Ia mengatakan dengan pendekatan keadilan restorative, setidaknya ada tiga poin penting yang harus direnungkan.
Pertama, keadilan restorative memperkuat kohesi sosial antaranggota masyarakat. Kedua, memotivasi kejaksaan untuk terlibat dalam tujuan keadilan, yaitu pemulihan bagi mereka yang membutuhkannya. Ketiga, mendorong pelaku untuk merenungkan perilaku yang salah dan kerugian yang ditimbulkannya termasuk bagaimana ia harus merehabiliter dirinya.
Pendekatan restorative justice mengandung pengertian upaya perdamaian di luar pengadilan antara pelaku dan korban. Dengan maksud agar permasalahan selesai secara kekeluargaan.
Berdasarkan Perja Nomor 15 Tahun 2020, syarat restorative justice adalah tindak pidana yang baru pertama kali dilakukan, kerugian di bawah Rp 2,5 juta, adanya kesepakatan antara pelaku dan korban, tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun.
Demikianlah wujud kegagalan hukum dan peradilan dalam sistem sekuler di negeri ini. Peradilan dengan pendekatan restorative justice menandakan peradilan saat ini tidak memiliki sumber sanksi atau hukuman yang jelas. Beban negara dalam menanggung biaya para tahanan di Lapas semakin tinggi sehingga sistem sanksi juga dirubah sesuka hati.
Karena kedaulatan hukum diletakkan di tangan manusia alhasil penerapan hukum pidana lahir dari akal pikiran manusia yang senantiasa berubah-ubah dan ditunggangi kepentingan tertentu. Padahal akal manusia terhalang dimensi ruang dan waktu yaitu bersifat terbatas, tidak mampu menjangkau sesuatu yang tidak diinderanya, kadang menilai sesuatu itu baik padahal sejatinya buruk dan sebaliknya.
Oleh karena itu, akal tidak boleh dijadikan satu-satunya pedoman dalam menentukan hukum dan keadilan. Melainkan, harus diimbangi dengan sistem yang benar sehingga akal tidak berfikir secara liar. Dengan penerapan Restorative justice justru menimbulkan celah bagi pelaku kejahatan berat mendapatkan hukuman ringan.
Dalam sistem Islam penerapan uqubat (sistem sanksi Islam) diterapkan oleh daulah Khilafah Islamiyah dan kedaulatannya ditangan Asy Syari’.
Allah SWT berfirman: “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah” (TQS. Yusuf :40).
Sesuatu yang telah ditetapkan dalam syara’ bila perbuatan itu tercela maka sudah pasti hal itu merupakan tindak kejahatan tanpa memandang lagi tingkat tercelanya. Islam tidak memandang besar kecilnya sebuah kejahatan dan syariah juga telah menetapkan perbuatan tercela adalah dosa. Maka pelaku harus dikenai sanksi atau hukuman yang tegas.
Syaikh Abdurahman Al Maliki dalam kitabnya Nidzamul Uqubat fil Islam menjelaskan ada empat bentuk hukum pidana yaitu,
Pertama, hudud yaitu sanksi-sanksi atas kemaksiyatan yang kadarnya telah ditetapkan oleh Allah SWT. Dalam perkara hudud tidak ada pemaafan dari hakim ataupun pendakwa karena hudud adalah hak Allah dan berkaitan langsung dengan sanksi yang telah Allah SWT tentukan. Tidak ada seorang pun berhak menggugurkan hudud pada kondisi apapun. Contohnya had zina, had liwath (homoseksual), had mendatangi wanita pada duburnya, had pencurian, had Qadzaf (menuduh wanita baik-baik berzina), had peminum khamar, had pembegal, had pelaku bughat (pemberontakan) dan had murtad.
Kedua, jinayah yaitu sanksi-sanksi atas penganiayaan atau pembunuhan yang mengharuskan qishas ( pembalasan setimpal ) atau diyat (denda). Dalam jinayah terdapat hak manusia maka pemilik hak boleh memberi ampunan atau pemaafan kepada palaku kejahatan.
Ketiga, ta’zir yaitu sanksi yang tidak ditetapkan secara spesifik oleh Asy Syari’. Hukum diserahkan kepada penguasa atau hakim. Hukuman boleh sama atau kurang kadarnya dengan ta’zir dan jinayah asal tidak melebihi keduanya. Contoh hukuman terhadap pelanggaran kehormatan seperti perbuatan cabul, pelanggaran terhadap harga diri, perbuatan yang membahayakan akal, pelanggaran terhadap harta ( penipuan, penghianatan amanah harta, penipuan muamalah, meminjam tanpa izin, mengganggu keamanan negara, pelanggaran terhadap agama, dll).
Keempat, mukhalafat yaitu sanksi yang dijatuhkan oleh penguasa kepada orang yang menentang perintah penguasa baik perintah dari khalifah (kepala negara) dan para pembantu khalifah seperti wali, amil, dan orang-orang yang aktifitasnya berkaitan dengan kekuasaan. Bentuk sanksi mukhalafat diserahkan kepada qadhi.
Sistem sanksi Islam yang diterapkan oleh khilafah memiliki fungsi yang khas yaitu sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Artinya, sanksi dalam Islam mencegah orang lain untuk melakukan kemaksiyatan yang serupa karena merasa takut dan ngeri dengan sanksi yang dijatuhkan. Selain itu, sebagai penebus dosa para pelaku maksiyat kelak di akhirat sehingga para pelaku tindak kejahatan tidak perlu lagi menanggung dosanya.
Dalam khilafah akan mudah diberantas kasus pidana yang menumpuk dan tidak memberi efek jera. Sebab uqubat Islam bersifat jelas dan tegas. Selain itu, individu dan masyarakatnya diliputi rasa keimanan. Keimanan tersebut menjadi pengendali utama untuk mencegah masyarat bertindak maksiyat.
Wallahu a’lam bishawab
Oleh: Anisa Alfadilah
(Sahabat Topswara)
0 Komentar