Dilansir Sindonews.com (25/3/2022), Jokowi Dodo merasa sedih negaranya membeli barang-barang impor, padahal negara Indonesia telah memiliki pengadaan barang dan jasa, bahkan di hitungkan anggaran modal pusat Rp.526 Triliun, dan 535 Triliun untuk daerah Bupati, Gubernur, dan wali. Sehingga terdeteksi lebih besar anggaran daerah dibanding pusat, sedangkan BUMN di detailkan 420 Triliun.
Jika penguasa geram dengan kebiasaan membeli barang luar negeri atau impor tentu ini adalah angin segar buat masyarakat. Karena pemerintah terlihat mulai peka terhadap kepentingan dan kedaulatan negara dengan mencintai produk dalam negeri, namun hal ini akankah terealisasikan? Sementara Menteri, Pemda dan BUMN lebih memilih produk luar negeri dibanding produk dalam negeri.
Banyaknya pabrik dalam negeri mengakumulasikan modal sangat besar untuk merealisasikan barang dan jasa agar negara tidak lagi mengambil barang dari luar negeri.
Hal ini, menjadi perhatian pemerintah untuk mencegah terjadinya kelalaian BUMN menggunakan modal yang telah disediakan oleh negara. Namun, ternyata negara masih saja dibanjiri produk impor, bisa dikatakan Indonesia adalah surga barang impor khususnya cabai dan garam, namun pemerintah seolah tidak peka terhadap derita masyarakat yang mengalami banyak kerugian akibat dari impor barang yang terus-menerus.
Oleh karena itu, ketergantungan Indonesia terhadap barang impor selama ini dapat menjadi pertanyaan dalam benak masyarakat. Indonesia impor apakah karena produksi dalam negeri yang terbatas? Ataukah sebenarnya karena adanya motif ekonomi, yakni keuntungan dalam perdagangan luar negeri? Tentu saja sebagai negara agraris, lahan pertanian Indonesia diharapkan dapat memenuhi seluruh kebutuhan pokok masyarakat secara menyeluruh. Bahkan, dengan julukan tersebut, Indonesia diharapkan dapat menghasilkan bahan pangan sendiri.
Pada aspek lain, pelaku industri di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) pun mengeluhkan hambatan investasi dan serapan tenaga kerja di industri TPT karena kebijakan pemerintah yang dinilai memihak importasi produk garmen.
Inilah jadinya jikalau keuntungan pribadi sebagai patokan utama, tidak menilik derita orang-orang belakang selama pemenuhan individu digapai. Inilah bukti tumpulnya sistem sekularisme dalam menggunakan akal manusia. Hingga terbatas untuk memutuskan suatu problematik yang terjadi, alhasil justru memperburuk keadaan.
Jauh berbeda dalam sistem kehidupan Islam dengan daulah Islam yang ditopang sistem ekonomi Islam, politik ekonomi Islam, sistem politik Islam, maupun politik pemerintahan Islam mampu mewujudkan peran pemerintah sebagai raa’in (pelayan) dan junnah (perisai) yang akan melindungi rakyat. Dimana negara hadir secara benar dengan prinsip yang benar pula. Memandang impor sebagai bagian dari aktivitas perdagangan luar negeri yang harus mengikuti hukum Islam serta mengedepankan kemaslahatan Islam dan kaum muslim.
Di sisi lain, ekonomi masyarakat khususnya rumah tangga juga perlu uluran tangan sepenuhnya dari pemerintah. Perhatian akan distribusi sumber daya pangan harus ditingkatkan. Bukan hanya soal daya beli, tapi lebih kepada aspek ketahanan pangan dan ekonomi. Semua ini bisa terwujud jika penguasa benar-benar memperhatikan urusan umat. Rasulullah saw. bersabda : “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Wallahu a’lam bishshawab
Oleh Sasmin, S.Pd.
(Sahabat Topswara)
0 Komentar