Topswara.com – Ada sepuluh arti penting atau signifikansi yang sangat strategis dari definisi berpikir temuan Imam Taqiyuddin An-Nabhani berdasarkan hasil studi terhadap berbagai kitab karya Imam Taqiyuddin An-Nabhani yang disebut Ahli Fiqih Islam K.H. Shiddiq Al Jawi, S.Si., M.Si.
“Setelah melakukan studi terhadap berbagai kitab karya Imam Taqiyuddin An-Nabhani, kami menemukan setidak-tidaknya terdapat 10 (sepuluh) signifikansi (arti penting) yang sangat strategis dari definisi berpikir,” tuturnya dalam acara Studium Generale: Signifikansi Definisi Berpikir Temuan Imam Taqiyuddin An Nabhani di YouTube Ngaji Shubuh, Kamis (26/05/2022).
Kiai Shiddiq menyatakan, poin tersebut ditandai dengan dua hal utama, pertama, aspek kebaruan (novelty) yang belum pernah ditemukan oleh para pemikir sebelumnya, kedua, aspek implikasinya yang berguna dan luas spektrumnya dalam berbagai bidang keilmuan.
“Dengan diketahuinya definisi berpikir ini maka, pertama, dalam kitab At-Tafkir (1973), diketahui bagaimana asal usul (the origin) berbagai macam pengetahuan manusia,” ucapnya
Ia menegaskan, dengan jelasnya definisi berpikir, menjadi jelas apa itu proses berpikir (‘amaliyat at-tafkir), jelas pula dua metode berpikir, yaitu metode rasional (al-thariqah ‘al aqliyah, rational method) dan metode ilmiah (al-thariqah al-’ilmiyah, scientific method), yang dengan keduanya, dihasilkan berbagai pengetahuan manusia, baik ilmu-ilmu sosial-humaniora (social sciences-humanities) maupun ilmu-ilmu alam (natural sciences).
Kedua, dapat diketahui bagaimana metode pembentukan persepsi (mafahim) pada manusia, yang dinyatakan oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani di dalam kitab Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, I/12-13.
“Persepsi (mafahim) atau al-idrak, dapat terbentuk dengan integrasi dua komponen berpikir, yaitu mempertemukan realitas yang terindra (al-waqi’ al-mahsus) dengan informasi sebelumnya (al-ma’lumat al-sabiqah),” ujarnya.
Pembentukan persepsi sangat diperlukan dalam proses pendidikan agar peserta didik memahami materi ajar secara mendalam, bukan sekedar hafalan atau taklid. “Proses penyampaian materi ajar dengan mempertemukan realitas yang terindra (al-waqi’ al-mahsus) dengan informasi sebelumnya (al-ma’lumat al-sabiqah), disebut dengan talaqqiyan fikriyyan (menerima materi melalui proses berpikir),” tuturnya menyitat kitab Usus Al-Ta’lim Al-Manhaji fi Daulat Al-Khilafah halaman 14.
“Ketiga, Imam Taqiyuddin An-Nabhani menyebutkan di dalam kitab Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, I/21-24 bahwa dapat diketahui bagaimana metode pembentukan kepribadian manusia (takwin al-syakhshiyyah) yang dimulai dengan pembentukan pola pikir (‘aqliyah) sebagai basis pembentukan pola sikap atau pola perilaku (nafsiah),” sebutnya.
Ditambahkannya, signifikansi tersebut terkait dengan ilmu psikologi yang banyak membahas konsep kepribadian manusia (personality).
“Dengan penemuan definisi berpikir, dapat dijelaskan bahwa pola pikir (aqliyah) sebenarnya adalah proses berpikir yang berjalan sesuai definisi berpikir itu sendiri, yaitu proses berpikir dengan mempertemukan realitas yang terindra (al-waqi’ al-mahsus) dengan informasi sebelumnya (al-ma’lumat al-sabiqah), berdasarkan kaidah-kaidah berpikir yang diyakini sebagai standar berpikir bagi seseorang,” jelasnya.
Keempat, dapat diketahui mana rukun iman yang dalilnya aqli dan mana yang dalilnya naqli. “Dalam kitab Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz I/30-31, Imam Taqiyuddin An-Nabbhani menjelaskan dengan teramat gamblang (crystal clear) apa saja rukun-rukun iman yang berdalil aqli, dan apa saja rukun iman yang berdalil naqli,” katnya.
Prinsipnya, adalah mengikuti kaidah, maa laa yudrikuhu al-hissu laa yudrikuhu al-’aqlu, artinya apa saja yang tidak dapat dijangkau pancaindra, maka ia tidak dapat dijangkau oleh akal, yakni tidak dapat dijangkau oleh dalil aqli, sehingga wajib menggunakan dalil naqli.
Lebih lanjut, ia mengatakan, iman akan adanya Allah, iman bahwa Muhammad adalah utusan Allah, dan iman bahwa Al-Qur`an itu kalamullah, dalilnya aqli. Sedangkan iman kepada Hari Kiamat, iman kepada surga dan neraka, dalilnya naqli.
“Kelima, dengan diketahuinya definisi berpikir ini, dapat diketahui bahwa banyak pembahasan ilmu kalam pada zaman dahulu, telah melampaui batas kemampuan akal. Di dalam kitab Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz I/116-118, Bab Shifatullah, Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan bahwa Mu’tazilah berpendapat zat Allah dan sifat Allah itu satu kesatuan, sedangkan menurut Ahlus Sunnah (Asy’ariyah), zat Allah dan sifat Allah itu adalah dua entitas yang berbeda,” bebernya.
Padahal, objek pembahasannya, yaitu zat Allah dan sifat Allah, sebenarnya di luar kemampuan akal manusia, karena tak dapat diindra. Sehingga, akal manusia sudah pasti tak akan dapat menjangkau apakah zat Allah dan sifat Allah itu satu kesatuan atau dua entitas yang berbeda.
“Keenam, dapat diketahui batas kemampuan akal, yaitu akal hanya dapat berfungsi pada objek-objek empiris yang dapat diindra (al- waqi' al-mahsus). Signifikansi ini terkait dengan studi ilmu filsafat dalam arti studi terhadap apa-apa yang tidak dapat diindra manusia, atau maa wara`al maadah (sesuatu di balik materi),” paparnya.
Dalam kitab At-Tafkir (1973), Imam Taqiyuddin An-Nabhani mengkritik berbagai filsafat yang mengkaji apa yang ada di balik materi (objek tak terindra), misalnya tentang konsep filsafat emanasi, yang menjelaskan proses penciptaan alam semesta atau tata surya, melalui akal pertama, akal kedua, akal ketiga, dan seterusnya. Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani filsafat emanasi hanyalah khayalan atau fantasi belaka (at-takhayyullat wa al-furudh).
“Ketujuh, dapat diketahui bahwa dalam kajian Ushul Fiqih, baik buruknya perbuatan manusia dari segi pahala dan dosa dari Allah, atau dari segi pujian atau celaan dari Allah, tidaklah mungkin dijangkau oleh akal manusia, sehingga akhirnya kita harus merujuk kepada wahyu Allah, untuk mengetahui apakah suatu perbuatan itu dipuji Allah atau dicela Allah,” sitatnya dari Imam Taqiyuddin An-Nabhani di dalam Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 3/17-18.
Lanjut dikatakan, “Sebagai contoh, bahwa zina itu buruk karena dicela Allah, atau shalat itu baik karena dipuji Allah, tidaklah mungkin dijangkau oleh akal manusia. Pujian atau celaan Allah terhadap suatu perbuatan manusia, merupakan hal gaib yang di luar jangkauan kemampuan akal. Maka dari itu, dalam masalah ini, kita wajib merujuk kepada wahyu Allah, yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah.”
“Kedelapan, dari kitab At-Tafkir (1973) dapat diketahui bahwa metode rasional (al-thariqah al-’aqliyah) adalah metode paling mendasar untuk melahirkan berbagai pengetahuan. Hal itu karena, setelah kita mengetahui definisi berpikir, maka akan diketahui pula bahwa metode rasional itu merupakan basis bagi adanya metode ilmiah,” bayannya.
Ada dua alasan mengapa metode rasional itu basis bagi metode ilmiah. Pertama, cakupan objek metode rasional lebih luas daripada objek kajian metode ilmiah. Kedua, untuk melaksanakan metode ilmiah, seperti eksperiman di laboratorium, mutlak diperlukan metode rasional lebih dulu, yaitu mendapat informasi sebelumnya mengenai berbagai hal di laboratorium (seperti kegunaan bahan, alat, prosedur percobaan, dan sebagainya).
“Kesembilan, kitab At-Tafkir (1973) menyatakan, diketahui bahwa metode ilmiah adalah cabang dari metode aqliyah. Metode ilmiah tidak dapat menafikan metode rasional, karena penafian ini berarti sesuatu yang cabang membatalkan sesuatu yang asasi (mendasar) yang justru melahirkannya,” ulasnya.
Ditegaskannya, tidak boleh menolak konsep Nabi Adam AS sebagai manusia pertama yang langsung diciptakan oleh Allah (sebagai hasil metode rasional), dengan alasan hal tersebut bertentangan dengan Teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia itu hanya satu mata rantai dari evolusi organisme (sebagai hasil metode ilmiah).
Maha benar Allah ﷻ yang berfirman di dalam Al-Qur’an suah As-Sajdah ayat 7-8,
وَبَدَاَ خَلْقَ الْاِنْسَانِ مِنْ طِيْنٍ ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهٗ مِنْ سُلٰلَةٍ مِّنْ مَّاۤءٍ مَّهِيْنٍ ۚ
Dia (Allah) memulai penciptaan manusia (Adam AS) dari tanah, kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina (air mani).
“Kesepuluh, dapat diketahui kebatilan paham materialisme, yang menjadi dasar bagi ideologi sosialisme. Materialism is the view that all that exist is matter and depends on matter for its existence, yang artinya materialisme adalah paham bahwa segala sesuatu yang ada adalah materi, dan bergantung pada materi untuk eksistensinya,” kutipnya pendapat Andi Muawiyah Ramly dalam buku Peta Pemikiran Karl Marx, Yogyakarta : LKIS, 2004.
Dari materialisme tersebut dibangun dialektika materialisme dan historis materialisme. “Padahal materialisme itu keliru, karena mengikuti definisi akal versi komunisme, yang telah menafikan hal yang gaib (Hari Kiamat, surga, neraka, dsb) atau nonmateri, sehingga dianggap tidak ada, hanya karena tak dapat diindra,” ujarnya.
Jadi, kekeliruan materialisme itu berakar pada kekeliruan perumusan definisi akal versi komunisme yaitu,
إِنَّ الفِكْرَ هوَ انْعِكاسُ الواقِعِ عَلَى الدِّمَاغِ
“Sesungguhnya akal (berpikir) adalah refleksi realitas ke dalam otak.”
“Definisi akal (atau berpikir) menurut komunisme itu keliru, karena dua alasan, pertama, yang terjadi dalam proses berpikir adalah pengindraan, bukan refleksi; kedua, proses berpikir itu mutlak memerlukan informasi sebelumnya, tidak mungkin proses berpikir berjalan otomatis tanpa informasi sebelumnya, sebagaimana dalam proses refleksi,” tuntasnya mengutip pandangan Imam Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Nizhamul Islam halaman 41.[] Reni Tri Yuli Setiawati
0 Komentar