Topswara.com -- Lagi dan lagi rakyat +62 kembali dihadiahi kenaikan. Bukan kenaikan penghasilan mereka, tapi kenaikan pendapatan negara yakni melalui Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dikutip dari cnbcindonesia.com (22/3/2022), pemerintah melalui Menteri Ekonomi Sri Mulyani menyatakan bahwa PPN akan naik menjadi 11 persen, berlaku mulai 1 April 2022 kemarin.
Kenaikan PPN menjadi 11 persen ini dilakukan menyusul disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam UU tersebut diatur bahwa kenaikan PPN 11 persen dilakukan per 1 April 2022, kemudian akan disusul kenaikan menjadi 12 persen selambatnya 1 Januari 2025. (Kompas.com 31/03/2022)
Rakyat saat ini tengah terluka dengan kelangkaan dan kenaikan harga berbagai macam kebutuhan pokok, seperti minyak goreng. Kalaupun berlimpah tapi harganya super "Wah". Bahkan rakyat rela mengantri berjam-jam demi mendapatkan 1 atau 2 liter minyak goreng dengan harga lebih murah. Disaat luka masih berdarah, pemerintah justru menorehkan luka baru dengan kebijakan kenaikan PPN.
Terlebih saat ini 11 barang kebutuhan pokok yang sebelumnya dikecualikan dari PPN, melalui UU HPP telah diubah dan dijadikan objek PPN (cnnindonesia.com 03/04/2022).
Jika masih dalam pengecualian saja rakyat sudah merasa berat, dengan berbagai harga yang nantinya akan naik, seperti voucher pulsa dan kouta, seragam dan alat-alat sekolah, harga barang bangunan, harga bahan kue, harga pakan ternak dan lainnya. Lalu bisa dibayangkan betapa beratnya hidup ketika kebutuhan pokok juga menjadi objek PPN.
Mirisnya pemerintah justru tega mengatakan bahwa kenaikan PPN ini masih tergolong rendah, mengingat rata-rata PPN di seluruh dunia adalah sebesar 15 persen (JawaPos.com 22/03/2022).
Padahal pendapatan Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tersebut, layakkah untuk dibandingkan?
Pajak juga dipuji sebagai aktivitas gotong royong. “Masyarakat yang tidak bayar pajak malah mendapatkan bantuan dari pemerintah, bantalan sosialnya ditebalkan. Masyarakat yang mampu yang urunan. Ini gotong royong dari sisi ekonomi Indonesia,” kata Menkeu Sri Mulyani (JawaPos.com 22/03/2022).
Jika ini gotong royong, harusnya pajak itu membantu, dibebankan hanya bagi yang mampu. Bukan memaksa, dan sama rata untuk semua. Seperti kenaikan PPN, bukankah semua akan merasakan dampaknya?
Parahnya lagi kebijakan ini dilakukan dengan dalih untuk ciptakan keadilan. "Negara hadir melalui berbagai cara. Melihat seluruh policy perpajakan, tujuannya mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia," kata Sri Mulyani (cnbcindonesia.com 24/3/2022).
Pertanyaannya, adilnya dimana?
Rakyat Terus Dipalak?
Inilah potret buram kehidupan di sistem kapitalis sekuler. Di sistem ini pajak memang merupakan pemasok utama pendapatan negara. Maka jangan heran, ketika pajak ada dimana-mana. Hal yang wajar, jika rakyat terus merasa dipalak. Sistem ini telah menjadikan kepemimpinan berjalan bukan atas asas pelayanan, tapi keuntungan.
Sungguh jauh berbeda dengan apa yang diajarkan dan diterapkan dalam sistem Islam. Islam mengatur bahwa pemimpin adalah pelayan umat. Rasulullah SAW. bersabda, "Pemimpin Negara adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus" (HR al-Bukhari).
Mental pemalak akan jauh dari diri pemimpin dalam Islam, sebab ia sadar bahwa jabatan adalah amanah dan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah. Bahkan ancaman bagi pemimpin yang menyusahkan rakyatnya telah disampaikan Rasulullah SAW. dalam doanya, "Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia membuat susah umatku, maka susahkanlah dia. Dan siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia sayang pada umatku, maka sayangilah ia.” (HR. Muslim)
Ketika manusia biasa mendoakan hal buruk bagi kita, itu saja sudah cukup membuat kita khawatir. Lalu tidakkah hati para penguasa itu bergetar ketika doa berisi ancaman itu disampaikan langsung oleh Rasulullah saw. yang maksum? Ataukah harus dipertanyakan, masihkah hati nurani itu mereka miliki?
Adakah pajak dalam Islam?
Dalam sistem ekonomi Islam yang diterapkan dalam negara yang menerapkan Islam secara keseluruhan, pajak bukanlah sumber pendapatan tetap negara. Sumber pendapatan tetap negara di dalam Islam berasal dari tiga pos, yakni pos kepemilikan negara, pos kepemilikan umum, dan zakat.
Tiap pos telah ditetapkan peruntukannya masing-masing. Misalnya khusus untuk zakat, hanya untuk 8 asnab (golongan). Pos kepemilikan umum seperti hasil pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang berlimpah, untuk membiayai hajat publik seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Pos kepemilikan negara untuk menggaji para aparat negara dan lain-lain.
Pendapatan ini tetap ada, tidak tergantung ada atau tidaknya kebutuhan.
Namun jika pada suatu keadaan, ternyata kas negara mengalami kekosongan.
Misal terjadi bencana alam hingga pos kepemilikan umum dan negara sudah tidak mampu menanggungnya, sedangkan ada kewajiban negara yang tetap harus dipenuhi, maka disinilah Islam mengambil jalan pemungutan pajak atau dharibah.
Dharibah ini diambil hanya dari aghniya atau orang yang memiliki kelebihan harta setelah dikurangi pemenuhan kebutuhan mereka. Masyarakat dalam Islam akan didorong untuk saling membantu. Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa melepaskan kesusahan duniawi seorang muslim, Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat.." (HR. Muslim)
Jadi pajak dalam Islam bersifat insidental dan sementara. Ketika kebutuhan negara telah terpenuhi, penarikan pajak pun akan dihentikan. Bukan seperti saat ini, tidak pandang bulu dan waktu. Inilah aturan Islam yang sempurna, aturan yang akan menghadirkan rahmat bagi seluruh alam jika ia diterapkan secara keseluruhan bukan sebagian. Wallahu a'lam
Oleh: Noor Dewi Mudzalifah
Pegiat Literasi
0 Komentar