Topswara.com -- Suatu hari Imam Abu Hanifah rahimahulLaah pulang dari mengunjungi salah seorang sahabatnya yang sakit. Saat di perjalanan, ia melihat seorang laki-laki yang berusaha bersembunyi dan mencoba menghindar dengan mencari jalan lain. “Fulan, tetaplah di jalan yang engkau lalui!” seru Imam Abu Hanifah dari kejauhan.
Saat lelaki itu tahu bahwa Imam Abu Hanifah telah melihat dia, Dia pun terlihat salah tingkah dan berhenti. Lalu Imam Abu Hanifah menghampiri dia. Mengapa engkau membatalkan untuk berjalan melalui jalan yang engkau telah lalui?” tanya Imam Abu Hanifah.
“Abu Hanifah, saya kan masih memiliki utang kepada Anda 10 ribu dirham (sekitar Rp 700 juta). Dalam waktu yang cukup lama hingga saat ini saya belum mampu melunasi utang itu. Karena itu saat saya melihat Anda, saya sangat malu kepada Anda,” jawab lelaki tersebut.
“Mahasuci Allah. Keadaanmu sampai seperti ini. Jika engkau melihat aku, engkau bersembunyi. Jika demikian, aku telah merelakan hartaku itu untuk engkau dan engkau sekarang sudah bebas dari tanggungan utangmu kepadaku,” jawab Imam Abu Hanifah (Al-Manaqib Imam Abi Hanifah, 1/206).
Dalam peristiwa lain, suatu hari Abu Hanifah didatangi oleh seorang perempuan yang menawarkan kain sutra. “Apakah Anda berkenan membeli sutra ini?”
“Berapa harganya?” Tanya Abu Hanifah.
“Seratus dirham,” jawab perempuan itu.
“Pakaian seperti ini bisa dijual lebih tinggi dari 100 dirham,” kata Abu Hanifah.
Perempuan itu akhirnya menambah 100 dirham lagi hingga menjadi 200 dirham. Abu Hanifah berkata bahwa harga barang itu masih layak dinaikan lagi. Perempuan itu pun menambah hingga 400 dirham. Namun, sekali lagi Abu Hanifah berkata, “Masih ada harga yang lebih baik dari itu?”
“Anda pasti menghina saya,” jawab perempuan itu.
“Cobalah Anda mencari seorang yang ahli dalam menaksir harga barang ini. Saya tidak ingin menzalimi Anda,” jawab Abu Hanifah.
Perempuan itu lalu mendatangkan seorang ahli menaksir harga barang. Abu Hanifah segera meminta dia untuk menaksir harga barang yang ditawarkan oleh perempuan itu. Penaksir itu kemudian menaksir barang tersebut dengan harga 500 dirham. Akhirnya, Abu Hanifah membeli kain sutra itu (Syaikh Muhammad Hasan al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar [edisi Indonesia] hlm 19, Pustaka Al-Kautsar).
Semoga kita bisa mengikuti jejak keteladanan akhlak Imam Abu Hanifah rahimahulLaah.
Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah 'alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib.
Hikmah Ramadhan:
قال عمر بن الخطاب رضِيَ الله عنه: ليس الصّيام من الطّعام والشّراب وحده، ولكِنهُ من الكذب، والباطل، واللغو، والحلِف (مصنف ابن أبي شيبة، ٢٧٢/٢)
Umar bin al-Khaththab ra. berkata: "Puasa itu bukan hanya menahan diri dari makan dan minum semata, tetapi juga menjaga diri dari dusta, kebatilan, kesia-siaan dan sumpah palsu." (Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf, 2/272).
Oleh: Arief B. Iskandar
(Khadim Ma'had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)
0 Komentar