Topswara.com -- Menanggapi kebijakan pemerintah Thailand melegalkan ganja, Ahli Fiqih Islam K.H. Shiddiq Al Jawi, S.Si., M.Si. tegas menyatakan haram secara mutlak hukumnya menggunakan, memanfaatkan, dan melegalkan ganja.
“Menurut kami haram hukumnya secara syar’i menggunakan ganja (Cannabis sativa) secara mutlak, baik menanam ganja, menghisap ganja, menjualbelikan ganja, ataupun melegalkan ganja. Hukum pemanfaatan ganja juga tetap haram meskipun untuk sekedar penyedap makanan, meskipun hanya sedikit dan meskipun tidak menimbulkan bahaya atau efek negatif bagi yang memakan makanan tersebut. Haram pula sebuah negara melegalkan ganja bagi rakyatnya,” tegasnya kepada Topswara.com, Ahad (22/03/2022).
Kiai Shiddiq menjelaskan, keharaman ganja tersebut didasarkan pada dalil syar’i yang mengharamkan ganja secara mutlak, baik sedikit maupun banyak. Juga didasarkan pada fakta tidak adanya illat (alasan penetapan hukum) keharaman ganja, misalnya karena menimbulkan efek negatif bagi penggunanya.
“Maka, ganja hukumnya haram tanpa melihat lagi apakah menimbulkan efek negatif atau tidak bagi penggunanya,” tandasnya.
Ia menukil dalil syar’i yang mengharamkan ganja (Arab: al-hasyisy) secara mutlak adalah hadis riwayat Abu Dawud no. 3689 dan Ahmad no. 26676,
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ مُسْكِرٍ وَمُفْتِرٍ
Dari Ummu Salamah RA, dia berkata, "Bahwa Rasulullah SAW telah melarang setiap-tiap zat yang memabukkan (muskir) dan zat yang melemahkan (mufattir).
Founder Institut Muamalah Indonesia tersebut mengatakan bahwa sebagian ulama menilai hadis ini dhaif (lemah), misalnya penulis kitab ‘Aunul Ma’bud dan Syekh Syu’aib Al Arna`uth.
“Namun kami lebih condong kepada Imam Ibnu Hajar Al Asqalani yang menghukumi hadis ini sebagai hadis hasan. (‘Aunul Ma’bud, 3/378; Musnad Ahmad bin Hanbal Ma’a Hukm Syu’aib Al Arna`uth, Juz 6 hlm. 309; Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, Juz 10 hlm. 47; Kitabul Asyribah, Bab Al Khamr min Al ‘Asl, syarah hadis no 5263; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz 11 hlm. 35, Bab At Takhdiir; Ahmad Fathi Bahnasy, Al Khamr wal Mukhaddirat fi Al Islam, hlm. 169),” bebernya.
Lanjut dikatakan, mengutip ulama Rawwas Qal’ah Jie di dalam Mu’jam Lughah Al Fuqoha, halaman 342; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz 11 halaman 35 bahwa para ulama menjelaskan yang dimaksud dengan kata mufattir dalam hadis di atas adalah setiap zat yang dapat menimbulkan rasa tenang atau rileks (istirkha`) dan lemah/lemas (futuur) pada tubuh manusia. “Maka dari itu, hadis di atas dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan ganja,” lugasnya.
“Imam Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan bahwa dalam hadis Ummu Salamah ini terdapat dalil yang secara khusus mengharamkan ganja (al-hasyisy), karena ganja dapat menimbulkan rasa tenang (tukhaddir) dan melemahkan (tufattir),” kutipnya dari Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz 11 hlm. 35; Al Mausu’ah Al Jina`iyyah Al Muqaranah, Juz 1, halaman 367 dan 695.
“Keharaman ganja ini menurut kami bersifat mutlak, artinya baik dikonsumsi sedikit maupun banyak hukumnya tetap haram. Sebagaimana yang dikatakan Syekh As-Saharanfuri dalam kitab Badzlul Majhud fi Halli Abi Dawud juz 16 halaman 22,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyitat pandangan ulama Wahbah Zuhaili dalam kitab Ushul Al Fiqh Al Islami, Juz 1 halaman 208, “Kaidah ushul fiqih dalam masalah tersebut menetapkan al-muthlaqu yajriy ‘alaa ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu ‘ala at-taqyiid, bahwa dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan batasan.”
“Selain itu, keharaman ganja ini semata-mata didasarkan pada nas, bukan didasarkan pada illat (alasan penetapan hukum) keharaman ganja. Karena illat itu memang tidak ada. Bahwa ganja dapat menimbulkan efek negatif, adalah semata-mata fakta (al-waqi’), namun bukan illat (alasan) keharaman ganja.
Kiai Shiddiq menutup penjelasannya, “Maka dari itu, ganja hukumnya haram tanpa melihat lagi apakah menimbulkan efek negatif atau tidak bagi penggunanya. Kaidah fiqih menyebutkan :
إن العبادات والمطعومات والملبوسات والمشروبات والأخلاق لا تعلل وإنما يلتزم فيها بالنص
‘Inna al ‘ibadati wa al math’umati wa al malbusati wa al masyrubati wa al akhlaqa laa tu’allalu wa innama yultazamu fiiha bi an nash.’ Artinya, sesungguhnya hukum-hukum ibadah, makanan, minuman, dan akhlaq tidak didasarkan pada illat (alasan penetapan hukum), namun hanya didasarkan dan berpegang pada nas saja. Sebagaimana pendapat Syekh Abdul Qadim Zallum, At Ta’rif bi Hizb At Tahrir, halaman 55.”[] Reni Tri Yuli Setiawati
0 Komentar