini. Dipihak petani sawit yang merugi versus harga minyak goreng yang tinggi.
Sistem kapitalis tampak memberi perbedaan yang jelas akan untung rugi, kaya miskin berdasarkan azas manfaat. Sehingga sudah selayaknya jika kita segera meninggalkan sistem yang merusak ini. Merusak fitrah manusia, merusak lingkungan, merusak tatanan masyarakat, bahkan merusak fungsi negara yang sesungguhnya.
Islam Solusi Tuntas
Sudah saatnya kita kembali ke sistem yang adil bagi seluruh manusia. Sistem yang mampu menjadikan kehidupan yang sejahtera bagi siapa saja. Sistem yang berasal dari Sang Khalik, yang menciptakan sekaligus mengatur kehidupan manusia. Yaitu sistem Islam, sistem yang memiliki solusi akan setiap permasalahan. Termasuk perkara harga sawit yang anjlok yang merugikan para petani.
Hal ini akan diperhatikan penuh oleh pemerintahan Islam. Islam akan memberlakukan sistem terbuka terhadap harga nilai sawit dipasaran. Regulasi modal dan keuntungan petani tentu akan diperhatikan oleh pemerintah Islam. Bahkan pemerintah sendirilah yang akan menampung dan mengelola hasil sawit para petani. Sehingga harga jual hasil minyak sawit akan sebanding dengan modal yang dikeluarkan oleh Negara.
Pemerintahan Islam tidak akan menjadikan rakyatnya sebagai target pasar atau bisnis. Karena peran pemerintahan dalam Islam adalah sebagai pengayom rakyat. Dan hal itu akan dimintai pertanggung jawabannya oleh Allah Ta’ala.
Sehingga, seorang pemimpin di dalam pemerintahan Islam, tentulah seseorang yang memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Allah, taat kepada Allah dan Rasulullah, dan takut jika mendzolimi rakyatnya dengan menyalahgunakan kekuasaannya.
Wallahu ‘alam.
Oleh: Ika Juwita Sembiring
Sahabat Topswara
0 Komentar