Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Babak Akhir Tenaga Honorer di Sistem Sekuler


Topswara.com -- Tahun 2023 dianggap sebagai babak terakhir bagi tenaga honorer. Pasalnya, pemerintah memutuskan kebijakan tentang penghapusan tenaga honorer pada 2023. Jelas pengumuman tersebut membuat para honorer merasa getir. Karena masa kerja di masa mendatang akan hilang.

Kabarnya kebijakan tersebut tertuang dalam Undang-Undang No 5 tahun 2014 bahwa ASN hanya terdiri dari dua skema pekerja, yakni PNS dan PPPK yang jumlahnya terbatas. Hal ini berlaku di seluruh wilayah, tak terkecuali Lampung Timur. Pemerintah Kabupaten Lamtim, khususnya Kepala Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Daerah (BKPPD) yaitu M. Ridwan tidak merasa keberatan dan siap mengikuti prosedur aturan pemerintah pusat (Kupastuntas.co, 7/6/2022).

Tidak dapat dipungkiri, secara resmi penghapusan tenaga honorer akan dilakukan pada 28 November 2023. Ketentuan ini pun telah disetujui oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo pada 31 Mei 2022. Maka BPKAD meminta seluruh data tenaga honorer kepada kepala OPD terkait total honorer yang masih aktif di Kabupaten Lampung Timur (Lampost.co, 18/6/2022).

Jika sudah seperti ini, lantas bagaimana nasib tenaga honorer pada tahun 2023? Tak bisakah pemerintah sedikit memberikan kabar gembira? Atau sejenak saja membiarkan rakyat bernapas menghirup udara segar tanpa harus ada beban. Mengapa terus memberlakukan kebijakan yang membuat rakyat makin sulit meraih sejahtera? Bukankah seharusnya tugas negara menjadi pelayan terbaik bagi rakyat? 

Berbagai pertanyaan tidak pernah menemukan jawaban yang sesuai. Masalah demi masalah bermunculan tanpa ada solusi tepat. Negara yang harusnya bertanggung jawab atas kebutuhan rakyatnya, justru lepas tangan tidak mau ambil pusing. 

Sekedar teori ingin memajukan bangsa dan negara secara keseluruhan. Realitanya hanya mengedepankan pembangunan ekonomi melalui infrastruktur. Tanpa memerhatikan kondisi ekonomi rakyatnya yang jauh dari kemakmuran. 

Indikator suatu negara bisa dikatakan berhasil jika perpaduan antara pertumbuhan penduduk dengan kemajuan teknologi sejalan. Tingkat pengangguran rendah, pendapatan negara tidak minus misalnya, sekaligus terhindar dari utang riba. Setidaknya negara berpihak pada kepentingan rakyat. Apalagi rakyat benar-benar butuh perhatian negara. Tidak membiarkan rakyat kebingungan sana sini mengundi nasib demi memenuhi kebutuhan hidup.

Seharusnya pasca pandemi menjadi cerita baru untuk mengakhiri penderitaan. Ketika rakyat ingin mengembangkan potensinya, negara siap sedia memfasilitasi dengan menyediakan lapangan kerja. Bukan malah membatasi bahkan mengakhiri episode karir bagi tenaga honorer. Semakin terbukti bahwa pemimpin negara tidak becus mengurusi rakyatnya.

Percuma saja negara menggebu-gebu mendorong generasi untuk menginjak pendidikan setinggi mungkin. Namun setelah lulus masih dihadapkan lagi dengan berbagai tantangan untuk memperebutkan posisi yang jumlahnya sedikit. Sehingga yang terekrut hanya yang lolos seleksi. Akhirnya pengangguran bermunculan. 

Di sisi lain penguasa begitu mudah membuat kebijakan yang justru lebih menguntungkan tenaga non pribumi. Belum lagi rakyat harus memikul beban kenaikan berbagai tarif dan pencabutan subsidi. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Begitulah nasib rakyat dibawah kekuasaan para kapitalis liberal. Hanya mempertebal kantongnya sendiri.

Hidup di sistem sekular memang segala sesuatunya terpisah. Ketika agama dipisahkan dari urusan negara, maka tidak ada keberkahan di dalamnya. Pasti ada ketimpangan hubungan penguasa dan rakyat. Ketika ingin menaikkan pendapatan negara lantas mengorbankan kesejahteraan rakyat. Bukannya untung, malah kemalangan yang didapat. 

Sebagaimana yang dirasakan para tenaga berstatus honorer, gaji pun tak sebanding. Mau mengeluh pun, penguasa tetap acuh. Seolah honorer menjadi penyebab pertambahan keuangan negara. Padahal tenaga honorer sangat membantu pekerjaan di lapangan, tetap dalam kacamata negara dianggap beban. Wajar saja penguasa tak ada empati dan simpati untuk mengurungkan niatnya menghapus tenaga honorer. 

Jika negara masih mempertahankan sistem kapitalisme sekuler, tak ada harapan bagi rakyat untuk mendambakan pemimpin yang adil dan amanah. Hati dan akal sehatnya sudah tertutup dengan jabatan dan kekuasaan. Tujuan utamanya bukan lagi demi memenuhi hak rakyat, beralih mencari keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya.

Berbeda halnya jika negara menegakkan sistem Islam. Tentunya Islam mengatur dan menjamin kemakmuran bagi rakyat. Pemimpin negara bertanggung jawab untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi rakyat. 

Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda,
“Seorang imam (pemimpin) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat (ia akan dimintai pertanggungjawaban atas segala urusan rakyatnya” (HR. Bukhari & Muslim).

Sejatinya Islam tidak memandang status honorer. Pekerja akan digaji oleh negara dengan layak berdasarkan jenis pekerjaan sesuai dengan bidangnya. Tentunya negara selalu memperhatikan hak dan kewajiban mereka sebagai pegawai negara maupun sebagai rakyat. Maka seluruh pegawai yang bekerja pada negara diatur sepenuhnya di bawah hukum-hukum ijârah (kontrak kerja). Mereka mendapatkan perlakuan adil sesuai hukum syariah.

Hal ini dibuktikan ketika pemimpin negara mampu memberi gaji dengan jumlah besar menggunakan sistem keuangan berbasis emas dan perak. Pengelolaan uang diserahkan di Baitul Mal. Bertujuan menjamin keamanan dalam menyimpan kekayaan negara untuk keperluan umum, tak terkecuali sebagai penyaluran gaji pekerja.

Selain itu, Baitul Mal terdiri atas pos kepemilikan negara yang bersumber dari harta fa’i, kharaj, jizyah, ghanimah, ‘usyur dan sejenisnya. Dari sinilah Pemimpin mengalokasikan anggaran gaji untuk para pegawai negara. Dengan demikian kondisi ini hanya dapat dijumpai di negara yang menerapkan syariah Islam secara kaffah. Demi tercapainya keridhaan Allah.

Wallahu A’lam


Oleh: Yeni Purnamasari, S.T.
(Muslimah Peduli Generasi)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar