Topswara com -- Pemilihan Umum (Pemilu) di negeri ini selalu menjadi perhelatan akbar sebagai pesta demokrasi tiap lima tahun sekali.
Pemungutan suara pada pemilu serentak dan pilkada serentak tahun 2024 telah disepakati oleh pemerintah, DPR, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pemilu akan digelar pada 14 Februari 2024, sedangkan pilkada dihelat 27 November 2024. (CNN Indonesia.com, 25/1/22)
Namun saat ini, sudah bergulir wacana penundaan gelaran pemilu oleh beberapa kalangan tokoh politik.
Ketua Umum (Ketum) Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan mengusulkan diundurnya pemilu 2024. Beliau mengungkapkan beberapa alasan penundaan gelaran tahapan pemilu 2024 yaitu terkait pandemi Covid-19 yang masih belum sepenuhnya pulih. Diperlukan perhatian yang sungguh-sungguh dan serius dalam menangani pandemi Covid-19 ini. (Republika.co.id, 25/2/22).
Sebelumnya, Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar pun mengusulkan tahapan pemilu 2024 diundur karena pertimbangan ekonomi. "Dari seluruh masukan itu saya juga mengusulkan pemilu tahun 2024 ditunda satu atau dua tahun. Agar momentum perbaikan ekonomi saat ini tidak hilang dan tidak terjadi pembekuan ekonomi untuk mengganti stagnasi ekonomi selama dua tahun masa pandemi" ujar Cak Imin (Republika.co.id, 23/2/22)
Sementara itu, ada sebagian tokoh yang menolak wacana penundaan pemilu 2024. Sebagaimana dilansir dari Republika.co.id, 27/2/22, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) memandang wacana tersebut digulirkan oleh pihak-pihak yang takut kehilangan kekuasaan dan mereka ingin melanggengkan kekuasaannya.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai adanya sinyal dukungan perpanjangan masa jabatan presiden karena partai-partai yang mendukung usulan tersebut adalah yang sudah terlalu nyaman di dalam lingkaran kekuasaan bagi partai-partai ini. (Suara.com, 2/3/22)
Terlepas adanya pro dan kontra terkait wacana penundaan pemilu, yang menjadi pertanyaan adalah wacana penundaan pemilu 2024 ini untuk siapa? Untuk kebaikan rakyatkah? Atau untuk kepentingan para elit partai dan koleganya? Meskipun fokus pada perbaikan ekonomi selalu dikemukakan sebagai alasan utamanya.
Di saat para elit politik sibuk melakukan perdebatan wacana penundaan pemilu 2024, disaat yang sama juga rakyat harus menghadapi pandemi Covid-19 yang entah kapan berakhirnya.
Rakyat pun harus berjibaku bertahan hidup dengan langkanya minyak goreng, harga kedelai naik, dan meroketnya harga daging sapi. Dimanakah jiwa empati para elit politik yang menjadi penguasa saat ini ditengah penderitaan rakyat?
Inilah wajah asli yang ditampilkan oleh sistem demokrasi dalam mencetak para elit politik yang minim akan empati kepada rakyatnya.
Mereka lebih sibuk untuk mengejar kepentingan pribadi dan kelompoknya dibandingkan mengurus rakyatnya.
Rakyat jenuh dan lelah melihat dagelan-dagelan politik yang dipertontonkan oleh para elit politik. Rakyat disapa lima tahun sekali saat pemilu dan ketika mereka berkuasa, para penguasa selalu mengeluarkan kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat.
Kemaslahatan dan kepentingan rakyat yang seharusnya menjadi tujuan dari setiap aktivitas politis malah luput dari perhatian para elit politik dan bukan menjadi sesuatu yang prioritas untuk diperjuangkan.
Inilah konsekuensi logis politik dari penerapan sistem demokrasi saat ini. Politik dalam demokrasi hanya berorientasi pada kekuasaan, membuat hukum dan menerapkan hukum buatan manusia serta mengabaikan aturan-aturan Al-Khaliq.
Tentu saja, politik dalam sistem demokrasi berbeda dengan politik dalam sistem Islam.
Politik dalam Islam bertujuan untuk menegakan hukum-hukum Alloh dan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil 'alamin.
"Siapa saja yang bangun di pagi hari, sementara perhatiannya lebih banyak kepada kepentingan dunia maka ia tidak berurusan dengan Allah. Siapa saja yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslim maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslim)." (HR. Al-Hakim dan Al-Khatib dari Hudzaifah RA).
Ini merupakan salah satu dalil yang menunjukan bahwa betapa pentingnya aktivitas politik untuk mengurusi kemaslahatan umat Islam. Oleh karena itu, politik Islam atau as-siyasah al-Islamiyah memiliki arti pengaturan atau pengurusan urusan umat dengan aturan Islam baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Aktivitas politik pun dilakukan oleh negara/pemerintah Islam sebagai lembaga yang mengatur urusan umat secara praktis. Umat pun mengawasi sekaligus mengoreksi (muhasabah) terhadap jalannya pemerintahan.
Aktivitas memilih pemimpin atau kepala negara dalam Islam pun menjadi bagian dari politik. Kepala negara dalam Islam disebut dengan khalifah, atau imam, atau amirul mukminin. Adapun metode pengangkatan khalifah dengan baiat dari ahlul halli wal aqdi sebagai wakil dari umat.
Adapun pemilu hanya sebagai cara untuk memilih pemimpin karena sejatinya kepala negara yang terpilih dalam Islam karena ada baiat dari umat kepada pemimpin Islam. Inilah yang dicontohkan oleh para khulafaur rosyidin sepeninggal Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wassalam.
Para sahabat memilih dan membaiat Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi khalifah sepeninggal Rasul. Adapun masa pemilihan khalifah tidak boleh lebih dari tiga hari dua malam. Karena, khalifah yang terpilih harus langsung segera menerapkan hukum-hukum Islam dan melayani kepentingan publik. Inilah contoh pemilu dalam Islam yang tidak berbeli-belit, berbiaya murah, dan pelaksaanaanya cepat. Jauh berbeda dengan pemilu dalam sistem demokrasi.
Inilah tujuan politik dalam pandangan Islam sehingga melahirkan para pemimpin yang mencintai rakyatnya dan rakyatnya pun mencintai para pemimpin Islam. Para penguasa akan dimintai pertanggung jawabannya dalam meriayah umat.
Sehingga, seluruh waktu yang ada bagi pemimpin Islam hanya diabdikan untuk mengurusi umat dan memastikan penerapan hukum Allah berjalan dengan benar baik oleh penguasa maupun rakyatnya. Inilah kondisi politik yang ideal dalam Islam dan hanya bisa terwujud dalam institusi khilafah Islam yang menerapkan politik Islam yang dilandasi keimanan. Wallahu'alam bishawab.
Oleh: Riana Agustin
Aktivis Dakwah Kayumanis Bogor
0 Komentar