Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Rakyat Terhimpit dalam Jeratan Mega Proyek Asing


Topswara.com -- Sudah jatuh tertimpa tangga pula, sepertinya kondisi ini tepat disematkan kepada rakyat di negeri tercinta ini. Pandemi yang masih betah dan belum menunjukkan hasil signifikan dalam penanganannya, terbukti perubahan kebijakan terus berganti dan berulang selama pandemi ini. Efek ekonomi dan sosial begitu berdampak bagi rakyat.

Sayangnya, pandemi bukan beban utama di saat ini tapi beberapa kebijakan terkait hajat hidup rakyatlah yang mendominasinya. Sebelumnya ada kenaikan listrik, kenaikan bahan pangan, kenaikan dan kelangkaan minyak goreng, sekarang kenaikan gas elpiji, BBM, dan tarif tol ruas. Bagaimana ekonomi rakyat bisa terbangun sementara faktor-faktor pendukungnya mengalami kenaikan di tengah situasi yang tidak pasti karena pandemi ini?

Megaproyek Milik Investor

Dilansir dari media batamnews.co.id (16/10/2018), PT McDermott Batam Indonesia mendapat megaproyek. Nilai proyek peryama, ‘Tyra Redevelopment Project’ mencapai USD 500 juta atau sekitar Rp 7,5 triliun (kurs Rp 15.000 per dolar) hingga USD 750 juta (Rp 11 triliun). 

Dermot juga sudah mengantongi sejumlah proyek besar lainnya. Menurut Presiden & Chief Executive Officer McDermott International David Dickson bahwa proyek ini sangat penting bagi McDermott. Proyek Tyra Redevelopment Project ini membangun wellhead dan topside untuk infrastruktur oil and gas nasional milik Denmark. 

Perusahaan asal Amerika Serikat ini mengakui sangat nyaman berinvestasi di Batam, Kepulauan Riau. Apalagi dukungan dari pemerintah Batam, baik BP (Badan Pengusahaan) Batam maupun pemerintahan Kota Batam sangat baik.

Kembali PT. Pertamina (Persero) menaikkan harga gas LPG nonsubsidi rumah tangga sebesar Rp 15.500 per kg untuk jenis Bright Gas 5,5 kg, Bright Gas 12 kg, dan Elpiji 12 kg, Minggu (27/2). Sementara harga LPG 3 kg yang disubsidi tidak mengalami kenaikan. 

Ini merupakan kenaikan kedua kalinya (sebelumnya pada 25/12/2021)). Pjs. CorporateSecretary PT. Pertamina Patra Niaga, Subholding Commercial & Trading Pertamina Irto Ginting menjelaskan bahwa penyesuaian ini dilakukan mengikuti kenaikan harga CPA (contract price Aramco). 

Saat ini, harganya di atas USD 100 per barel. Tercatat, harga CPA mencapai USD 775 per metrik ton, naik sekitar 21 persen dari harga rata-rata CPA sepanjang tahun 2021 (kumparan.com, 27/2/2022).

Tergambar sudah bagaimana industri raksasa asing yang berinvestasi di negeri ini mendapatkan porsi besar dalam megaproyek. Dengan kelengkapan fasilitas yang dimiliki dan jaminan SDA dari Indonesia mampu menjalankan mega proyek ini dengan keuntungan besar bukan untuk Indonesia tapi bagi korporat, investor besar asing. 

Seharusnya pemerintah memandang pengelolaan SDA berlimpah ini bisa diatur dan dikelola baik oleh negara sesuai dengan perundangan yang berlaku yaitu UUD 1945 Pasal 33 ayat 2 dan 3 yang bermakna cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. 

Termasuk bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Maka tidak ada kapitalisasi dan privatisasi terhadap SDA yang vital untuk rakyat. 

Ketergantungan negara terhadap harga pasar luar negeri akibat berkecimpung dalam pasar bebas dunia membuat kebijakan vital negara terombang ambing mengikuti kebijakan pasar global. Negara tidak bisa mengendalikan harga untuk rakyatnya walaupun tengah terhimpit kondisinya saat ini. 

Sudahlah sumber daya alam dikuasai oleh investor asing, keuntungan pengelolaan bukan untuk kesejahteraan rakyat, ditambah lagi dengan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Sungguh kepentingan rakyat telah terpinggirkan. 

Berbeda jika negara yang mengatur dan mengelola semua terkait kekayaan alam Indonesia. Dipastikan kemelut perekonomian nasional dapat diperbaiki. Karena asing tidak memanfaatkannya untuk mengeruk keuntungan di dalamnya. 

Pihak swasta hanya membantu dalam hal lain yang tidak berhubungan dengan pengelolaan penuh SDA kita. Mereka bisa bertindak sebagai konsultan yang berkontribusi dalam plan proyek-proyek di negeri ini. Sehingga perekonomian Indonesia akan stabil sehingga tidak terintervensi oleh asing. 

Lihatlah prospek-proyek yang bisa dikelola asing dan berhasil membangun kepercayaan di luar negeri, seyogyanya ini menjadi motivasi negara untuk mengambil alih pengelolaan dari pihak investor.

Sungguh sistem kapitalis yang diemban negeri ini menampakkan ketidak berpihakan negara terhadap hajat hidup rakyatnya. 

Rakyat Terhimpit dalam Kebijakan Negara

Menurut Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan kenaikan harga BBM berpotensi menambah beban ekonomi masyarakat kecil yang terdampak oleh Pandemi Covid-19. Ia menyesalkan kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM)  secara tiba-tiba pada tahun 2022 ini.

Ia menilai kenaikan BBM yang diikuti kenaikan tarif tol akan mempersulit perkembangan usaha kecil menengah. Kenaikan tol ruas akan meningkatkan biaya logistik dan pengiriman barang atau distribusi barang. 

Ia pun mengungkapkan jika kebijakan yang diambil pemerintah ini tidak dibicarakan dengan DPR RI padahal menyangkut hajat hidup orang banyak (detiknews, 23/2/2022)

Benar adanya beban ekonomi rakyat bertambah berat dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada kebutuhan dan kepentingan rakyat terkait pemenuhan kebutuhan pokoknya. 

Rakyat yang harus terseok-seok merengkuh materi dari kondisi serba sulit ini. Dipaksa memahami kondisi negeri yang sedang tidak baik-baik saja. Tanpa diberikan solusi hakiki dan mendalam dalam menanganinya. 

Kenaikan berbagai kebutuhan pokok rakyat ditambah beban pajak yang dikenakan seakan melengkapi. Maka wajar ketika sebagian rakyat antipati terhadap kebijakan yang diterapkan karena tidak linier dengan pemenuhan kebutuhan mereka. 

Rakyat selalu berposisi menjadi kaum marjinal dan terus dihimpit kesulitan. Kapitalistik ini telah mengubur harapan rakyat untuk bangkit dari keterpurukan akibat himpitan ekonomi dan sosial yang tengah berlangsung ini.

Tata Kelola Proyek dalam Sistem Islam

Dilansir dari media trenopini.com oleh K.H Hafidz Abdurrahman, M.A. menerangkan bahwa kebijakan pembangunan tidak terlepas dari sistem ekonomi Islam yang diterapkan. Menyangkut kepemilikan (milkiyyah), pengelolaan kepemilikan (tasharruf), termasuk distribusi barang dan jasa di tengah masyarakat. Selain itu, negara juga memastikan berlangsungnya politik ekonomi (siyasah iqtishadiyyah).

Penerapan sistem ekonomi Islam memastikan negara memiliki sumber kekayaan yang baik dalam membiayai penyelenggaraan negara, terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar rakyat (baik kebutuhan individu maupun kelompok, meliputi sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan).

Terjaganya produktivitas individu menghasilkan ekonomi negara yang tumbuh sehat. Dengan penguasaan dan pengelolaan kekayaan milik umum dan kekayaan negara oleh negara yang tersimpan di baitul maal mampu mewujudkan pembangunan infrastruktur dan proyek lainnya.

Terbukti dalam sejarah di zaman Khulafa’Rasyidin, Umayyah, ‘Abbasiyyah hingga ‘Utsmaniyyah. Pembangunan mutakhir saat itu adalah proyek pembangunan rel kereta api yang menghubungkan Hijaz, Syam hingga Istambul. Proyek ini dibangun oleh Sultan Abdul Hamid II dalam kurun dua tahun. Peninggalannya masih terlihat sampai sekarang di Madinah. 

Selain itu ada proyek saluran air bersih di Jalur Armina (Arafah-Mina-Muzdalifah), di sini ada Qanat Zubaidah (Jalur Air Zubaidah), beliau istri Khalifah Harin ar-Rasyid (Khalifah ‘Abbasiyyah). Proyek air ini terhubung hingga Baghdad dengan Birkah (situ) dan ‘Ain Zubaidah (mata air Zubaidah). 

Kesulitan dana di baitul maal terkait pembangunan untuk pemenuhan kebutuhan rakyat yang vital, diantisipasi oleh negara dengan mendorong partisipasi publik untuk berinfak.  

Jika tidak mencukupi, kaum Muslim, laki-laki dan mampu akan dikenakan pajak khusus untuk pembiayaan proyek sampai terpenuhi. Tidak hanya itu, negara bisa mengajukan fasilitas kredit, kepada negara maupun perusahaan asing tanpa bunga dan syarat yang menjerat negara. 

Negara akan mengembalikan dengan cash  setelah dana infak dan pajak tersebut terkumpul. Kebijakan ini dilakukan ketika negara dalam keadaan terdesak. Sedangkan jika proyek infrastruktur tidak vital maka negara tidak menarik pajak dari masyarakat serta tidak mengambil kredit baik kepada negara maupun perusahaan asing.

Maka jelas sistem Islam ini mampu untuk memfasilitasi proyek-proyek terkait pemenuhan kebutuhan vital rakyatnya dengan baik. Tanpa melepaskan sumber daya alam yang dimiliki, dan kedaulatan negara tetap terjaga karena tidak adanya intervensi dari pihak asing atau investor. Sehingga rakyat tidak terus menerus menerima kebijakan yang menambah beban kesulitan bagi perekonomiannya. 

Wallahu a'lam bishawab.


Oleh: Ageng Kartika, S.Farm. 
(Pemerhati Sosial)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar