Babak baru dimulai, kontroversi pemilu pun juga masih mewarnai. Pemilu yang dilakukan serentak untuk meminimalisir anggaran, nyatanya tak berlaku juga. Anggaran pemilu tahun ini meroket dibanding tahun sebelumnya. Menurut Presiden Joko Widodo anggaran pemilu kali ini dapat mencapai angka Rp 110,4 triliun yang naik hingga 431 persen dari tahun 2019 lalu. Beliau menjabarkan bahwa biaya pemilu tersebut terdiri atas anggaran untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebesar Rp 76,6 triliun dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebesar Rp 33,8 triliun.
Jokowi meminta agar segera ada keputusan atas anggaran pemilu tersebut, baik dari APBN maupun APBD. "Kemarin sudah disampaikan ke saya bahwa diperkirakan anggarannya [pemilu 2024] sebesar Rp110,4 triliun, [untuk] KPU dan Bawaslu," ujar Jokowi dalam rapat persiapan pemilu dan pilkada serentak 2024. (ekonomi.bisnis.com, 11/4/2022).
Biaya pemilu yang sangat tinggi tersebut dikabarkan telah mengalami pemangkasan. Semula dianggarkan sekitar Rp 86 triliun, dan akan dipotong kembali oleh KPU. Pemangkasan anggaran tersebut dikarenakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga kuartal pertama tahun ini mengalami defisit. Yaitu mencapai Rp5,81 triliun atau 0,67% dari target APBN. APBN tersebut juga akan digunakan bersiaga untuk pemulihan ekonomi pasca pandemi. Menghadapi Covid-19, pemekaran daerah dan juga menyelesaikan program-program strategis nasional dan daerah yang belum selesai.
Pemangkasan tersebut nyatanya tak membuat biaya pemilu menjadi murah. Karena memang pemangkasan hanya bersifat formal, tapi kenyataan yang dihasilkan tetap saja mahal. Anggaran besar pemilu menghasilkan kesengsaraan bagi warga negara.
Rakyat hanya dianggap sebagai mesin penghasil suara, yang semu keberadaannya. Janji manis dilontarkan oleh para calon pemegang kekuasaan dengan iming-iming uang dan kesejahteraan. Namun nyatanya ketika kekuasaan telah ditangan, semua yang dijanjikan untuk rakyat terabaikan begitu saja. Bahkan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan tak memihak terhadap kepentingan rakyatnya.
Tak ada harga murah dalam pesta demokrasi, biaya fantastis dikeluarkan hanya untuk kepentingan segelintir orang. Berbeda dengan apa yang ada pada Islam. Mekanisme pengangkatan pemimpin dalam Islam sangat lah efektif, efisien dan murah. Juga mampu mensejahterakan rakyat hingga tataran terendah. Pemimpin yang dihasilkan pun, yakni ia yang ketakwaannya kepada Sang Pencipta begitu besar. Yang taat dan takut akan hukum Allah ketika memegang tanggung jawab.
Pemimpin yang darinya diharapkan dapat menjaga kedaulatan negara sekaligus memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya.
Dalam sistem yang dibawa oleh Islam, politik adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan mengurus hajat hidup umat. Jadi ketika Islam diterapkan maka tak akan ada rakyat yang alergi terhadap politik. Tak seperti sekarang ini, dimana politik dianggap hanya urusan orang-orang yang memang berkepentingan di dalamnya.
Sehingga penguasa yang lahir dari politik demokrasi pun adalah ia yang lalai akan rakyatnya.
Tidak melihat kesengsaraan yang dialami masyarakat, padahal kenyataanya segala kebutuhan pokok rakyat naik. Mulai dari naiknya BBM, mahalnya minyak goreng, serta kenaikan tarif pajak. Mereka bagai orang dengan kasta tertinggi dan terpisah dari rakyatnya.
Maka solusi hakiki dari segala urusan di negeri ini adalah Islam. Menerapkan aturan Islam adalah solusi hakiki. Bagaikan mobil jika mesinnya rusak maka yang di ganti haruslah mesinnya bukan pengemudinya. Ketika mesin tersebut prima, pastilah performa dan daya laju akan maksimal dan efiktif. Begitu juga dengan negara, jika negara tersebut memiliki sistem yang baik pasti negara akan menjadi negara besar dan berdaulat.
Waalahu a'lam bishawab
Oleh: Deny Rahma
(Komunitas Setajam Pena)
0 Komentar