Topswara.com -- Ahli Fiqih Islam K.H. Shiddiq Al Jawi, S.Si., M.Si. mengungkapkan definisi berpikir yang sahih menurut Imam Syekh Taqiyuddin An-Nabhani. “Di dalam kitabnya At-Tafkir (1973), Imam Taqiyuddin An-Nabhani mendefinisikan berpikir secara sahih,” tuturnya di YouTube Ngaji Shubuh, Kamis (26/05/2022) dalam acara Studium Generale: Signifikansi Definisi Berpikir Temuan Imam Taqiyuddin An Nabhani.
“Definisi berpikir ternyata tidak banyak dikaji oleh para pemikir secara serius. Ini terbukti dari definisi-definisi yang ada itu belum mencapai definisi yang benar. Jadi ada kritikan oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani yang menurut beliau itu mereka tidak bersungguh-sungguh untuk mengkaji definisi berpikir,” ujarnya.
Lanjut dikatakan, padahal dari aktivitas berpikir itulah, telah dihasilkan berbagai buah yang bermanfaat bagi manusia, misalnya berbagai pengetahuan (ma’rifah) dalam sains dan teknologi yang sangat bermanfaat bagi manusia.
Kiai Shiddiq menyebutkan, di dalam kitab At-Tafkir (1973), Imam Taqiyuddin An-Nabhani mendefinisikan berpikir sebagai berikut,
فَالْعَقْلُ أَوْ اَلْفِكْرُ أَوْ الإِدْراكُ هوَ نَقْلُ الحِسِّ بِالْوَاقِعِ بِوَاسِطَةِ الحَوَاسِّ إِلَى الدِّمَاغِ ، وَوُجودُ مَعْلوماتٍ سابِقَةٍ يُفَسَّرُ بِوَاسِطَتِهَا هَذَا الواقِعُ
“Akal, atau berpikir, atau pemahaman (comprehension) adalah transfer pengindraan terhadap realitas melalui pancaindra ke dalam otak, dan dengan adanya informasi sebelumnya, realitas ini ditafsirkan atau dijelaskan. Bahasa Inggrisnya, ‘The mind, thought or perception is the transfer of the sense of reality through the senses to the brain, and the presence of previous information by which this reality is explained.’,” jelasnya
Founder Institut Muamaalah Indonesia tersebut menyebutkan ada empat komponen berpikir. “Berpikir itu suatu aktivitas yang hanya dapat berlangsung jika ada secara lengkap sebagai berikut, pertama, ada suatu realitas (objek); kedua, terjadi pengindraan oleh indra yang sehat; ketiga, terdapat otak yang sehat; keempat, terdapat informasi sebelumnya yang berkaitan dengan realitas (objek) tersebut,” bebernya.
“Dengan demikian, jika salah satu atau lebih dari empat komponen tersebut tidak ada, maka sesungguhnya tidak mungkin terjadi suatu proses berpikir (al-‘amaliyat al-’aqliyah) pada diri manusia,” ujarnya mengutip pendapat Imam Taqiyuddin An-Nabhani di dalam kitab At-Tafkir halaman 50.
Imam Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab tersebut juga menyebut beberapa definisi berpikir yang lain. “Sejumlah ulama mencoba mendefinisikan berpikir (atau akal) sebagai berikut,
إِنَّ العَقْلَ هُوَ قوَّةٌ لِلنَّفْسِ وَالْإِدْرَاكَاتِ
‘Sesungguhnya akal [atau berpikir] adalah satu kekuatan bagi jiwa dan kekuatan untuk [mencapai berbagai] pemahaman (comprehension).’,” sebutnya.
Pendapat definisi berpikir lainnya di dalam kitab Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah juz 1 halaman 120 disebutkan,
العَقْلُ هُوَ غَرِيْزَةٌ يَتْبَعُهَا العِلْمُ بِالضَّرُورِيَّاتِ عِنْدَ سَلامَةِ الآلَاتِ
“[Akal] adalah suatu naluri yang diikuti oleh pengetahuan terhadap hal-hal yang bersifat dharuri (tanpa dipikirkan) pada saat sehatnya berbagai indra manusia.”
“Ada pula yang mendefinisikan sebagai berikut,
إِنَّ العَقْلَ هُوَ جَوْهَرٌ تُدْرَكُ بِهِ الغَائِبَاتُ بِاَلْوَسَائِطِ وَاَلْمَحْسُوْسَاتِ بِالْمُشَاهَدَةِ
“Sesungguhnya akal adalah suatu substansi yang dengannya akan dapat dijangkau hal-hal yang gaib dengan perantara-perantara dan pengindraan-pengindraan terhadap hal-hal yang dapat dipersaksikan.”
Ia pun menyebutkan bahwa ada yang secara ringkas mendefinisikan,
إِنَّ العَقْلَ هُوَ النَّفْسُ بِعَيْنِهَا
“Sesungguhnya akal [atau berpikir] adalah jiwa manusia itu sendiri.”
Berbagai definisi itu, menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani belum menunjukkan definisi akal atau berpikir yang tepat. Definisi yang paling dekat dengan fakta berpikir, menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, sebagaimana dalam kitab At-Tafkir (1973), adalah justru definisi menurut kaum komunis, yaitu:
إِنَّ الفِكْرَ هوَ انْعِكاسُ الواقِعِ عَلَى الدِّمَاغِ
“Sesungguhnya akal adalah refleksi realitas ke dalam otak.”
“Namun demikian, definisi ini pun tidak luput dari kritikan beliau, yaitu dalam proses berpikir itu yang terjadi sebenarnya bukanlah refleksi, melainkan pengindraan (suatu objek), dan mustahil proses berpikir terjadi otomatis tanpa informasi sebelumnya,” tuntasnya.[] Reni Tri Yuli Setiawati
0 Komentar