Topswara.com -- Serangan atas Al-Aqsha oleh otoritas Yahudi di Al-Quds beberapa hari belakangan ini menimbulkan berbagai reaksi. Baik dikalangan umat Islam disekitar masjid suci ketiga setelah Masjidil haram dan masjid Nabawi tersebut, maupun yang berada diluar negeri. Jutaan orang mengutuk serangan itu seraya memberikan doa, dukungan bahkan penggalangan dana kepada umat Islam yang ada di sana.
Dari bekas ibukota kekhilafahan Turki Utsmani, seperti biasanya presiden Erdogan ketika ada peristiwa yang terjadi di Al-Aqsa juga ikut bereaksi dengan pidato yang menarik simpati umat Islam yang mendengarnya. Ia menyeru kepada negara-negara bangsa dengan mayoritas penduduknya yang beragama Islam untuk bersatu melawan kezaliman Israel terhadap rakyat Palestina, terutama disekitar Masjidil Aqsha.
Padahal dia tahu bahwa seruannya itu tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap situasi dan kondisi Al-Quds dan penderitaan umat Islam yang ada di sana. Seandainya dia tidak tahu akan hal itu, tidaklah mungkin dia mau melakukan hubungan diplomatik yang baik dengan Israel dan sekutunya yang telah melakukan kezaliman di Al-Quds dan Masjidil Aqsha setiap tahunnya. Kenyataannya adalah bahwa hubungan diplomatik dan perdagangan antara Turki dan Israel sangatlah dekat.
Konsep persatuan dan metode untuk bersatu sengaja tidak ditampilkan. Karena hal itu pula yang telah dilakukan oleh pendahulunya pendiri negara Turki Sekuler untuk menghancurkan kekhilafahan Turki Utsmani dan menyatukannya dengan fanatisme kebangsaan yang murahan. Menyembunyikan konsep dan metode persatuan yang benar itu pula yang dilakukan oleh Erdogan saat ini. Inilah sehingga seruannya tidak akan berpengaruh untuk memperbaiki situasi dan kondisi Al-Aqsha.
Karena sesungguhnya persatuan yang diseru oleh Erdogan adalah persatuan Ruhiyah tanpa disertai persatuan Ideologi. Menarik - narik sentimen keagamaan umat Islam mungkin akan menghasilkan bantuan obat-obatan dan makanan. Namun hal ini bukanlah solusi yang dibutuhkan apabila ingin benar-benar membebaskan Al-Quds dari penjajahan. Yang dibutuhkan oleh Al-Quds, Al-Aqsha dan umat Islam diseluruh dunia adalah sebuah institusi politik yang legal menurut Islam, bukan hanya makanan dan obat-obatan.
Mengagitasi perasaan umat tanpa disertai dengan membangkitkan taraf berpikirnya adalah menjadikan umat semakin bodoh yang pada akhirnya menjauhkan permasalahan dari solusinya. Karena sesungguhnya pemikiran adalah harta dan warisan termahal bagi sebuah bangsa yang mendambakan kejayaan. Sebaliknya, kebodohan adalah sebab kehancuran dan penghalang kebangkitan bagi umat Islam walaupun memiliki banyak sekali sumber daya.
Itulah mengapa penjajah menginginkan kita selalu bodoh agar kita tidak mampu bangkit serta merasa lebih hina dari bangsa penjajah sehingga tidak berani melawan penjajah dengan perlawanan yang akan mengubah keadaan.
Kebangkitan pemikiran akan merubah kondisi umat Islam dari kehinaan terzalimi menjadi kemuliaan karena menyebarkan Rahmat bagi seluruh alam. Itu semua membutuhkan kekuatan formal berupa sebuah negara yang menerapkan pemikiran Islam secara integral sebagai sistem kehidupan.
Hanya negara lah yang bisa menghadapi kekuatan negara lain untuk menghapuskan kezalimannya. Kezaliman Israel di Al-Quds akan bisa dihapuskan dengan dikirimkannya utusan diplomatik dan tentara yang secara real memiliki kekuatan yang setara atau lebih besar lagi. Segala seruan, kutukan, pidato dan lain sebagainya hanya me-ninabobo kan potensi umat Islam yang begitu besar. Apalagi kemenangan Islam di akhir zaman adalah sebuah bisyaroh Rasulullah SAW serta janji yang diberikan Allah SWT kepada kita semua, umat di penghujung zaman.
Al-Aqsa hanya akan benar-benar bisa diselamatkan jika umat Islam bangkit pemikirannya serta memperjuangkannya sebagai Ideologi dalam sebuah jama'ah. Dakwah ideologis sempurna untuk menerapkan Islam sebagai sistem berpikir, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Wallahu a'lam bishshawwab
Oleh: Trisyuono Donapaste
(Aktivis Penggerak Perubahan)
0 Komentar