Topswara.com -- Tindakan puan Maharani mematikan mikrofon kala menjabat sebagai Ketua DPR RI saat memimpin rapat paripurna kembali terjadi. Tindakan ini bukan sekali terjadi sedikitnya tiga kali, hal ini mengundang sorotan dari setiap dewan rapat khususnya pembicara.
Dalam hal interupsi salah satu anggota DPR dari fraksi PKS Amien AK bersikeras meminta kepada Puan agar diberikan 1 menit untuk menyampaikan interupsinya, mengenai LGBT yang sempat viral di podcash Dedy CoSrta dikibarkannya bendera LGBT di kantor Kedubes Inggris di Jakarta. Penolakan interupsi yang dilakukan oleh Puan, pertama saat rapat pengesahan UU Cipta Kerja, kedua persetujuan Jenderal TNI, ketiga saat rapat Paripurna (menit.co.id, 26/05/2022).
Fakta di atas menunjukkan bahwa negara ini gagal menjadi negeri merdeka (bebas berpendapat) seperti yang disuarakan oleh para pejabat negeri, mereka hendak mematikan aturan yang telah dibuat oleh tangan-tangan mereka sendiri.
Kebebasan itu tercantum dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat".
Sangat disayangkan apabila kebenaran yang diungkapkan, sengaja ditutupi oleh pejabat. Padahal masalah tersebut membawa dampak di kota yang lain.
Jika dilihat masih ada oknum pejabat yang prihatin dan perhatian terhadap kerusakan yang ada di negeri ini. Terlebih menyangkut masa depan negeri dan kepentingan rakyat oleh karenanya mereka hendak interupsi dan menyarankan kepada ketumu DPR atau pemerintah agar mereka melegitimasi kebijakan yang menguntungkan negeri dan rakyat bukan keuntungan bagi korporasi asing.
Tetapi suara itu dikunci, seakan suara-suara itu tidak penting memberikan masukan-masukan menyangkut kebaikan negara, apa salahnya mendengarkan sampai selesai tidak ada yang ruginya memberikan waktu untuk interupsi, begitu banyaknya problematik mengkritik kian masif mikrofon di non aktif.
Aksi mematikan mikrofon yang berulang ini seolah mengonfirmasi bahwa yang bersangkutan menganggap jabatan Ketua DPR bukan sekadar pemimpin sidang atau juru bicara lembaga, tetapi sebagai ajang unjuk kekuasaan.
Bagaimana negeri ini maju seperti negeri - negeri lainnya kalau hanya mengandalkan diri, semut saja memikul beban berat bersama-sama lalu mengapa memikul beban negeri tidak bersama, bukankah kalian dipilih untuk mengurusi negeri bersama-bersama lalu mengapa ketika ada yang bersuara di bungkam.
Berbicara adab, ketika seseorang hendak berbicara kita wajib memperhatikan dan mendengarkannya sampai selesai, tidak diperbolehkan memotong pembicaraan, setelah selesai kita diperbolehkan menyambung percakapan atau menutup percakapan, tapi hari ini adab itu tidak lagi menjadi pegangan bagi orang-orang yang punya kekuasaan jarang ditemukan orang berilmu punya adab sempurna.
Bukan menjadi rahasia sistem demokrasi terjadi perebutan kekuasaan dari pihak perahan dan oposisi, petahana berusaha membendung oposisi, sebaliknya oposisi berusaha mengkritik kebijakan petahana, perseteruan antar politis sulit di hindarkan.
Watak demokrasi begitu keras bila menyangkut kekuasaan, di antara dua bela pihak politisi berseteru itu sudah menjadi hal biasa di mata umum karena tujuan mereka menduduki kekuasaan untuk kepentingan individu, sehingga kebebasan berpendapat dalam demokrasi sungguh multitafsir jika yang berbicara rekan koalisinya maka diberikan kesempatan dengan hak individu, timbal terbalik jika yang berbicara atau mengritik dari koalisi seberang tidak jarang masuk pada pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan.
Posisi oposisi dalam demokrasi sering berganti, boleh jadi perseteruan ini hanya berlaku sementara, yang tadinya lawan boleh jadi besok menjadi kawan, karena dalam sistem demokrasi tidak ada lawan hakiki melainkan kepentingan hakiki. Begitulah tabiat alamiah demokrasi ia menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Inilah realitas culas yang sulit di tampil jika sudah masuk dalam lubangan sistem.
Sedangkan dalam sistem Islam, pendapat atau kritikan jika memang bertumpu pada syariat maka wajib didengarkan tidak melihat dia dari koalisi oposisi atau petahana ataukah dari pihak penguasa atau rakyat biasa.
Khalifah Umar bin Khaththab pernah dikritik seorang perempuan setelah beliau menyampaikan ketentuan terkait uang mahar. Peristiwa tersebut terekam dalam kitab tafsir Ad-Durrul Mantsur fi Tafsiril Ma’tsur karya Syekh Jalaluddin as-Suyuthi.
Suatu hari, Khalifah Umar naik ke atas mimbar. Beliau lalu berpidato di hadapan khalayak ramai, “Wahai orang-orang, jangan kalian banyak-banyak dalam memberikan mas kawin kepada istri karena mahar Rasulullah SAW. dan para sahabatnya sebesar 400 dirham atau di bawah itu. Seandainya memperbanyak mahar bernilai takwa di sisi Allah dan mulia, jangan melampaui mereka. Aku tidak pernah melihat ada lelaki yang menyerahkan mahar melebihi 400 dirham.”
Namun, rupanya beleid ini tidak disetujui oleh sebagian kaum perempuan. Seseorang di antara mereka pun menyampaikan protes. “Wahai Amirulmukminin, engkau melarang orang-orang memberikan mahar lebih dari 400 dirham kepada istri-istri mereka?”
Khalifah Umar pun menjawab, “Iya.”
Wanita itu lalu berkata, “Wahai Umar, engkau tidak berhak menetapkan demikian. Bukankah engkau telah mendengar firman Allah Swt.?”
Wanita itu lalu membaca QS An-Nisa: 20, “Kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak (sebagai mahar). Oleh karena itu, janganlah kalian mengambil kembali darinya barang sedikit pun.” Lantas, bagaimana respons Khalifah Umar? Masya Allah, ketika diingatkan dengan ayat Al-Qur’an itu, Umar langsung beristigfar lalu berkata, “Wanita itu benar dan Umar yang salah.”
Dari kisah di atas kita bisa mengambil pelajaran bahwa sikap seorang pemimpin hendak memberikan waktu dan mendengarkan sampai selesai yang mengajukan interupsi dan selalu berlapang dada menerima kritikan karena standarnya adalah syariat bukanlah hawa nafsu.
Oleh karena itu, pemimpin harus bersikap mendengarkan interupsi, kritik dan argumen menyangkut regulasi yang telah dirumuskan selama standarnya sesuai syariat sebab yang disampaikan adalah tujuan baik untuk negara atau untuk perbaikan.
Wallahu 'alam bisshawab
Oleh: Sasmin, S.Pd.
Aktivis Dakwah
0 Komentar