Topswara.com -- Bukankah toleransi itu membiarkan dan menghormati penganut agama lain dengan ajarannya? Atau kah memang toleransi telah mati di negeri ini?
Pasalnya ada seorang pendeta, bernama Syaifudin Ibrahim, murtadin dengan lancang meminta Menag menghapus 300 ayat Al-Quran. Ia beralasan, bahwa ayat-ayat tersebut berbahaya dan mengajarkan radikalisme. Ia juga mengatakan kurikulum pesantren harus diubah sebab bibit teroris (liputan6.com, 17/3/2022).
Info terakhir ia membuat konten lagi bahwa pernyataannya hanya bercanda (eramuslim.com , 23/3/2022).
Tentu saja perbuatannya mengundang kegaduhan. Sebab jelas-jelas ia mencampuri urusan agama lain. Seolah agama Islam layak dijadikan mainan. Berbagai pihak melaporkan ke pihak kepolisian untuk menangkap pelaku. Diantaranya GNPF dan MUI.
Namun fakta perbuatan menista Islam ini bukan pertama kalinya terjadi. Pelakunya pun sangat beragam. Bahkan Syaifudin sendiri telah melakukannya berkali-kali dalam akunnya, lalu tidakkah ada perlindungan terhadap Islam?
Sikap Terhadap Perbedaan
Perbedaan/pluralitas adalah sebuah keniscayaan di muka bumi. Karena Allah memang menciptakan makhluk-Nya dengan berbagai perbedaan.
Karenanya, negeri ini pun menjadikan slogan Bhinneka Tunggal Ika sebagai acuan toleransi, berbeda tapi tetap satu. Sebab, ia berdiri dari berbagai pulau, suku bangsa, ras dan agama.
Tentu dengan harapan rakyatnya mempunyai sikap toleransi. Yakni berkemampuan bersikap positif memperlakukan orang lain yang berbeda dengannya, dengan menghargai dan menghormatinya.
Akan tetapi, slogan saja ternyata tidak mampu mewujudkan toleransi. Terbukti dengan terus berulang kasus penistaan agama. Padahal pemerintah pun telah membuat kebijakan berupa UU. Namun, negeri ini tetap tidak mampu mengatasi persoalan tersebut. Bahkan faktanya saat ini penistaan terhadap Islam dan umatnya semakin meningkat.
Penyebab semua ini adalah aturan yang di terapkan membebaskan manusia berbuat sesuka hati. Alasannya, bahwa manusia memiliki hak asasi terdapat diri sendiri (HAM). Mereka merasa berhak mengemukakan pendapat, tanpa peduli menabrak hak orang lain atau tidak. Asal muasal pemahaman ini, muncul dari sistem sekuler. Sistem yang saat ini diterapkan di negeri ini, yaitu memisahkan aturan agama dari kehidupan.
Keadaan ini diperparah dengan sikap standar ganda terhadap perbedaan. Yakni mereka hanya bersikap toleransi di kalangan mereka, tapi tidak bagi Islam dan umatnya. Contohnya, jika korban penistaannya adalah agama Islam dan umatnya, maka UU tidak mampu mencegah dan terkesan lambat menjerat kasus tersebut. Misalnya kasus Abu Janda, Viktor Laiskodat, Ade Armando, Joseph Paul Zhang dan lainnya.
Sebaliknya, pihak berwenang sangat cepat bertindak jika tuduhan penistaan terhadap agama lain diduga pelakunya adalah Muslim. Misalnya pemuda yang menendang sesajen, ulama dan lain-lain.
Toleransi yang Sebenarnya
Sungguh aneh, mengapa tuduhan ayat suci Al-Qur'an radikal dan intoleran baru muncul saat ini? Padahal sejak diturunkan sekitar 1400 tahun yang lalu sampai sekarang, ayat-ayat Al-Qur'an tidak pernah berubah.
Bahkan, justru syariat Islam dalam Al-Qur'an mengajarkan toleransi, yakni dalam firman Allah, ”Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”(TQS. Al Kafirun : 6).
Ayat tersebut, menurut tafsir Sayyid Qutub, “Aku di sini, dan kamu di sana. Tidak ada penyeberangan, tidak ada jembatan, dan tidak ada jalan kompromi antara aku dan kamu. Ini adalah pemisahan yang total dan menyeluruh, perbedaan yang jelas dan cermat.” Maksudnya adalah tidak mencampuri urusan agama pihak lain.
Hal ini nampak ketika masa Rasulullah SAW di Madinah. Umat Islam, Nasrani, Yahudi juga kaum pagan hidup berdampingan dengan baik. Begitu pula di masa kekhilafahan sesudah Rasulullah wafat. Fakta sejarah menunjukkan di seluruh negeri-negeri yang pernah diatur dengan sistem Islam selalu ditemukan warga negara yang beragama selain Islam.
Hal ini berbeda dengan negeri-negeri yang menerapkan sistem selain Islam. Telah tercatat dalam sejarah adanya genosida di sana. Misalnya Spanyol ketika masa Ratu Isabella.
Untuk media, sistem Islam pun mengatur kebijakan terhadap konten yang diunggah. Jika konten media mengandung celaan kepada salah satu dari aqidah Islam, pelakunya dikenai sanksi penjara sampai hukuman mati (Al Maliki A., 2002, Sistem Sanksi dalam Islam (terjmh.).
Oleh karenanya, jika ingin toleransi berlaku untuk Islam dan umatnya, maka satu-satunya cara adalah dengan penerapan sistem Islam secara kaffah. Sebab, kenyataannya hanya dalam sistem Islam, persoalan penistaan agama Islam juga agama lainnya, dapat teratasi.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Sitha Soehaimi
(Sahabat Topswara)
0 Komentar