Topswara.com -- Bukanlah sesuatu yang asing dibicarakan di tengah-tengah masyarakat, menjelang Ramadhan harga pangan selalu mengalami kenaikan. Namun di tahun 2022 ini, kenaikan tersebut disinyalir tidak wajar. Hal ini terkait dengan kenaikan harga kebutuhan pokok yang terjadi 30 hari sebelum momen Ramadhan.
Dilansir dari bisnis.com (11/3), Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Reynaldi Sarijowan mengatakan, "harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan yang tidak wajar dikarenakan 30 hari menjelang Ramadhan harga-harga sudah bergejolak."
Meroketnya Harga Pangan
Selain Sekretaris Ikappi, kenaikan harga pangan ini juga disoroti oleh Ketua Umum Ikappi Abdullah Mansuri. Bahkan Abdullah menjabarkan beberapa komoditas yang mengalami kenaikan. Di antaranya adalah cabai rawit Rp 76.000 per kilogram (kg), ayam dari yang semula Rp 35.000 per ekor menjadi Rp 46.999 per ekor, bawang putih dari Rp 30.000 per kg menjadi Rp 32.500 per kg, daging sapi berada di angka Rp 140.000, dan tentunya yang sedang menjadi 'primadona' saat ini yakni minyak goreng.
Setelah pemerintah mencabut HET, kini harga minyak goreng di 34 provinsi di Indonesia berbeda-beda. Harganya dibedakan menjadi tiga kategori, yakni minyak goreng curah, minyak goreng kemasan bermerek 1, dan minyak goreng kemasan bermerek 2. Saat ini, harga minyak goreng berkisar Rp 13.000 sampai Rp 50.000 ke atas per kg, tergantung dari kategori dan provinsinya.
Kenaikan harga kebutuhan pokok pada momen-momen dan bulan-bulan tertentu seperti akhir dan awal tahun atau seperti menjelang Ramadhan saat ini selalu saja berulang. Pengulangan ini menandakan bahwa penguasa tidak mengantisipasi untuk mencegah terjadinya kenaikan harga.
Secara garis besar, harga kebutuhan pokok di pasar dipengaruhi oleh tiga hal. Pertama, tingkat permintaan. Kedua, ketersediaan stok barang. Terakhir, kelancaran distribusi hingga ke retail. Ketiga faktor ini tidak bisa lepas dari konsep tata perekonomian. Indonesia dengan paham sekuler kapitalismenya telah menjadikan peran negara mandul, yang mengakibatkan penguasa tunduk pada para korporasi.
Para korporasi pangan dan kartel yang kini menguasai segalanya. Mulai dari kepemilikan lahan, rantai produksi - distribusi, hingga kendali harga pangan. Bahkan Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian telah mengaku bahwa akan sulit bagi pemerintah untuk menstabilkan harga karena mereka tidak dapat menguasai 100 persen produksi pangan.
Ketidakmampuan pemerintah dalam menstabilkan harga bisa kita lihat dari fenomena 'kehebohan' minyak goreng. Beberapa bulan belakangan komoditas yang satu ini mengalami kenaikan harga di seluruh penjuru negeri. Bahkan melonjaknya harga minyak goreng sudah terjadi sejak November 2021.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah mengerahkan berbagai strategi seperti memberlakukan kewajiban pemenuhan dalam negeri (DMO), kewajiban harga dalam negeri (DPO), menetapkan harga eceran tertinggi (HET), hingga menggelontorkan triliunan rupiah untuk anggaran subsidi minyak goreng curah. Bahkan telah dilakukan sidak ketersediaan minyak goreng oleh Presiden Joko Widodo di sejumlah pasar dan toko swalayan Yogyakarta.
Faktanya, berbagai strategi tersebut tidak mampu mengendalikan kenaikan harga minyak goreng di akhir tahun 2021 sampai awal tahun 2022. Justru malah timbul masalah baru, yaitu kelangkaan minyak goreng. Kemudian akhirnya pemerintah mencabut HET dan akhirnya timbul persoalan baru lagi yakni munculnya stok minyak goreng secara massal dan tiba-tiba di berbagai minimarket namun dengan harga dua kali lipatnya.
Parpol Menimbun Minyak Goreng?
Di tengah kisruh minyak goreng serta harga kebutuhan pokok lainnya, para elit dan partai justru sibuk berpolitik dan tebar janji. Seperti PDIP dan PSI yang tiba-tiba saja membagikan minyak goreng atau menjualnya dengan harga murah, hanya dengan Rp 10.000 saja per liternya. Niatnya karena untuk membantu masyarakat, namun karena hal ini dilakukan oleh partai politik, publik menduga dengan sangat yakin bahwa pasti ada tujuan politik di dalamnya.
Sayangnya, usaha parpol untuk menarik hati masyarakat ini gagal total. Bukannya diapresiasi, publik justru mempertanyakan, parpol tersebut mendapatkan stok minyak goreng dari mana dan mengapa bisa dijual dengan harga murah?
Sudah menjadi hal yang lumrah, jika mendekati pemilu para elit dan partai politik akan sibuk tebar janji manis. Hal ini dianggap sah-sah saja karena dalam momen tebar janji itu dilakukan dalam upaya untuk meraih simpati masyarakat. Ini momen yang sangat krusial, tidak boleh disia-siakan.
Namun kemudian masyarakat kembali mempertanyakan, apakah kemudian parpol juga melakukan penimbunan minyak goreng? Bahkan pertanyaan ini juga dilontarkan oleh pengamat politik Abdillah Toha. Dia menyindir di akun Twitter pribadinya, "ternyata yang menimbun minyak goreng bukan Bulog tapi partai-partai politik buat kampanye."
Pengamat dan masyarakat yang sudah mulai kritis tentu tak akan diam saja. Sudah begitu banyak janji manis yang mereka 'lahap' selama ini. Mereka sudah jengah dengan rayuan janji manis yang hanya di bibir saja. Sekalipun dengan bantuan 10 ton minyak goreng untuk warga kurang mampu, mereka takkan terpedaya.
Pun sebelumnya Kemendag telah mengatakan bahwa produksi minyak goreng seharusnya sudah mencukupi kebutuhan domestik. Inspektur Jenderal Kementerian Perdagangan (Kemendag) Didid Noordiatmoko menyampaikan kelangkaan minyak goreng seharusnya bisa teratasi paling lambat akhir Maret 2022. Rasanya kini masyarakat telah mengetahui secara langsung faktor yang menyebabkan kelangkaan minyak goreng.
Perbedaan Rezim Neolib dengan Pemimpin dalam Islam
Strategi atau solusi yang dikerahkan oleh kemendag dan presiden merupakan solusi cabang. Jika Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian mengatakan akan sulit bagi pemerintah untuk menstabilkan harga, rasanya justru bukan hanya sekadar sulit tapi memang mustahil untuk dilakukan.
Bahkan bisa dikatakan itu hanyalah pencitraan, hanyalah lips service agar dikatakan bahwa pemerintah telah berusaha. Hal ini terbukti dari 'konsistennya' kenaikan harga pangan menjelang Ramadhan, tahun baru, dan hari-hari besar lainnya. Juga terbukti dengan berbagai janji manis mendekati pemilu, namun seketika lupa saat telah menduduki kursi kekuasaan. Inilah watak asli rezim kapitalis - neoliberal. Seluruh kebijakan yang lahir hanyalah berorientasi pencitraan demi mempertahankan kursi kekuasaan, sebab takut dijatuhkan dan digulingkan.
Kebijakan tambal sulam rezim kapitalis telah gagal memberikan solusi pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Baik kebutuhan pokok rakyat secara individu maupun secara umum. Apalagi jika membahas kebutuhan sekunder rakyat yang menjadi tanggung jawab negara.
Kebijakan pencitraan semacam ini tentu tidak akan kita temui dalam Islam. Sistem Islam yang paripurna mampu memberikan solusi yang mendatangkan maslahat. Dalam Islam, pemenuhan kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan menjadi tanggung jawab negara. Khalifah sebagai kepala negara berkewajiban memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya.
Negara berkewajiban memastikan kebutuhan pokok rakyatnya tercukupi, terlebih ketika dilanda wabah seperti saat ini. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw., "imam / khalifah adalah pengurus dan ia bertanggungjawab terhadap rakyat yang dia urus." (HR. Muslim)
Kebijakan yang akan ditempuh oleh negara Islam (khilafah) untuk mengatasi 'kisruh' pangan adalah:
Pertama, negara akan mewujudkan swasembada dengan meningkatkan produksi. Negara akan menerapkan kebijakan yang dapat mendukung terciptanya perluasan lahan, menjamin kepemilikan lahan yang didapatkan dengan jalan menghidupkan lahan mati, serta memberikan tanah pertanian milik negara kepada siapa saja yang mampu mengelolanya.
Negara tidak akan membiarkan adanya lahan-lahan kosong yang tidak produktif. Jika terdapat lahan yang dibiarkan begitu saja selama tiga tahun maka lahan tersebut akan diambil oleh negara dan diberikan kepada siapa saja yang mampu mengelolanya. Inilah yang akan mengoptimalkan ketersediaan pangan di tengah-tengah masyarakat, karena semua lahan yang ada dimanfaatkan secara produktif.
Kedua, khilafah tidak akan bergantung pada impor. Jika negeri-negeri dalam khilafah mampu untuk menghasilkan kebutuhan pangan secara mandiri maka negara tidak perlu adanya kebijakan impor. Sehingga terbebas dari penjajahan intervensi asing yang kerap kali terjadi dalam sistem kapitalisme saat ini.
Pun khilafah juga tidak akan mengekspor kebutuhan pokok atau yang lainnya kecuali jika semua rakyat dalam naungannya telah tercukupi. Inilah alasan bahwa dalam khilafah permintaan barang akan selalu tercukupi, apalagi barang tersebut merupakan kebutuhan pokok seperti minyak goreng. Akan dipastikan seluruh rakyat tercukupi kebutuhannya, baru kemudian dilakukan pengeksporan. Saat melakukan ekspor pun tidak sembarangan, tetapi khilafah akan memperhatikan negara mana yang berhak untuk melakukan kerja sama dengannya.
Ketiga, kebijakan distribusi pangan yang adil dan merata. Islam melarang keras adanya penimbunan barang yang akan menyebabkan permainan harga di pasar seperti kasus minyak goreng saat ini. Dengan larangan tersebut, stabilitas harga pangan akan terjaga dan kelangkaan barang akan terhindari.
Dari sini terlihat bahwa memang hanya Islam lah yang mampu menjaga ketersediaan pangan serta pendistribusiannya yang merata. Tidak akan ditemukan 'praktek tebar janji', karena pemimpin dalam Islam murni menjalankan amanahnya karena dorongan ketakwaannya kepada Allah SWT, bukan karena mendambakan materi dan jabatan semata.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Zidniy Ilma
(Sahabat Topswara)
0 Komentar