Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Penundaan Pemilu, untuk Kepentingan Siapa?


Topswara.com -- Wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden belakangan ini ramai menjadi perbincangan publik. Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar yang pertama kali mengembuskan isu penundaan Pemilu 2024. 

Ia mengaku mendengar masukan dari para pengusaha, pemilik usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), hingga analis ekonomi sebelum menyampaikan usulan itu. "Dari semua (masukan) itu saya mengusulkan Pemilu 2024 ditunda satu atau dua tahun," (kompas.com, 5/3/2022). 

Menurut Muhaimin, usulan itu muncul karena dia tidak ingin ekonomi Indonesia mengalami pembekuan setelah dua tahun stagnan akibat pandemi Covid-19.

Bagaimana tanggapan dari pengamat politik? Pengamat politik Fisip Universitas Diponegoro dan Direktur Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto mengatakan, isu penundaan pemilu merupakan metamorfosa dari isu presiden tiga periode. 

Menurutnya, isu perpanjangan masa jabatan presiden tersebut secara konsisten telah disuarakan elite oligarki sejak berakhirnya Pemilu 2019. "Pada hakikatnya, keduanya adalah upaya untuk memperpanjang kekuasaan dengan tidak demokratis dan untuk itu harus ditolak. (kompas.com, 5/3/2022). 

Ia mengungkapkan, ada sejumlah alasan mengapa wacana penundaan pemilu bisa dikatakan tidak masuk akal. 

Inilah gambaran politik dalam sistem sekuler. Seharusnya negara mau diberikan masukkan atau kritik dan diskusi. Namun yang terjadi adalah menutup diri hingga tiga periode ini menjadi banyak berpendapat permintaan pemerintah untuk menambah jabatannya lagi, menyalahi politik dalam sistem demokrasi. 

Sistem sekuler kapitalisme sudah diambang kehancuran dilihat dari sisi manapun ia sudah busuk, rusak dan suram. 

Indonesia butuh solusi yang hakiki dan dapat menyelesaikan masalah ini, apalagi dalam masalam penundaan pemilu. Dalam Islam pemilu pun ada tetapi sangat jauh berbeda dengan perpolitikan pada saat ini. Bahkan dalam Islam politik dijadikan dasar menjadikan untuk melayani kepentingan publik. 

Sebab dalam Islam politik berarti mengurusi urusan umat. Pemilu dalam sistem Islam merupakan cara alternatif untuk memilih kepala negara bukan metode baku untuk memilih kepala negara. 

Jadi, metode baku pengangkatan kepala negara adalah dengan bay’at syar’i, Imam An-Nawawi dalam kitabnya Nihayah Al-Muhtaj Ila-Syarh Al-Minhaj (VII/390) telah berkata: “akad imamah (khilafah) sah dengan adanya baiat atau lebih tepatnya baiat dari ahlul halli wal aqdi yang mudah untuk dikumpulkan.” (Imam An-Nawawi, Nihayah Al-Muhtaj VII/390). 

Menjadi cara atau uslub, pemilu tetap harus terikat dengan nash-nash syariat tanpa menyelisihinya. Pemilu akan dilaksanakan jika dipandang tepat dan dibutuhkan pada keadaan tertentu. 

Karena masa jabatan dalam sistem khilafah tidak ada periodeisasi, diganti ketika ada yang melanggar syariat atau halangan menegakkan syariat. Rasulullah SAW bersabda: “selama ia masih memimpin kalian sesuai dengan kitabullah.” (HR. Muslim). 

Adapun cara lain dalam memilih kepala negara (khalifah), seperti: melalui ahlul halli wal aqdi. Hukum Islam cukup jelas dalam hal pemilihan khalifah dan hal ini bisa dipelajari melalui kitab-kitab mukhtabar para ulama.

Para calon khalifah harus memenuhi syarat yang sudah ditetapkan oleh syariat yaitu: kepala negara harus laki-laki, Muslim, berakal sehat, baligh, merdeka, adil dan memiliki kapabilitas bertanggung jawab atas amanah sebagai khalifah yaitu memahami bagaimana menerapkan syariat Islam dengan benar. 

Tugas dan wewenang seorang khalifah juga dibatasi oleh syariat hanya untuk menerapkan hukum Allah SWT (syariat Islam) secara menyeluruh. Khalifah tidak mempunyai wewenang membuat hukum karena hak membuat hukum hanyak milik Allah SWT sebagaimana dalam surah Al-An’am ayat 57 sebagai berikut: 
                                                                                                                                                      Ø¥ِÙ†ِ الْØ­ُÙƒْÙ…ُ Ø¥ِÙ„َّا Ù„ِÙ„َّÙ‡ِ ۖ

Artinya: “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (QS. Al-An’am: 57). 

Maka tidak heran pemilu dalam Islam tidak memerlukan biaya yang fantastis dan pelaksanaannya sederhana. Tidak perlu biaya yang mahal untuk pasang baliho, dana relawan, serta janji ini dan itu. Bahkan sekolah gratis, kesehatan gratis, BBM murah, infrastruktur yang layak, harga sembako terjangkau, pembatasan impor dan lain-lain. 

Mengkomersilkan atau menjual belikan kebutuhan publik kepada rakyat merupakan perkara haram. Khalifah yang sedang menjabat akan benar-benar fokus untuk mengurusi urusan rakyat apalagi jika terjadi suatu pandemi seperti yang terjadi pada saat ini. 

Walaupun harus terjadi pergantian pemimpin atau khalifah ditengah wabah karena alasan syariat, proses hanya berlangsung singkat dan tidak lama yaitu maksimal tiga hari. Setelah itu khalifah yang terpilih akan langsung menjalankan tugasnya dan tanggung jawabnya mengurusi urusan rakyat dan menyelesaikan wabah. 

Sebab, Islam sudah menetapkan batas maksimal kekososngan kepemimpinan adalah tiga hari dalilnya dari ijma sahabat pada saat pembaiatan Abu Bakar ra yang sempurna di hari ke-3 pasca wafatnya Rasulullah SAW.

Pemilu di dalam khilafah mampu menghasilkan pemimpin yang berkualitas yakni pemimpin yang menerapkan seluruh aturan Allah SWT. 

Akan membawa rahmat bagi seluruh alam, tidak menzalimi, menjaga rakyat, adil, sejahtera dan hanya takut pada hukum Allah SWT. Sehingga lahirlah pemimpin yang mampu menepati janji nya karena amanah yang diemban dijalankan bukan hawa nafsu semata tetapi karena Allah ta’ala. 

Jadi, jelas bahwa hanya sistem Islam yang mampu mengatasi masalah ini. Baik masalah pemilihan pemimpin dengan pemilu atau baiat yang terpenting menjalankan syariat secara menyeluruh. Bukan untuk kepentingan para pemimpin seperti halnya terjadi pada sistem saat ini. Tugas kita terus berjuang, istikamah, hamasah, agar sistem Islam kembali tegak kembali dan menyinari seluruh dunia. 

Wallahu a'lam bishawwab


Oleh: Yafi’ah Nurul Salsabila 
(Alumni IPRIJA Dan Aktivis Dakwah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar