Oleh : M.Vidya Anggreyani, S.I.Kom
Sahabat Topswara
Topswara.com-- Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan pendapatan non upah yang wajib dibayarkan pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan, dibayarkan maksimal H-7 lebaran. Adapun besaran nilai THR dilihat dari masa kerja pegawai. Untuk masa kerja dibawah 3 tahun maka mendapat THR sebesar satu kali upah. Masa kerja tiga sampai empat tahun memperoleh satu setengah kali upah. Jika melebihi empat tahun maka THR yang harus dibayarkan pengusaha kepada pekerjanya sebesar dua kali upah.
Demikianlah yang diatur oleh pemerintah melalui PP No 36 Tahun 2021 tentang pengupahan dan Permenaker No 6 tahun 2016 tentang tunjangan hari raya keagamaan bagi pekerja atau buruh.
Namun, sejak tahun 2020 pemerintah memberikan kelonggaran kepada pengusaha untuk mencicil THR kepada karyawannya dikarenakan wabah covid 19. Walau faktanya banyak dari pengusaha yang tidak bisa membayarkan hak pekerja tersebut dikarenakan faktor keuangan perusahaan.
Itulah mengapa untuk lebaran 2022 ini, dikarenakan kondisi ekonomi sudah stabil, Maka pemerintah melalui menteri ketenagakerjaan meminta kepada perusahaan agar membayar THR secara penuh dan tidak boleh dicicil. Selain surat edaran yang akan diberikan kepada perusahaan pada pekan depan, Kemenaker juga membuka posko THR sebagai tempat pengaduan dari pekerja terkait pelanggaran pembayaran THR ini. Dengan adanya posko ini diharapkan perusahaan mematuhi surat edaran.
Karena jika melanggar akan dikenai sanksi berupa teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sampai pembekuan kegiatan usaha.
Tunjangan Hari Raya merupakan hak pekerja jika tercantum di surat perjanjian kerja. Biasanya diberikan pada saat ia diterima di perusahaan tersebut. Penggunaan nya pun biasanya untuk kebutuhan lebaran seperti mudik, memberi angpau pada saudara maupun jalan jalan saat di kampung halaman.
Lebaran memang dijadikan ajang untuk meraih keuntungan tahunan bagi pekerja non formal seperti pedagang. Masyarakat pun tidak terlalu kaget dengan naiknya harga tiket, ataupun komoditi lainnya. Karena harga pun akan normal kembali setelah lebaran usai. Lain dulu lain sekarang.
Tahun 2022 ini, setelah dua tahun roda ekonomi masyarakat merosot karena wabah covid, masyarakat dihadapan kepada masalah berat lainnya. Tahun ini bukan wabah covid tapi wabah naiknya harga kebutuhan pokok. Setelah diawali dengan langka dan naiknya harga minyak goreng, disusul harga Pertamax dan PPN jadi 11%, belum lagi tarif dasar listrik dan elpiji yang akan disesuaikan harganya. Sekalipun THR dibayarkan penuh dan kontan, apakah membuat pekerja sejahtera mengingat gaji bulanan mereka bahkan tidak cukup lagi untuk membayar biaya pendidikan, jasa kesehatan, karena sudah habis bahkan kurang untuk membayar tagihan listrik, ongkos kerja dan makan harian.
Padahal menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya secara menyeluruh bukan hanya pekerja sektor formal saja. Sektor informal yang tidak mendapat THR pun wajib diperhatikan. Satu sisi, kebijakan THR ini seperti kabar gembira dari pemerintah namun disisi lain, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan yang mempersulit rakyatnya. Naiknya biaya hidup tidak diimbangi dengan terbukanya lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Ketika kebijakan pemerintah mempermudah masuknya TKA untuk bekerja. Mengampuni koruptor, memberi suntikan dana segar kepada perusahaan tertentu, namun mempersulit rakyat mendapatkan bantuan modal usaha. Sebenarnya mereka bekerja untuk siapa?
Islam sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat yang hidup dibawah naungan baik muslim maupun non muslim. Bentuk kepedulian bisa dilihat dari banyak sisi. Dari sisi ketersediaan lapangan pekerjaan, layanan fasilitas umum seperti pendidikan dan kesehatan, bantuan modal secara cuma cuma, tersedia nya bahan baku kebutuhan pokok, sangat diperhatikan oleh penguasa Islam. Baginya kekuasaan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Bukan hanya rakyatnya saja, hewan peliharaan pun akan diperhatikan jangan sampai mati karena jatuh akibat rusaknya jalan yang dilewatinya. Begitulah watak pejabat dan penguasa Islam.
Bagaimana dengan pejabat dan penguasa hari ini?
Disaat rakyat mendapat kesulitan, bukannya memberikan solusi nyata, malah berkomentar kelewatan dan menyalahkan rakyat. Dituduh nimbun lah, kenapa ga rebusan saja, disuruh diet dengan cukup makan pisang, hidup ngirit dan komentar miskin empati dan solusi lainnya.
Maklum saja mereka mendapatkan jabatan karena uang yang dimiliki maupun bantuan pemodal. Bukan karena kemampuan, jadi ya begitu solusinya. Ujung-ujungnya rakyat pula yang susah. Begitulah nasib rakyat dibawah pemerintahan demokrasi sekuler kapitalis. Wallahu a'lam []
0 Komentar