Topswara.com -- Setiap hari ada saja persoalan yang menimpa negeri ini, berbagai problematik tak jua teratasi. Beberapa bulan ini berbagai komoditas pangan terus merangkak naik, membuat rakyat panik hingga tak berkutik. Rakyat sampai jungkir balik hanya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Saat kondisi ekonomi kian sulit akibat pandemi, justru kebutuhan pokok terus melejit tak terkendali.
Minyak goreng mendadak langka di pasaran, setelah pemerintah menetapkan HET minyak goreng kemasan sebesar Rp14.000,- per liter. Kalaupun stok ada, antrean panjang tak terelakkan di berbagai kota, hingga menelan korban jiwa. Sungguh miris. Di tengah negeri kaya sumber daya alam dan penghasil sawit terbesar, namun rakyatnya harus mengantre minyak goreng dengan harga yang tidak murah.
Akibat kelangkaan ini, pemerintah akhirnya mencabut peraturan mengenai harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng kemasan mulai Rabu, (16/03/2022). Ajaibnya setelah pencabutan tersebut, stok minyak goreng mendadak melimpah di sejumlah wilayah.
Aneh, kemana minyak goreng selama ini menghilang? Padahal, selama HET minyak goreng diberlakukan stok minyak goreng selalu kosong di pasaran. Sayangnya, stok minyak goreng yang melimpah justru dibarengi dengan harga yang sangat melejit benar-benar fantastis. (Tribunnews.com, 18/3/2022)
Baru kali ini harga minyak goreng sangat fantastis hingga membuat rakyat menangis. Sungguh kebijakan yang tidak etis, cenderung sadis hanya ada di sistem kapitalis. Kemana hati nurani pejabat negeri ini? Di saat rakyat bersusah hati, mereka dengan mudahnya membuat regulasi yang semakin menyengsarakan. Bagaimana tidak sengsara, jika berbagai kebutuhan pokok terus melambung, sedangkan pendapatan rakyat cenderung turun. Pengangguran terus menjamur, alhasil rakyat miskin tumbuh subur, sedangkan para pejabat dan pengusaha semakin makmur.
Pemerintah cenderung membela para kapitalis, pengusaha, dan korporasi. Regulasi yang dibuat hanya menguntungkan mereka sedangkan rakyat selalu dibuat buntung. Wajar jika rakyat kecewa, kebijakan yang tak pernah memihak dan sangat diskriminatif.
Rakyat selalu jadi kambing hitam atas semua persoalan yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Sebelumnya, Kemendag telah menuduh ibu-ibu menimbun minyak goreng di dapur, sehingga mengakibatkan kelangkaan. Tuduhan yang tidak berdasar dan melukai hati rakyat.
Jangankan menimbun minyak goreng, untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari saja sangat sulit. Mengapa tega sekali memfitnah rakyat. Padahal akar masalahnya ada pada pengusaha nakal, distributor curang, dan para mafia minyak goreng yang dengan sengaja menimbun dan menjual ke luar negeri. Namun, pemerintah abai dan tidak serius menghukum dan menindak mereka. Pemerintah seperti tunduk kepada oligarki, namun enggan mengakui.
Begitu pun ketika minyak goreng kemasan berbagai merek mendadak melimpah ruah di pasaran, setelah harganya dikembalikan ke mekanisme pasar, Mendag Muhammad Lutfi pun hanya terheran-heran dan mengaku bingung. Padahal, minyak goreng jenis tersebut sangat susah ditemui ketika harganya dipatok pada harga eceran tertinggi (HET). Mirisnya, ia mengajak masyarakat melihat sisi positifnya, yaitu pasokannya banyak dan mudah ditemui.
"Jadi mending mana, murah tapi barangnya tidak ada, atau sedikit mahal tapi stok banyak?" tanya Lutfi kepada ibu-ibu di sebuah retail modern. Sangat mengecewakan, pertanyaan yang menyakiti hati rakyat. Sedikit mahal untuk siapa? Untuk orang kaya yang berpenghasilan besar mungkin tidak masalah. Bagaimana dengan orang miskin dengan penghasilan yang tak menentu? Uang sebesar itu yang seharusnya untuk memenuhi kebutuhan lainnya, kini hanya untuk membeli minyak goreng. Bukankah itu membuat rakyat semakin sengsara?
Seharusnya persoalan ini tidak terjadi, jika saja pemerintah tegas menyelesaikan persoalan minyak goreng dari hulu hingga hilir. Sehingga bukan rakyat yang harus dikorbankan oleh kebijakan yang menguntungkan para kapitalis, pengusaha dan korporasi.
Semua ini akibat sistem liberal kapitalisme yang diemban negara. Dimana pengelolaan dan kepemilikan sumber daya alam yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara, diberikan kepada swasta maupun asing dan aseng. Walhasil, sistem ini akan selalu melahirkan liberalisasi pasar dan role mode ekonomi kapitalisme.
Dalam sistem ini sifat rakus manusia akan selalu tampak, karena tujuan utamanya adalah mengejar profit sebesar-besarnya. Mereka tidak peduli dengan penderitaan rakyat, yang mereka pedulikan hanya untung besar, meskipun menempuh jalan licik dan mengorbankan kepentingan publik. Kerusakan akibat sistem ini telah nyata dan tampak dalam segala lini. Sistem ini hanya melahirkan para pemimpin yang minim empati, tidak peka, dan tidak amanah dalam menjalankan tugasnya.
Lantas apa yang bisa diharapkan dari sistem rusak ini? Sengkarut minyak goreng salah satu bukti kegagalan kapitalisme mengurus hajat publik. Akankah kita mempertahankan sistem rusak dan menyengsarakan ini, atau bergerak memperjuangkan perubahan?
Hanya Islam yang telah terbukti menyejahterakan rakyatnya. Islam memiliki aturan yang sempurna dan paripurna dalam mengatasi setiap persoalan. Dalam Islam, negara adalah penanggung jawab utama yang mengatur kebutuhan pokok rakyatnya. Sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW., “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dia bertanggung jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya.” (HR. Muslim dan Ahmad).
Islam mengatur harta kepemilikan menjadi tiga bagian, yaitu kepemilikan individu, umum dan negara. Dengan pembagian ini menjadi jelas mana harta milik umum dan negara, sehingga peran negara sebagai penanggung jawab kebutuhan pokok rakyatnya terwujud dengan benar.
Dalam sistem pemerintahan Islam yakni khilafah, ada lembaga yang berfungsi mengontrol dan mengawasi pasar yang disebut Qadhi Hisbah. Tugasnya adalah mengontrol dan mengawasi ketersediaan kebutuhan pokok di pasar, juga menindak tegas para penimbun dan pedagang curang.
Islam melarang praktik penimbunan, liberalisasi perdagangan, penipuan, monopoli, dan praktik lainnya. Islam mengharamkan mematok harga, seperti yang dilakukan pemerintah saat ini. Sehingga mekanisme pasar yang sehat dapat terwujud sempurna.
Bukankah kita menginginkan kehidupan seperti ini terwujud kembali? Sudah saatnya kita kembali mewujudkan penerapan sistem Islam dalam bingkai daulah khilafah islamiyah. Dengan begitu, tidak akan ada mafia atau kartel pangan yang merugikan rakyat, apalagi memainkan harga untuk meraup untung sebanyak-banyaknya. Islam sudah terbukti secara historis dan empiris mampu menyejahterakan rakyatnya. Kebutuhan asasi rakyat terpenuhi tanpa adanya diskriminasi.
Wallahu a’lam bishawwab.
Oleh: Sri Haryati
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar