Topswara.com -- Bulan Syakban adalah bulan istimewa, karena diapit oleh bulan haram, yakni bulan Rajab dan bulan suci Ramadhan. Terkadang keutamaannya sering dilupakan oleh sebagian orang. Padahal, dinamakan bulan Syakban karena dahulu orang Arab berpencar-pencar untuk mencari air atau berpencar-pencar di gua-gua setelah keluar dari bulan Rajab sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani,
سُمِّيَ شَعْبَانُ لِتَشَعُّبِهِمْ فِيْ طَلَبِ الْمِيَاهِ أَوْ فِيْ الْغَارَاتِ بَعْدَ أَنْ يَخْرُجَ شَهْرُ رَجَبِ الْحَرَامِ
“Dinamakan Syakban karena mereka berpencar-pencar mencari air atau di dalam gua-gua setelah lepas bulan Rajab Al-Haram..” (Fathul-Bari, IV/213).
Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya pernah mengingatkan.
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ
“Itu adalah bulan yang banyak manusia melalaikannya, terletak antara bulan Rajab dan Ramadhan” (HR An-Nasai no. 2357, dihasankan oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasai).
Sindiran Rasulullah Muhammad SAW seharusnya menjadi pengingat diri. Banyak yang menyepelekan bulan Syakban, padahal seharusnya bulan Syakban menjadi bulan perjuangan dan muhasabah menjemput bulan Ramadhan. Karena, bulan Ramadhan adalah bulan dilipatgandakan pahala, seyogyanya umat Islam memulai mempersiapkan sambutannya sejak bulan Syakban, bahkan sejak bulan Rajab.
Sebaiknya umat Islam di bulan Syakban semakin memperbanyak amal shalih. Jangan sampai umat Islam lalai dan melewatkan bulan Syakban begitu saja. Karena jika lalai, kualitas amalan di bulan Ramadhan pun tidak jauh berbeda dengan bulan Syakban. Kalau tidak begitu, ibadah di bulan Ramadhan hanya dijadikan ibadah rutinan yang tidak berbekas ketika bulan Ramadhan telah usai.
Oleh karenanya, penting Islam menyiapkan dan mentarhib Ramadhan sejak bulan Syakban. Imam Abu Bakr Al-Balkhi rahimahullah pernah mengatakan,
شَهْرُ رَجَب شَهْرُ الزَّرْعِ، وَشَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ سُقْيِ الزَّرْعِ، وَشَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرُ حَصَادِ الزَّرْعِ
“Bulan Rajab adalah bulan menanam, bulan Syakban adalah bulan menyirami tanaman dan bulan Ramadhan adalah bulan memanen tanaman.”
Beliau rahimahullah juga pernah mengatakan:
مَثَلُ شَهْرِ رَجَبٍ كَالرِّيْحِ، وَمَثُل شَعْبَانَ مَثَلُ الْغَيْمِ، وَمَثَلُ رَمَضَانَ مَثَلُ اْلمطَرِ، وَمَنْ لَمْ يَزْرَعْ وَيَغْرِسْ فِيْ رَجَبٍ، وَلَمْ يَسْقِ فِيْ شَعْبَانَ فَكَيْفَ يُرِيْدُ أَنْ يَحْصِدَ فِيْ رَمَضَانَ.
“Perumpamaan bulan Rajab adalah seperti angin, bulan Syakban seperti awan yang membawa hujan dan bulan Ramadhan seperti hujan. Barang siapa yang tidak menanam di bulan Rajab dan tidak menyiraminya di bulan Syakban bagaimana mungkin dia akan memanen hasilnya di bulan Ramadhan.” (Lathaiful-Ma’arif, karya Ibnu Rajab, hal. 130).
Umat Islam, jika ingin sukses menjalankan ibadah di bulan Ramadhan, sebaiknya mulai menyiapkannya di bulan Syakban. Harapannya, jika sudah menyiapkan sejak bulan Rajab dan Syakban, di bulan Ramadhan mampu memanen pahala. Selain itu, ibadah rutinitas yang sudah terbangun bisa bertahan dan berkelanjutan di bulan-bulan selanjutnya.
Amalan shalih yang perlu ditambah di bulan Syakban, bukan hanya seputar amalan habluminallah (hubungan hamba dengan Allah), tetapi juga amalan yang berkaitan dengan habluminafsih (hubungan dengan diri sendiri) dan habluminannas (hubungan dengan sesama manusia). Salah satunya, umat Islam bisa semakin kencang dalam syiar dakwah Islam. Karena kemuliaan Islam tidak hanya diterapkan dalam tataran individu, tetapi bisa diterapkan dalam segala aspek kehidupan.
Anjuran amalan-amalan shalih di bulan Syakban sebagai berikut. Pertama, memperbanyak puasa sunah. Aisyah RA pernah berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ, فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
“Dahulu Rasulullah SAW berpuasa sampai kami mengatakan bahwa beliau tidak berbuka, dan berbuka sampai kami mengatakan bahwa beliau tidak berpuasa. Dan saya tidak pernah melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasa dalam sebulan kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada bulan Sya’ban” (HR Bukhari, no. 1969 dan Muslim, no. 1156 dan 2721).
Ummu Salamah RA pun memberikan kesaksian yang sama dengan mengatakan,
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ إِلاَّ شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ
“Saya tidak pernah melihat Nabi SAW berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali bulan Syakban dan Ramadhan” (HR An-Nasai, no. 2175 dan At-Tirmidzi no. 736 dan dishahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasai).
Nabi SAW menjelaskan alasan memperbanyak puasa di bulan Syakban, di antaranya karena amal-amal manusia diangkat (dan dilaporkan) kepada Allah di bulan Syakban sehingga beliau SAW ingin ketika diangkat amalnya, dalam keadaan berpuasa.
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ، قَالَ: ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ،
فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ.
Dari Usamah bin Zaid RA bahwasanya dia berkata, “Ya Rasulullah! Saya tidak pernah melihat engkau berpuasa dalam satu bulan dibanding bulan-bulan lain seperti engkau berpuasa di bulan Syakban?” Beliau menjawab, “Itu adalah bulan yang banyak manusia melalaikannya, terletak antara bulan Rajab dan Ramadhan. Syakban adalah bulan amal-amal diangkat menuju Rabb semesta alam. Dan saya suka jika amalanku diangkat dalam keadaan saya sedang berpuasa”. (HR An-Nasai no. 2357 dan dihasankan oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasai).
Kedua, memperbanyak tilawah Al-Qur'an. Imam Salamah bin Kuhail rahimahullah berkata:
كَانَ يُقَالُ شَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ الْقُرَّاءِ
“Dahulu dikatakan bahwa bulan Syakban adalah Syahru’l Qurra’ (bulan para pembaca Al-Qur’an).”
Ketiga, memperbanyak syiar Islam. Amar makruf nahi mungkar adalah kewajiban seluruh umat Islam. Seyogyanya di bulan Syakban, umat Islam terus mensyiarkan Islam dengan dakwah di segala aspek kehidupan, sehingga syariat Islam dapat diterapkan dalam segala aspek kehidupan.
Dalam catatan sejarah, di zaman Nabi saw. ada sejumlah peristiwa penting di bulan Sya’ban. Merangkum dari ulasan Muhammad ‘Abdu az-Zhair ‘Ubaidu di laman alwatan.com, berikut ini peristiwa penting tersebut,
Pertama, perpindahan kiblat dari Bait al-Maqdis kembali ke Ka’bah/Baitullah di tahun ke-2 Hijriyah. Dalam pendapat lain semisal sahabat Nabi, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berpendapat perpindahan itu terjadi di bulan Rajab. Perpindahan kiblat ini hanya terjadi antara 16-17 bulan sejak tahun pertama Nabi saw. beserta sejumlah Muslimin (yang disebut al-Muhajirun) ke kota Yatsrib (Madinah). Tujuan awalnya adalah untuk menarik simpati kaum Yahudi dan Nasrani, namun mereka tidak memberikan tanggapan apapun.
Kedua, lahirnya seorang sahabat bernama Abdullah bin Zubair pada 2 Sya’ban tahun ke-2 Hijriyah. Ia adalah putra dari Zubair bin Awwam dan Asma’, putri dari Abu Bakar As-Shiddiq. Karena itu, Abdullah bin Zubair merupakan keponakan dari ‘Aisyah, istri Nabi saw. Kelak, Abdullah bin Zubair pernah ikut memberontak bersama sang bibi di zaman kekhilafahan Ali bin Abi Thalib. Abdullah bin Zubair juga memproklamirkan memisahkan diri dari kekhilafahan Umayyah di era Marwan bin al-Hakam. Namun, akibat putusannya itu, beliau diserang oleh pasukan Umayyah dibawah pimpin Hajjaj at-Tsaqafi, dan wafat dengan keadaan yang mengenaskan.
Ketiga, di tahun ke-3 H, lahir cucu Nabi SAW yang bernama al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib. Pasca kejatuhan kekhilafahan ayahnya, ‘Ali bin Abi Thalib, ia di antara yang tidak setuju dengan ketidakadilan Muawiyah dan kekhilafahannya.
Kelak, ia juga wafat dalam kondisi yang mengenaskan di kota Karbala, Irak karena mendeklarasikan diri sebagai kekhalifahan tersendiri.
Keempat, disyariatkannya puasa Ramadan. Namun pendapat yang paling kuat puasa Ramadan, disyariatkan di bulan Ramadan.
Kelima, terjadinya peperangan yang disebut Ghazwah Bani al-Mushtoliq. Perang ini terjadi di tahun 6 H. Perang ini sebenarnya tidak terlalu besar karena hanya melawan satu suku. Namun, perang ini menjadi ujian sosial yang cukup berat bagi masyarakat Muslim di masa itu.
Karena, mulai muncul sejumlah kelompok oportunis – yang dalam bahasa Al-Qur'an disebut al-Munafiqun – karena mereka mengikuti perang murni karena tergoda dengan besarnya ghanimah. Saat itu, mereka juga yang paling mudah menyalahkan. Di saat itulah, mulai dikenal Abdullah bin Salul, orang asli Madinah yang masuk ke dalam golongan Munafiq. Saat inilah, Nabi SAW. mulai waspada dengan sejumlah kelompok munafik tersebut.[] Ika Mawarningtyas
0 Komentar