Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Petani Ditangkap, Aparat Berpihak pada Korporasi?


Topswara.com -- Baru-baru ini diberitakan bahwa di salah satu daerah yang ada di Indonesia sedang dilanda konflik agraria. Akibat dari konflik agraria tersebut, terjadi satu kasus yang memilukan bagi para petani. Bagaimana tidak, 40 orang petani atau PPPBS (Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera) di tangkap oleh aparat ketika sedang memanen Sawit hasil pertanian mereka.

Di lansir dari kabartrenggalek. Bahwa di Provinsi Bengkulu, kecamatan Malin Deman di Kabupaten Mukomuko, tepat pada tanggal 12 Mei 2022 jam 10.00 WIB. telah terjadi penangkapan oleh aparat Brimob terhadap para Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (PPPBS). Mereka ditangkap dalam keadaan sedang memanen Sawit hasil pertanian mereka. Tanah yang mereka tanami Sawit saat ini memang sedang dalam upaya menyelesaikan konflik yang terjadi dengan perusahaan PT DDP (Daria Sharma Pratama). (Kabartrenggalek. 12-05-2022).

Akar Law Office (ALO) mengungkapkan bahwa, penangkapan dan menjadikan 40 anggota PPPBS (Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera) sebagai tersangka oleh  Kepolisian Resor Mukomuko adalah menyalahgunakan kekuasaan. 

Selain itu, Zelig Ilham Hamka, S. H, selaku Koordinator Reforma Agraria, Akar Foundation mengatakan bahwa Aparat kepolisian juga telah melakukan tindakan sewenang-wenang kepada masyarakat, yang jelas melanggar dan juga bertentangan dengan UUD 1945, KUHAP dan prinsip HAM. Sebab, saat ini konflik agraria di perkebunan yang digarap anggota PPPBS di Kecamatan Malin Deman dalam kondisi a quo (Dalam penyelesaian konflik agraria melalui skema TORA). (infonegeri.id. 15-05-2022)

Fakta bahwa penangkapan aparat terhadap para petani di kecamatan Malin Deman ini seolah memperlihatkan kepada kita keberpihakan para aparat ini kepada korporasi. Bagaimana tidak, aparat yang di kenal sebagai pengayom bagi masyarakat justru dengan mudahnya mereka menyalahgunakan kekuasaan demi melindungi eksistensi pengusaha, tanpa memperhatikan akar permasalahannya. Walhasil, para petani seolah tak punya tempat untuk mengadukan nasib mereka.

Bagaimana Islam Memberi Solusi dalam Konflik Agraria?

Dalam sistem kapitalisme yang dasarnya menganut sistem buatan manusia memang hanya mengutamakan materi semata. Alhasil, para penganutnya pun lebih mengutamakan kepentingan korporasi berduit dibandingkan masyarakat kecil. Berbeda dengan Islam yang memang dasarnya menganut sistem hukum dari Allah sang pengatur yang Maha Adil.

Sistem Islam itu sendiri selalu memberikan solusi tuntas dalam setiap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat termasuk masalah konflik agraria. Konflik agraria akan terus terjadi selama sistem demokrasi menjadi sumber hukum manusia dalam mengatasi masalah-masalah yang ada seperti sengketa tanah. Sebab, dalam sistem demokrasi bantuan-bantuan hanya akan berpihak kepada para pengusaha berduit dibandingkan rakyat biasa yang meminta keadilan.

Masalah pertanahan memang sangat penting untuk di selesaikan, mengingat masalah tanah adalah hal yang sangat penting bagi masyarakat kecil khususnya dibidang pertanian. Oleh karena itu, Islam telah memberikan solusi luar biasa dalam masalah sengketa agraria (sengketa tanah). 

Selain itu, Allah dan Rasul-Nya juga telah melarang keras manusia merebut tanah milik orang lain walaupun sejengkal, apa lagi dengan cara yang bathil.
Sebagai sabda Rasulullah SAW:
“Barangsiapa mengambil satu jengkal tanah yang bukan haknya, ia akan dikalungi tanah seberat tujuh lapis bumi di hari kiamat” (HR Muslim). 

Hadis tersebut diriwayatkan oleh sahabat Sa’id bin Zaid setelah mengalami sengketa tanah dengan seorang perempuan bernama Arwa binti Uways, yang mengadukan sengketa ini kepada Marwan bin Hakam yang saat itu menjabat khalifah Dinasti Umayyah. Merasa direnggut haknya oleh Arwa binti Uways, Sa’id bin Zaid sampai mengucapkan kutukan bahwa jika benar haknya direnggut, “Semoga Allah membutakan matanya dan mematikannya di tanahnya”, yang kemudian terkabul: Arwa hidup buta di sisa hidupnya sampai meninggal.

Selain itu, perhatian Islam terhadap agraria adalah meminta masyarakat untuk senantiasa menghidupkan tanah yang telah mati dan tidak di kelola oleh negara. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. Yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka ia berhak atas tanah tersebut.”

Bukan hanya itu, Islam juga melarang penelantaran tanah yang berakibat merugikan ekonomi dan menurunkan produktivitas bagi negara. Oleh karena itu, setiap orang memiliki hak milik atau hak guna atas tanah, namun dia tidak mengelolanya atau malah menelantarkannya selama tiga tahun, maka negara berhak mencabut hak atasnya. 

Setelah itu, negara bertugas menyerahkan tanah tersebut kepada siapa pun yang siap mengelolanya. Sehingga pengelolanya akan menjadi pemilik tanah yang sah. Mengenai hal ini, Khalifah Umar ra. Pernah berkata, “Orang yang menelantarkan tanah selama tiga tahun dan tidak mengelolanya, lalu datang orang lain dan mengelolanya, maka orang itu berhak atas tanah tersebut.”

Beginilah cara Islam menyelesaikan konflik agraria dengan penerapan hukum syariat yang sesuai dengan perintah Tuhan bukan perintah manusia yang tak berujung atau bahkan berujung pada kemenangan korporasi semata. 

Oleh karena itu, masyarakat dalam menghadapi konflik agraria sangat membutuhkan penerapan syariat Islam. Sebab hanya penerapan hukum Islamlah yang mampu menyelesaikan konflik agraria secara adil bagi rakyat.

Wallahu ‘alam bishawwab.


Oleh Rismawati, S.Pd 
(Penggiat Opini)

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar