Dikutip dari SuaraJatim.id, bank titil atau rentenir kian meresahkan di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Tidak sedikit warga yang terjerat lintah darat itu dan berdampak pada hancurnya hubungan rumah tangga.
Bank titil yang praktiknya memberikan pinjaman dengan bunga berlipat ganda itu sedang mewabah dua desa di Jember. Guna memuluskan praktik kotornya, para rentenir mengaku sebagai koperasi.
“Kebanyakan yang beroperasi bukan koperasi sebenarnya. Istilahnya bank titil. Bunganya terlalu mencekik. Dari pengambilan sampai lunas, bisa 50 hingga 100 persen,” kata, Kepala Desa Sukoreno, Kecamatan Kalisat, Wawan Rusmawadi.(Beritajatim.com, 15/3/2022).
Pratik utang piutang ke rentenir di masyarakat kerap kali menimbulkan korban. Seperti dengan indimidasi, tak sedikit dengan perilaku kasar hingga menjadikan hubungan keluarga hancur. Tak sedikit kasus perceraian hingga kerja keluar negeri menjadi solusi terakhir untuk melunasi tanggungan mereka.
Meskipun dampaknya sudah nampak akan tetapi masyarakat tetap menjadikan bank titil atau sebangsanya menjadi solusi praktis untuk mendapatkan uang. Sebab memang minimnya pondasi akidah di tengah - tengah umat. Dimana sebagian berdalih karena terpaksa untuk memenuhi kebutuhan pokok dan sebagai sumber modal usaha.
Jika kita lihat kehidupan saat ini semua semakin sulit. Harga kebutuhan pokok , tarif dasar listrik, elpiji hingga BBM pun juga kompak naik. Di satu sisi lapangan pekerjaan kian sempit. Banyak korban PHK dimana -mana dan meskipun dapat pekerjaan gajinya pun tak cukup untuk satu bulan bertahan hidup.
Jadi wajar saja jika masyarakat melirik bank titil sebagai solusi menambal kekurangan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Meskipun harus rela membayar dengan bunga yang begitu besar.
Di sinilah peran negara gagal dalam memperhatikan kesejaterahan rakyatnya. Untuk memenuhi kebutuhan perut saja mereka rela dan terpaksa memakan dari hasil pinjaman riba.
Inilah potret buram hidup dalam kubangan sistem kapitalis. Di mana hanya segelintir orang saja yang dapat berkuasa yakni para pemilik modal. Mereka bisa membeli apa saja, memiliki yang dia suka serta berkuasa dimana -mana. Sedangkan rakyat kecil semakin susah untuk mendapatkan penghasilan yang layak serta banyaknya digaji dengan nilai rendah.
Sungguh miris jika hidup di sistem kapitalis, yang kaya makin kaya sedangkan kaum miskin semakin miskin.
Kondisi demikian membuat rakyat kecil semakin menderita, serta tidak tertanam akidah yang kuat bahwa meminjam uang kepada rentenir adalah riba.
Jika dilihat dalam prespektif Islam bahwa jelas Allah telah menerangkan dalam firmanya:
: ÙˆَاَØَÙ„َّ اللّٰÙ‡ُ الۡبَÙŠۡعَ ÙˆَØَرَّÙ…َ الرِّبٰوا "
Artinya: "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba." (QS al- Baqarah: 275).
Menurut Sayyid Qutb dalam bukunya yang berjudul “Tafsir Ayat-Ayat Riba”, pengertian riba adalah penambahan utang yang sudah jatuh tempo.
Selain itu, Sayyid Qutb juga mengatakan bahwa sifat alami pada riba adalah berlipat ganda. Oleh sebab itu, meski tambahan yang dikenakan berjumlah kecil, seiring waktu pasti berlipat jumlahnya.
Dalam salah satu hadis Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Dari Jabir Ra. ia berkata: “Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam telah melaknat orang-orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan, orang yang menyaksikannya, (dan selanjutnya), Nabi bersabda, mereka itu semua sama saja.” (HR. Muslim).
Begitu juga dengan dosanya yang begitu dahsyatnya. Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA bahwa Nabi ï·º bersabda: "Sesungguhnya satu dirham yang didapatkan seorang Iaki-laki dari hasil riba Iebih besar dosanya di sisi Allah daripada berzina 36 kali." (HR Ibnu Abi Dunya).
Dalam sistem Islam negara mempuyai andil dalam meriayah rakyatnya mulai dari memenuhui kebutuhan pokok, pelayanan publik, hingga kebutuhan lainya.
Dalam negara Islam memenuhi kebutuhan pokok bagi rakyatnya adalah hal utama dan kewajiban untuk kesejaterahan bersama. Sebagai contoh pada era khalifah Umar bin Abdul Aziz telah mengentaskan rakyatnya dari kemiskinan. Semua rakyatnya hidup berkecukupan.
Khalifah Umar memerintahkan, mencari orang yang dililit utang tetapi tidak boros serta mencari seorang lajang yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah. Tak hanya itu saja Khalifah Umar lalu memberi pengarahan, mencari orang yang biasa membayar jizyah dan kharaj. Kalau ada yang kekurangan modal, diberi pinjaman agar mampu mengolah tanahnya.
Sejatinya sumber pendanaan itu berasal dari baitul maal yang secara resmi berdiri pada zaman kekuasaan Khalifah Umar bin Khattab. Namun, cikal bakalnya sudah mulai dikenal sejak zaman Rasulullah SAW. Rasulullah SAW secara adil mengalokasikan pemasukan yang diterima untuk pos-pos yang telah ditetapkan.
Dengan begitu maka rakyat pun tak akan kebingungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebab semua ditanggung negara. Sehingga praktik riba pun tak kan berkembang sebab negara akan turun tangan langsung dan memberikan penguatan akidah tentang bahaya serta dosa riba. Sehingga hanya dengan sistem Islam lah praktik riba ini akan sirna karena diterapkanya hukum syariat secara sempurna.
Wallahu a'lam bishawab
Oleh: Luluk Ningtyas
(Sahabat Topswara)
0 Komentar