Topswara.com -- Habis langka terbitlah mahal, inilah ungkapan yang tepat untuk permasalahan minyak goreng yang belum juga selesai. Di saat harga murah, barang justru langka dan harus melakukan antrean panjang untuk memperolehnya. Namun, ketika barang melimpah justru harganya selangit.
Seperti inilah nasib negeri yang melimpah sumber daya alam dan kaya akan hasil sawitnya. Rakyat harus berusaha sendiri untuk memenuhi kebutuhannya. Sementara, penguasa berjaya dengan menikmati hasil dari kekayaan negeri ini.
Tidak hanya rakyat biasa yang terkena imbasnya, bahkan pengusaha gorengan juga merasakan dampaknya. Hal ini karena diberlakukannya kebijakan untuk menghentikan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng. Keluhan dari masyarakat terlebih pengusaha yang menggunakan minyak goreng sebagai kebutuhan pokok usahanya.
Hal lain juga tampak dari tidak mampunya pemerintah mengatur distribusi minyak goreng agar dapat menjangkau seluruh masyarakat.
Dilansir dari Bisnis.com (18/3/2022), Kemendag sendiri memiliki stok minyak goreng yang telah didistribusikan sebanyak 551.069 ton atau setara dengan 570 juta liter selama sebulan terakhir. Jika melihat stok yang ada, semestinya kebutuhan rakyat akan minyak goreng terpenuhi. Kenyataannya hal ini tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan.
Saat ini kontrol pemerintah dalam hal distribusi sangat lemah, termasuk keterlambatan dalam menerapkan domestic market obligation (DMO) bagi minyak goreng. Bahkan, penerapan DMO tersebut sangat longgar sehingga memberikan peluang besar bagi produsen untuk mengekspor minyak goreng.
Tidak hanya itu, kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng juga disebabkan adanya dugaan telah terjadi kartel. Kartel sendiri yaitu penguasaan produksi dan pasar oleh sekelompok produsen. Mereka bekerja sama untuk memperoleh keuntungan dan menguasai pasar.
Di mana perkebunan sawit hingga produksi minyak goreng sawit dikuasai oleh segelintir orang. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Ketua KPPU, Ukay Karyadi yang mengatakan bahwa 46,5 persen pangsa pasar minyak goreng dikuasai oleh empat produsen besar dan pelaku usaha terbesar minyak goreng merupakan pelaku usaha terintegrasi dari perkebunan kelapa sawit, pengolahan CPO, hingga produsen minyak goreng.
Selain itu, pengawasan pemerintah dalam mencegah penimbunan juga lemah. Seperti pada kasus penimbunan minyak goreng oleh Grup Salim, tetapi kasus tersebut tidak diproses oleh penegak hukum. Bahkan, keberadaan stok minyak goreng di beberapa partai politik pun mengundang kecurigaan adanya penimbunan yang dibiarkan.
Kelangkaan minyak goreng juga disebabkan kebijakan pemerintah dan pengusaha menjadikan minyak sawit mentah (CPO) untuk keperluan biodiesel. Minyak goreng mentah dalam negeri justru banyak digunakan kebutuhan biodiesel dengan volume setara 732.000 ton, jumlah yang sangat besar dibandingkan kebutuhan konsumsi minyak goreng.
Menyikapi hal ini, pemerintah semestinya mampu mengontrol stok minyak goreng secara maksimal agar dapat digunakan untuk kebutuhan domestik dan tidak dibiarkan untuk diekspor atau ditimbun.
Disamping itu, pemerintah semestinya memperbesar subsidi untuk pangan. Sehingga mampu melakukan intervensi pasar dalam skala besar dan pasokan domestik tercukupi dengan harga yang wajar tanpa harus melakukan pembatasan harga.
Islam pun mengharamkan praktik kecurangan dalam perdagangan, seperti mencurangi timbangan, menipu, dan mempermainkan harga. Nabi SAW bersabda: "Siapa yang melakukan menimbun makanan terhadap kaum Muslim, Allah akan menimpakan kepada dirinya kebangkrutan atau kusta" (HR. Ahmad)
Praktik kartel yang dilakukan para penguasa saat ini adalah haram. Praktik perdagangan seperti ini hanya menguntungkan pemilik modal karena mereka yang berkuasa untuk mempermainkan harga.
Nabi SAW bersabda: "Siapa saja yang mempengaruhi harga bahan makanan kaum Muslim sehingga menjadi mahal, merupakan hak Allah untuk melemparkan dirinya ke dalam tempat yang besar di dalam neraka nanti pada hari kiamat" (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Dalam sistem Islam, seorang pemimpin (khalifah) tegas memberikan hukuman atau sanksi bagi pelaku praktik monopoli maupun kartel. Selain itu, berhak melarang mereka untuk berdagang sampai waktu yang ditentukan. Negara juga akan lebih memprioritaskan kebutuhan rakyat daripada kebutuhan ekspor dan mempermudah rakyat untuk memenuhi kebutuhannya.
Demikianlah Islam mengatur segala aspek kehidupan dalam praktik perdagangan. Hal tu semua dapat diterapkan jika sistem yang diadopsi negeri ini adalah sistem Islam. Namun, sistem saat belum berasaskan ada aturan Islam. Maka dari itu, saatnya untuk memperjuangkan Islam tegak kembali sebagai junnah dan pemersatu umat.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Novriyani, M.Pd.
(Praktisi Pendidikan)
0 Komentar