Pemerintah telah menetapkan jumlah DMO per 1 Juni adalah 300 ribu ton minyak goreng. Adapun harga yang disarankan di pasaran untuk minyak goreng curah yakni sekitar Rp14.000 hingga Rp15.000 perliter. Luhut mengatakan bahwa jumlah (DMO) ini lebih tinggi 50 persen dibandingkan dengan kebutuhan domestik kita hal ini dilakukan untuk membanjiri pasar domestik hingga dapat memudahkan masyarakat dalam mencari minyak goreng curah dengan HET 14.000 atau mungkin 15.000 sekian". (msn.com, 7/6/2021)
Sesungguhnya kebijakan DMO ini sebelumnya juga sudah pernah diterapkan yaitu pada bulan Januari lalu, namun nyatanya kebijakan tersebut tak mampu menjadi solusi terhadap melonjaknya harga minyak goreng. Bukan saja harganya yang melonjak naik, bahkan minyak goreng pun langka di pasaran. Masyarakat harus antri berjam-jam demi mendapatkan seliter minyak goreng dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah.
Dilansir dari ekbis.sindonews.com, (11/3/2022), Pada Januari 2021 konsumsi CPO untuk biodisel mencapai 448.000 ton. Jumlah tersebut melonjak menjadi 732.000 ton per Januari 2022, Sedangkan konsumsi CPO untuk kebutuhan pangan justru menggambarkan hal sebaliknya alias mengalami penurunan pada Januari 2022 jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2021.
Inilah akibatnya ketika sistem kapitalisme menjadi sistem yang mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pemenuhan urusan pangan rakyat diserahkan kepada swasta. Sementara negara hanya berfungsi sebagai pembuat regulasi saja. Ini bisa dilihat ketika kebijakan pemerintah seputar minyak goreng hanya berputar pada otak-atik pengaturan pola distribusi yang dialamatkan pada swasta tanpa menyentuh aspek mendasar soal pemenuhan kebutuhan dasar yang semestinya dijamin negara.
Maka Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) tidak akan menyelesaikan masalah. Dengan kebijakan tersebut, hanya akan meredam gejolak sosial sesaat.
Berbeda dengan kebijakan yang akan diambil oleh khilafah yang menerapkan sistem Islam. Kebijakan yang ditetapkan tidak akan merugikan rakyat. Adapun penyelesaian polemik minyak goreng ini adalah dengan memetakan kebutuhan pangan seluruh warganya terkait dengan pola distribusi. Akan dipastikan bahwa setiap wilayah tidak akan mengalami kekurangan stok. Kemudian akan dikaji wilayah mana saja yang menjadi penopang bagi kebutuhan tersebut.
Khilafah juga akan menyediakan bibit, pupuk, dan bantuan modal juga sarana pertanian. Negara hadir dalam proses produksi, penyediaan sarana produksi dan distribusi demi menjamin stok kebutuhan akan minyak goreng.
Berikutnya adalah menerapkan pembagian kepemilikan umum. Perkebunan sawit dalam pandangan Islam merupakan kekayaan milik umum yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh rakyat. Artinya rakyat bisa mengelola lahan tersebut sesuai batasan syariat. Karena itu khilafah berperan mengendalikan produksi dan distribusinya agar kemaslahatannya bisa dirasakan oleh rakyat.
Lahan milik rakyat boleh dikuasai dan ditanami sawit. Kemudian hasilnya nanti akan dijual dengan memperoleh keuntungan yang cukup besar.
Di samping itu negara juga melakukan pengawasan, menjaga mekanisme pasar, menerapkan sanksi bagi pelaku kejahatan ekonomi. Aktivitas semacam monopoli, penimbunan, penipuan, curang dan spekulasi adalah aktivitas yang diharamkan dalam Islam. Jika ada yang melanggar maka hukuman takzir akan dikenakan padanya. Khilafah akan memerintahkan qadhi hisbah untuk mengawasi dan menjaga mekanisme pasar, mengontrol pasar untuk memastikan ketersediaan kebutuhan pokok. Sekaligus qadhi hisbah juga akan menindak jika ada pelaku penipuan dan kecurangan termasuk menindak prilaku spekulatif dan mereka yang mengurangi timbangan dalam perdagangan.
Khilafah tidak akan turut campur dalam masalah harga karena hal tersebut dapat mengacaukan mekanisme pasar. Disamping itu perbuatan menentukan harga oleh negara merupakan perbuatan yang dilarang oleh Rasulullah SAW.
Wallahu 'alam bishawwab
Oleh: Emi Marisiah
(Pegiat Literasi)
0 Komentar