Akan tetapi imbas dari pandemi menyisakan berbagai kesulitan dialami masyarakat. Ekonomi negara telah dilumpuhkan dengan membengkaknya utang, dunia usaha tersungkur, banyak perusahaan gulung tikar dan berakibat PHK tanpa pesangon. Angka pengangguran kian meningkat, menambah jumlah pengangguran yang sudah ada.
Dilansir dari kontan.co.id. Kamis (06/05/2022), Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pengangguran pada bulan Pebruari 2021 sebanyak 8,75 juta orang. Sementara di bulan Pebruari 2020 sebanyak 6,93 juta, Hanya dalam satu tahun jumlahnya meningkat 1,82 juta orang.
Keterpurukan ekonomi dirasakan selama kurun waktu 1-2 tahun ini. Bahkan sampai saat ini pun kembalinya tanda-tanda kebangkitan ekonomi belum nampak secara signifikan.
Di samping wabah Corona, ada wabah lain yang terus bermunculan, salah satunya adalah potensi wabah kesyirikan. Hal yang seakan menjadi kebanggaan dalam peresmian proyek IKN dan ajang motoGP di Mandalika, dengan bangga dipertontonkan.
Selain itu ada wabah moderasi agama, juga terus digencarkan ke berbagai lapisan masyarakat. Seolah masalah besar bangsa ini adalah radikalisme, sehingga penting digulirkan moderasi agama.
Moderasi agama pada kenyataannya sangatlah berbahaya, menjadi bencana bagi agama Islam. Dari sinilah lahir sinkretisme agama dengan istilah Islam Nusantara.
Persekutuan oligarki dengan penguasa juga merupakan wabah dari sekian banyak wabah yang muncul di negara kapitalis sekular. Rakyat menjadi korban keserakahan mereka, yang mabuk dunia.
Kaum oligarki menguasai berbagai sumber kekayaan milik rakyat atas restu penguasa. Sementara rakyat harus gigit jari, menghadapi kelangkaan dan melambungnya harga-harga seperti minyak goreng yang baru-baru ini terjadi. Pemerintah tak berdaya menghadapi para mafia yang diduga kuat melakukan penimbunan dan mempermainkan harga.
Memasuki bulan Ramadan pemerintah kembali melempar kado pahit, yaitu kenaikan harga Pertamax dari 9.000 rupiah menjadi 12.500 rupiah diikuti kelangkaan solar jelang kenaikan Pertamax. Tak sampai di situ, pemerintah resmi menaikkan tarif pajak pertambahan nilai ( PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen per 1 April 2022.
Adanya fakta-fakta di atas seolah pemerintah tidak sensitif dengan kondisi psikis rakyat yang baru saja dihantam pandemi dengan membuat kebijakan yang tidak memihak rakyat. Rakyat dibebani bertubi-tubi dan dipaksa harus menerima.
Inilah bukti nyata, zalimnya sistem kapitalisme sekular dengan berbagai turunannya. Umat makin dijauhkan dari Islam dan kesejahteraan. Alih-alih mewujudkan ketakwaan, dan meringankan beban rakyat, yang ada malah hilang rasa empati dan ajaran Islam dikebiri.
Sekularisme sebagai akidah kapitalis, yang melandasi pemisahan agama dari kehidupan, telah memasung agama hanya untuk mengatur individu dengan Tuhannya saja. Sementara pengaturan kehidupan di dunia diserahkan kepada pendapat akal manusia yang lemah dan terbatas. Pertanyaannya apakah layak kita terus berharap ada perbaikan hidup di sistem kapitalisme sekular, yang sudah nyata merusak dan menciptakan kerusakan?
Bagi kita yang beriman dan dianugerahi akal oleh Allah SWT, tentu saja sangat tidak layak terus berharap mengejar fatamorgana yang tak pernah menjadi nyata. Umat Islam akan terjaga keimanannya, mampu meraih derajat takwa hakiki dan diayomi pemimpinnya hanyalah pada sistem Islam.
Islam mendudukkan kekuasaan sebagai amanah yang akan dimintai pertanggung jawaban kelak di akhirat. Ada satu orang saja yang terlantar di bawah kepengurusannya, maka akan berhadapan dengan murkanya Allah SWT. Rasulullah bersabda:"Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban terhadap seluruh rakyat yang dipimpinnya". (HR. Bukhari Muslim)
Penguasa diamanahkan mengelola sumber daya alam sesuai syariat, harta yang termasuk kepemilikan umum seperti hutan dan minyak bumi tidak boleh diserahkan pengelolaannya kepada swasta terlebih asing. Harus dikelola negara, hasilnya dikembalikan untuk mensejahterakan rakyat.
Di samping itu kewajiban penguasa bukan hanya memenuhi kebutuhan perut rakyat, juga mengkondisikan agar rakyat bersemangat meraih pahala demi akhirat.
Di masa kejayaan Islam, ketika memasuki Ramadhan, masjid-masjid diterangi lampu-lampu, jalan-jalan dipasang lampu warna-warni, menyambut bulan nan agung, menyemangati umat agar berbahagia menyambut bulan agung dan berlomba meraih pahala.
Khalifah pun terbiasa menjamu umat berbuka puasa dengan mengundang ke istananya. Infak, sedekah banyak ditunaikan meringankan orang yang kesulitan agar sama-sama bergembira di bulan Ramadhan.
Di masa Khalifah Umar bin Abdul aziz, Islam mencapai puncak kemakmurannya, ditandai dengan penolakan rakyat terhadap pemberian zakat. Artinya kehidupan mereka sudah tercukupi. Kondisi tersebut tidak pernah ditemukan di negara kapitalis semaju apapun.
Kehidupan sosial dibangun berdasarkan akidah Islam yang sangat jauh berbeda dengan kapitalisme, yang mengusung kebebasan atau liberal. Sehingga muncul ungkapan "hormatilah orang yang tidak berpuasa". Bagaimana mungkin negara yang mengagungkan liberalisme akan menghantarkan rakyatnya kepada ketakwaan?
Oleh karena itu selayaknya kita hanya berharap kepada tegaknya sistem Islam saja, agar kelapangan hidup dan ridha Allah bisa diraih.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Atikah Nur Rahmawati
( Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Dakwah)
0 Komentar