Topswara.com -- Ahad (5/6/2022) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo dalam siaran persnya menyatakan kebijakan penghapusan pekerja honorer memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Dirinya menilai, kesejahteraan pekerja honorer masih di bawah UMR. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR mencari solusi bagi mereka. Lahirlah keputusan pengalihan tenaga honorer menjadi tenaga outsourcing.
Mantan Menteri Dalam Negeri ini menjelaskan, selama ini tenaga honorer direkrut oleh masing-masing instansi. Bukan direkrut oleh pemerintah pusat. Sehingga tidak ada patokan tetap dalam penetapan gaji mereka. Bergantung dengan keputusan dan kesanggupan masing-masing instansi. Dengan pengalihan tenaga honorer menjadi tenaga outsourcing pada 2023 esok, pemerintah bisa mengatur posisi tenaga-tenaga tambahan ini di setiap instansi sesuai kebutuhan.
Alih-alih menjadi solusi jitu, tampaknya hanya akan menjadi harapan palsu. Pasalnya dengan perubahaan tersebut tidak memastikan nasib tenaga kerja ini akan membaik. Bahkan bisa jadi menimbulkan masalah baru. Seperti menyempitnya lahan pekerjaan karena pada proses pengalihan tenaga honorer menjadi tenaga outsourcing ini mementingkan efisiensi jumlah tenaga kerja. Bukan kemustahilan akan terjadi PHK bagi tenaga honorer.
Selain itu, tampaknya langkah ini juga tidak menghasilkan perubahan signifikan. Karena sistem kerja dan pengupahan sama saja baik ketika menjadi tenaga honorer maupun tenaga outsourcing. Karena jenis pekerjaan yang dilakukan tetap sama saja, hanya berbeda pada pihak penanggung-jawabnya saja. Pun upah mereka sesuai UMR tidak menjamin kehidupan mereka akan sejahtera.
Ketenagakerjaan dalam Islam
kepegawaian atau kontrak kerja yang dalam pembahasan fiqh di sebut ijarah. Yaitu upaya seorang majikan (musta’jir) mengambil manfaat (jasa) dari seorang pekerja (ajir). Dan upaya seorang pekerja (ajir) mengambil upah dari majikan (musta’jir).
Hukum ijarah sendiri asalnya mubah, dengan dalil firman Allah SWT yang berbunyi:
...فإن أرضعن لكم فآتوهنَ أجورهنَ...O
“…kemudian jika mereka menyusukan (anak-anakmu)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka…” (QS At-Talaq 65:6)
Dalam ijarah, terdapat regulasi yang menjaga maslahat dua belah pihak (yaitu antara ajir dan musta’jir). Di antaranya, dalam akad ijarah harus jelas komitmen seputar jenis pekerjaan yang di-ijarahkan, jumlah gaji, serta banyak jam kerja. Tidak boleh mengandung unsur kesamaran (gharar) yang bisa merugikan salah satu pihak.
Tidak boleh juga salah satu pihak menuntut hak lebih dari batas kewajarannya (seperti majikan yang menuntut jam kerja di atas kemampuan maksimal pekerja ataupun seorang pekerja yang menuntut upah tinggi melebihi nilai sepantasnya).
Seorang pekerja (ajir) berhak mendapat upah yang layak. Rasulullah mengancam majikan (musta’jir) yang tidak memberi upah yang layak bagi pekerjanya melalui sabdanya,
ثلاثة أنا خصمهم يوم القيامة: رجل أعطى بي ثم غدر, ورجل باع حرا فأكله ثمنه, ورجل استأجر أجيرا فاستوفى منه ولم يعطه أجره (رواه مسلم)
“Ada tiga orang yang akan menjadi musuh-Ku pada Hari Kiamat, yaitu: Orang yang memberi perjanjian atas nama-Ku kemudian berkhianat, Orang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil penjualannya, dan Orang yang mempekerjakan seorang pekerja, lalu pekerja itu bekerja dengan baik, namun Ia tidak memberi upahnya.” (HR. Muslim)
Upah yang diberikan pada pekerja (ajir) sesuai dengan ukuran/kadar yang pasti. Tidak diperbolehkan menggunakan ukuran yang tidak pasti dan mengandung kesamaran (gharar) seperti mengupah pekerja sawah dengan sepertiga hasil panen. Upah yang di berikan pada pekerja (ajir) juga hendaknya senilai dengan manfaat dan jasa yang telah Ia hasilkan.
Bukan sekedar disesuaikan dengan besarnya tenaga yang ia curahkan ataupun sesuai UMR yang tidak bisa menjadi patokan kesejahteraan masyarakat.
Ijarah merupakan salah satu sebab kepemilikan harta oleh syariat. Dimana seseorang bisa memiliki harta dengan bekerja. Salah satunya melalui ijarah ini. Karena itu, negara memiliki peran menjaga dan melestarikan ketersediaan lapangan pekerjaan kepegawaian yang mencukupi bagi rakyatnya.
Supaya rakyat bisa menempuh cara ini untuk mendapatkan penghasilan halal. Negara juga menyiapkan rakyatnya menjadi SDM yang berkualitas untuk memenuhi kebutuhan ketenagakerjaan dengan baik. Tak luput, negara melindungi rakyat dari akad ijarah culas dengan menetapkan seperangkat regulasi yang mengatur terjadinya akad ijarah dengan lancer tanpa menzalimi salah satu pihak.
Hal ini tidak mampu diwujudkan pada sistem yang politiknya hanya berasas manfaat serta berorientasi meraih keuntungan besar bermodal. Hanya sistem islam yang mampu mewujudkannya. Karena dari asas politiknya saja sungguh mulia, yaitu ri’ayatu syuunil ummah wa iqoomatu syariiatil islam kaaffah (mengayomi segala urusan rakyat dan menegakkan syariat islam secara menyeluruh).
Oleh: Qathratun
Sahabat Topswara
0 Komentar