Topswara.com -- Di tengah kondisi ekonomi yang sulit, pemerintah kembali menambah beban rakyat. Per Maret 2022 kepesertaan pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menjadi syarat dalam berbagai urusan rakyat; mengurus SIM, STNK, SKCK, naik haji hingga transaksi jual-beli tanah.
Tentu saja kebijakan ini direspon negatif mayoritas rakyat terlepas dari apapun argumen pemerintah. Publik mempertanyakan relevansi transaksi jual-beli tanah dengan syarat kepesertaan BPJS.
BPJS: Skema Asuransi, Bisnis Resiko
Sepanjang hidupnya setiap individu manusia memang dibayangi keadaan-keadaan yang tidak bisa diprediksi. Dia bisa sakit dan mengalami kecelakaan. Indovidu itu juga bisa terkena musibah kerusakan dan kehilangan properti barang. Terjadinya keadaan-keadaan tersebut tidak bisa dipastikan sebagaimana tidak bisa dipastikan pula ketiadaannya. Inilah resiko.
Tatanan ekonomi kapitalisme menjadikan resiko, ketidakpastian sebagai obyek bisnis dan peluang keuntungan. Dari sini, lahirlah bisnis asuransi. Asuransi menawarkan solusi terhadap resiko dan juga sebagai satu pilihan solusi dari manajemen resiko.
Bagi yang mengikuti asuransi dan menerima klaim, maka dia bisa mengatakan bahwa asuransi itu menguntungkan dan berfaedah, meski keuntungan itu begitu dihindari terlepas ada asuransi atau biaya gratis sekalipun. Karena siapa yang mau sakit gagal ginjal meskipun ada asuransi?
Namun sebaliknya, bagi yang tidak pernah menerima klaim asuransi, maka dia merasa rugi karena selalu membayar iuran setiap bulan dan uangnya hangus begitu saja karena tidak pernah menerima klaim.
Jika tidak mau dikatakan rugi, paling tidak ada keuntungan sedikit pada keikutsertaan itu, yaitu aspek ketenangan hati akan bayangan adanya jaminan jika suatu saat terjadi kondisi sakit.
Itu dari sisi peserta. Dari sisi perusahaan, asuransi adalah bisnis murni demi profit. Bisnis ini akan mengumpulkan uang masyarakat layaknya deposito di perbankan bahkan jauh lebih menguntungkan.
Kalau deposio bisa ditarik, apakah dana masyarakat di perusahaan asuransi bisa ditarik jika setelah bertahun-tahun tidak ada klaim? Pada mayoritas asuransi kesehatan, uang tidak bisa ditarik, meski bisa saja ada ketentuan berbeda.
Karenanya, praktik lazim di perusahaan asuransi adalah mengkapitalisasi dana yang terkumpul. Uang itu diputar untuk bisnis lain. Bisa dalam bentuk saham, obligasi dan bentuk investasi lainnya Karenanya secara pasti penyelenggara asuransi mendapat dua keuntungan sekaligus; dari bisnis resiko yaitu saat klaim lebih kecil atau sedikit dibanding uang iuran yang terkumpul.
Keuntungan kedua adalah pada profit investasi di bisnis lainnya. Ini berbeda dengan peserta yang keuntungannya spekulatif dan semu. Karenanya menjadi peserta asuransi tidak diminati banyak orang.
Realitas JKN, Jaminan Kesehatan Nasional atau BPJS kesehatan adalah bisnis asuransi, terlepas dari istilah jaminan dan badan penyelenggaranya dibentuk dan dimiliki negara. Terlepas semua itu, BPJS kesehatan dengan iuran bulanan adalah swadaya individu rakyat untuk menjamin kesehatannya secara spekulatif, untung-untungan.
Sungguh menjadi pertanyaan, apakah etis mewajibkan setiap individu masyarakat untuk ikut dalam bisnis resiko yang sebenarnya tidak memberi keuntungan yang pasti bagi individu masyarakat namun keuntungan yang mutlak dan double bagi penyelenggara asuransi?
Negara adalah Penjamin
Dalam konsepsi Islam, tugas negara adalah memberi layanan kesehatan berkualitas dan gratis. Jadi kewajiban negara memberi jaminan jasa kesehatan. Negara menggaji dokter dan perawat.
Pemerintah juga membangun faskes dan rumah sakit dengan kelengkapan alat kesehatan yang dibutuhkan. Negara juga menyediakan obat paten dan membiayai riset dan produksinya. Intinya, negara harus memobilisasi sumber daya manusia dan teknologi untuk terselenggaranya jasa kesehatan terbaik.
Realitas di atas didasari konsep sistem Islam yang mengamanahkan pemerintah sebagai pelayan rakyat dan bertanggung jawab atas rakyat. Sebagaimana hadis Nabi SAW: “ Imam, pemimpin adalah seperti penggembala. Dan setiap penggembala akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya.”
Hadis ini secara mendalam merangkum fungsi penguasa untuk melayani dan penanggung jawab puncak dari kondisi rakyatnya termasuk apakah sehat atau sakit, kenyang atau lapar.
Suatu saat Rasulullah SAW dihadiahi seorang dokter. Beliau menjadikan dokter tersebut untuk rakyat di Madinah. Demikian pula para khalifah yang hingga mengadakan rumah sakit berjalan untuk suku nomaden yang hidup berpindah-pindah di gurun.
Demikianlah wujud kewajiban negara sebagai penjamin tersedianya layanan kesehatan sebagai hak setiap individu warga negara tanpa memandang kaya atau miskin. Semua diberi layanan yang sama berkualitas, tanpa kelas dan gratis.
Wallahu alam.
Oleh: Harmiyani Moidady
Sahabat Topswara
0 Komentar