Peristiwa tawuran yang memakan korban jiwa itu berawal ketika korban bersama belasan temannya warga Kota Bambu Utara, Palmerah membangunkan sahur keliling. Julmi (37), tetangga korban menceritakan, bahwa satu jam sebelum korban meninggal, ia sudah meminta kepada Diaz agar segera pulang, karena kebetulan ia juga ikut membangunkan sahur bersama pemuda di Kota Bambu Utara. (serambinews.com)
Realitanya banyak kasus seperti, fenomena klitih, perang sarung bahkan sahur on the road yang berujung tewasnya seseorang masih terus terjadi, terutama di malam hari Bulan Ramadhan. Bulan yang seharusnya dihidupkan dengan amalan istimewa malah dicederai dengan perbuatan keji. Di sinilah publik perlu menyadari bahwa sebuah kejahatan terjadi tidak sekali atau dua kali melainkan sudah menjadi fenomenal, jelas bukan hanya disebabkan keburukan secara individu pelaku semata.
Sebuah individu atau kelompok akan berani melakukan kemaksiatan, kejahatan bahkan tindak kriminal apabila lingkungan yang mengelilingi mereka mendukung aksi tersebut. Seperti yang dipahami cara pandang kehidupan saat ini adalah sekularisme, artinya paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga manusia tidak diatur dengan aturan Allah, melainkan hawa nafsunya sendiri dan menimbulkan jiwa bebas yang liberal dan materialistis. Maka keluarga yang patut menjadi tempat pertama dan utama pendidikan agama, tidak optimal dalam menjalankan perannya.
Ikatan emosional dalam keluarga pun mulai terkikis, akhirnya anak merasa sendiri dan bebas melakukan apapun yang mereka inginkan tanpa arahan dan pengawasan orang tua. Sedangkan dalam masyarakat sendiri para generasi juga semakin terfasilitasi untuk berbuat kejahatan. Etitas yang seharusnya mampu menguatkan fakta pendidikan yang disampaikan dalam keluarga, namun adanya pemahaman sekulerisme semakin mengokohkan paham liberalisme, apatis, dan individualis.
Terlebih media massa dengan kontennya, seperti film, sinetron, drama yang makin menambahkan konsep liberalisme. Bahkan banyak adegan yang tidak segan menghabisi nyawa orang jika dia menganggu kekuasaan, eksistensi maupun kepentingan orang tertentu.
Begitu pun kurikulum pendidikan yang disediakan oleh negara juga berbasis sekuler pula. Akibatnya pemahaman dan ajaran Islam di desain hanya sebatas agama ritual saja. Tidak ada pemahaman mengenai tolak ukur perbuatan dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai Islam. Maka membunuh orang lain bisa saja dilakukan hanya karena unjuk eksistensi, terlebih sistem sanksi yang ada sama sekali tidak membuat jera pelaku, kadang hanya sekadar memberi sanksi pada pelaku dan mengeluarkan larangan aktivitas di jalan. Inilah penyebab yang memfasilitasi kenakalan remaja yang berujung kriminalitas.
Sangat berbeda jika lingkungan yang terbentuk dipengaruhi oleh cara pandang shahih yakni Islam. Jika Islam yang diterapkan bukan hanya sebagai agama spiritual, melainkan sistem kehidupan yang secara praktis diwujudkan oleh negara yang disebut Khilafah, maka terbentuklah lingkungan yang sehat dan baik. Islam sebagai pondasi keluarga membuat orang tua dan anak mengetahui peran masing-masing, sehingga pendidikan agama di keluarga bisa dijalankan dengan optimal.
Sedangkan di masyarakat sendiri, tolak ukur perbuatan juga disandarkan pada Islam. Masyarakat Islam memiliki ciri khas untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar, ciri khas ini akan membuat individu atau kelompok yang ingin melakukan kriminalitas menciut nyalinya.
Bahkan sistem pendidikannya berbasis akidah Islam, sehingga pola pikir dan sikap yang terbentuk pada generasi sesuai Islam. Para generasi akan memahami setiap perbuatannya akan terikat dengan hukum syara’, eksistensi mereka diarahkan untuk kemuliaan Islam dan membantu masyarakat.
Terlebih sistem sanksi Islam, untuk kasus pembunuhan yang di sengaja, maka sanksinya adalah qishash, yaitu hukuman setimpal jika keluarga tidak memaafkan. Jika keluarga memaafkan, pelaku harus membayar diyat sebanyak 100 ekor onta dan 40 ekor diantaranya telah bunting.
Maka bagi siapapun yang melakukan pembunuhan mereka akan berpikir beribu-ribu kali. Inilah efek sistem sanksi yang hanya akan muncul jika khilafah yang menerapkan. Efek ini muncul karena ciri khas sistem sanksi Islam yang bersifat jawabir, yakni penebus hukuman bagi pelaku dan jawazir atau pencegah.
Oleh karena itu penting untuk kaum Muslim tidak hanya mengusut dan menghukum pelaku, namun mengganti cara pandang sekularisme yang ada di dalam masyarakat dengan cara pandang Islam, sehingga generasi akan terfasilitasi dengan edukasi dan amal salih.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh Inez Amanda Fatmawati
(Sahabat Topswara)
0 Komentar