Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Elegi Dua Sisi Kebijakan



Oleh: Isna Yuli
(Sahabat Topswara)

Topswara.com -- Babak baru kehidupan pasca pandemi mulai dijalani. Tidak hanya di dalam negeri, beberapa negara di Eropa telah melonggarkan kebijakannya. Bahkan ada beberapa negara yang tidak lagi mewajibkan vaksin, kebebasan tidak menggunakan masker dan jaga jarak. 

Hal ini terdengar melegakan bagi semua pihak, artinya kita dapat menjalani kehidupan normal seperti sedia kala. Pemerintah Indonesia sendiri juga telah memberikan kelonggaran di berbagai kegiatan masyarakat. Mulai peringatan Natal dan tahun baru, Imlek dan perhelatan MotoGP Mandalika sudah tidak mewajibkan syarat vaksin dan tidak adanya larangan berkerumun. 

Hal ini tentu di gadang gadang menjadi tahun yang istimewa juga oleh umat Islam dalam menyambut bulan suci Ramadan dan perayaan lebaran tahun ini. Sebagaimana umat lain yang antusias dan meriah dalam merayakan hari besar mereka. Dihapusnya syarat negatif tes PCR maupun antigen serta karantina bagi perjalanan dalam maupun luar negeri sejak tanggal 8 Maret lalu jadi angin segar bagi semua pihak. Terutama mereka yang ingin merayakan Idulfitri dan libur lebaran dengan saudara dikampung halaman. 

Namun apa mau dikata, kebijakan pemerintah ternyata tumpang tindih dan inkonsisten. Hal ini ditunjukkan dari adanya syarat baru bagi pemudik atau perjalanan luar kota setelah perhelatan MotoGP berlangsung. Syarat tersebut mewajibkan pemudik untuk melakukan vaksin booster atau menunjukkan tes negatif PCR atau antigen bagi yang belum menerima vaksin booster. 

Tentu saja hal ini kembali memunculkan sebuah kekecewaan bagi masyarakat. Karena saat ini kasus Covid-19 dalam negeri telah melandai, berbagai kegiatan masyarakat mulai berjalan normal kembali, bahkan perhelatan besar MotoGP juga sukses tanpa adanya syarat berliku. 

Lantas mengapa pemerintah seolah-olah mempersulit kaum Muslim mudik saat lebaran nanti?  Perlu diketahui bahwa saat ini masih banyak warga yang belum mendapatkan vaksin dosis satu atau dua, andaikata sekarang mendapatkan vaksin dosis dua, seharusnya ada jeda tiga bulan berikutnya baru boleh menerima vaksin booster, sedangkan lebaran tinggal satu bulan lagi. 

Disisi lain bisnis tes PCR dan Antigen masih dikuasai oleh swasta. Tentunya hal ini juga menimbulkan kecurigaan ditengah masyarakat bahwa mereka yang bermain di sektor ini ada kaitannya dengan kebijakan mudik pemerintah. 

Kebijakan plinplan, tidak adil dan inkonsisten kerap ditunjukkan oleh pemerintah. Sikap seperti ini justru semakin memupuk ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah. Hal seperti ini wajar saja dalam sistem sekuler kapitalis. Sebab kebijakan yang diberlakukan akan selalu disesuaikan dengan pesanan atau sekedar hawa nafsu manusia saja.

Kebijakan yang diberlakukan tidak benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat. Bisa saja kebijakan longgar digelaran MotoGP Mandalika bisa mendatangkan cuan bagi negara dan para kapital. Sedangkan mengurusi mudik yang bisa saja tidak banyak berimbas positif pada pendapatan negara adalah hal yang melelahkan saja. 

Keadilan dalam satu kebijakan saja tidak bisa didapatkan masyarakat. Tidak ada masalah tentang vaksin booster jika memang diperlukan. Namun hal yang lebih penting adalah adilnya penguasa dalam membuat dan menerapkan kebijakannya. Disatu sisi mereka menerapkan aturan yang longgar demi kepentingan pariwisata, tidak berselang lama aturan tersebut diperketat lagi. 

Seharusnya seorang pemimpin akan ditaati dan disegani oleh rakyatnya jika dia mampu berlaku adil kepada semua rakyatnya. Kebijakan untuk rakyat seharusnya berdasarkan pertimbangan yang matang dan saran dari ahli dibidangnya, bukan atas pesanan atau kepentingan politik semata. 

Perbedaan perlakukan kepada kaum Muslim memang perlu dicermati, mengingat saat ini pemerintah sedikit sensitif terhadap semua peribadahan kaum Muslim. Pengeras suara Azan diatur, ceramah dibatasi, penceramah dipilah-pilah, tarawih dan tadarus dibatasi, mudik pun dibuat sulit. Semua ini akibat diterapkannya Islam moderat yang lahir dari rahim sekularisme. 

Masalah persyaratan perjalanan yang baru ini merupakan bukti nyata ketidakadilan pemerintah dalam memberikan kebijakan kepada rakyat, khususnya kaum Muslim. 

Wallahu alam bisshowab

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar