Topswara.com -- Dikutip dari kabartrenggalek.com, koalisi masyarakat sipil melaporkan kronologi 40 petani yang disiksa dan ditangkap paksa di Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu, pada Kamis (!2 Mei 2022). Koalisi masyarakat sipil menduga, anggota BRIMOP melakukan tindakan represif terhadap Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (PPPBS) dan masyarakat di sekitar lahan (yang bukan anggota PPPBS) dengan melakukan penangkapan dan pemukulan.
Menurut keterangan di www.metrotvnews.com, sebanyak 40 petani di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu ini ditangkap karena memanen kelapa sawit di lahan yang masih bersengketa dan dalam upaya penyelesaian konflik dengan perusahaan PT Daria Dharma Pratama.
Para petani beralasan panen tersebut hasil kerja kerasnya maka wajar saja dan memang sudah haknya jika mereka memanennya. Namun terlihat aparat lebih berpihak pada korporasi yang menjadi lawan petani dalam kasus sengketa/konflik agraria.
Menyikapi hal ini, Akar Law Office (ALO) menyebutkan aparat telah menyalahgunakan kekuasaan. Dilansir dalam akar.or.id, Zelig Ilham Hamka, S.H, selaku koordinator reforma agraria dalam Akar Foundation mengatakan penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap anggota PPPBS adalah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan tindakan sewenang-wenang (arbitrary detention) kepada masyarakat yang secara jelas melanggar dan bertentangan dengan UUD 1945, KUHP, dan prinsip HAM.
Konflik agraria menambah kompleksnya problem seputar lahan, selain ketimpangan penguasaan lahan yang sangat tajam. Bahkan menurut Komnas HAM, konflik agraria sendiri setiap tahunnya adalah pengaduan pelanggaran HAM terbanyak yang dilaporkan.
Konflik lahan yang terjadi ini tentu melibatkan warga masyarakat dengan beberapa pihak seperti; korporasi, pemerintah pusat/daerah, bahkan dengan aparat. Mirisnya masyarakat miskin atau lemah adalah kelompok yang paling disalahkan dan dirugikan hingga tidak jarang sampai jatuh korban nyawa.
Ada sejumlah faktor pemicu terjadinya konflik ini. Pertama, dikatakan dalam hasil kajian Cifor 2016 menyebutkan bahwa penyebab konflik di sektor perkebunan karena perampasan lahan, polusi, pengabaian klaim hak adat, tidak memadainya kompensasi, pembagian manfaat, dan kegagalan perusahaan merealisasikan janji.
Berlarutnya konflik lahan dan tidak ditemukan cara atau solusi mengatasinya sebagai bukti kegagalan negara mengatasi konflik ini. Sejatinya, faktor pemicu konflik itu sendiri adalah tidak jelasnya penentuan status kepemilikan lahan.
Dalam konsep kapitalisme neoliberal, tidak ada pengaturan lahan yang boleh untuk dimiliki individu, lahan menjadi milik umum dan lahan milik Negara. Pada kenyataanya, semua lahan diklaim milik negara dan negara bisa mengalihkan pengelolaannya ke swasta ditambah lagi status kepemilikan yang harus mendasar pada legalitas formal seperti sertifikat.
Kedua, kehadiran pemerintah sebagai regulator dan fasilitator saja serta keberpihakan yang lebih kepada korporasi. Lalainya negara dari tanggung jawabnya sebagai pelindung dan penanggung jawab rakyat menyebabkan konflik sering kali memenangkan pihak yang kuat dan memaksa rakyat mengalah.
Inilah hasil dari penerapan sistem kapitalisme neoliberal. Karena itu untuk mengakhiri konflik seperti ini harus merubah paradigma peraturan yang batil/salah. Satu-satunya yang layak digunakan saat ini adalah syariat Islam yang dijalankan oleh sistem politik khilafah, sebab keshahihan sistem ini telah dijamin Allah dan bukti keberhasilannya sudah ditunjukkan Rasulullah SAW dan para khalifah setelahnya.
Setidaknya, ada dua konsep penting dalam mengakhiri konflik lahan, yaitu mengembalikan status kepemilikan lahan sesuai yang ditetapkan Allah SWT dan hadirnya fungsi negara secara benar sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
Dalam pandangan Islam, lahan memiliki 3 status kepemilikan yaitu; lahan yang boleh dimiliki individu seperti pertanian, lalu ada lahan milik umum yaitu lahan yang di dalam terdapat harta milik umum seperti hutan. Pada lahan ini Islam melarang atau kepemilikan rakyat yang tidak boleh dikuasakan pada individu, swasta/korporasi sebab penguasaannya pada swasta/korporasi akan menghalangi akses orang lain memanfaatkannya atau memicu terjadinya konflik, kemudian lahan milik negara yang tidak berpemilik dan yang diatasnya ada harta milik negara seperti bangunan milik negara.
Berdasarkan pembagian ini, maka tidak dibolehkan bagi individu memiliki lahan milik umum sekali pun diberikan izin oleh negara. Kepemilikan lahan dalam Islam harus sejalan dalam pengelolaannya.
Ketika ditemukan suatu lahan yang tidak tampak ada kepemilikan seseorang di sana maka boleh dimiliki oleh siapa pun asalkan lahan tersebut dikelola olehnya. Sebaliknya ketika ada suatu lahan yang sah dimiliki seseorang, diterlantarkan hingga tiga tahun, maka hak kepemilikan lahan itu akan hilang darinya. Konsep seperti ini akan menjaga kepemilikan seseorang atas lahan sekali pun tidak memiliki sertifikat.
Bahkan konsep yang Islam berikan ini akan memudahkan siapa pun untuk memiliki lahan asalkan sanggup untuk mengelolanya. Sementara khilafah harus hadir di tengah rakyatnya sebagai raa’in (pelayan) dan junnah (pelindung). Negara tidak boleh mengambil untung dari proses melayani rakyat ini.
Kedua fungsi tersebut hanya bisa dijalankan dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah pada seluruh aspek kehidupan karena fungsi dari pelaksanaan hukum syariat adalah mencegah dan menyelesaikan seluruh potensi masalah serta konflik yang terjadi di tengah umat manusia dengan penyelesaian paling adil. []
Oleh: Anindita Ekaning Saputri
Alumnus UHAMKA
0 Komentar