Topswara.com -- Ironis. Negeri yang kaya dengan sumber daya alam dari ujung Sabang sampai Merauke, tetapi belum bisa menyejahterakan rakyatnya. Dari mulai harga minyak yang tinggi, kemudian menjadi langka hingga saat ini. Tak luput, gas LPG nonsubsidi, kebutuhan pokok seperti kedelai, daging sapi, cabai mengalami kenaikan.
Padahal saat ini mencari penghasilan sangat sulit, malahan rakyat akan dibebani lagi dengan rencana kenaikan tarif PPN 1 persen dari sebelumnya, menjadi 11 persen per 1 April 2022. Naiknya tarif PPN menyusul disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). (Kompas.com, 15/03/2022).
Menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor tujuan kenaikan tarif PPN sebagai upaya meningkatkan penerimaan pajak dan menciptakan kesetaraan dalam pembayaran pajak.
Walhasil banyak yang menolak kebijakan tersebut. Salah satunya, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan penyesuaian kenaikan tarif PPN akan mendorong inflasi pada April 2022 berada diatas 1,4 persen. Ditambah survei nasional oleh Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA) menghasilkan sekitar 77,37 persen menolak. (Kompas.com, 15/03/2022).
Pajak Mencekik Rakyat
Pajak memang sudah menjadi pendapatan utama negara di sistem demokrasi. Sistem yang termasuk buatan manusia, ternyata banyak membuat rakyat tercekik. Hampir semua kebutuhan dikenakan pajak, walaupun tidak secara langsung.
Maka, kenaikan tarif PPN ditolak oleh Anggota Komisi XI Misbakhun yang mengatakan bahwa kebijakan ini akan membebani masyarakat, terutama ketika pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19 masih dini. Namun, tetap saja pemerintah kemungkinan besar akan menaikkan tarif PPN.
Adapun dampak yang kemungkinan terjadi adalah kenaikan harga kebutuhan pokok. Walaupun PPN tidak berlaku untuk kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya, tetapi pasti terkena imbasnya secara tidak langsung. Semakin sulitlah kehidupan rakyat Indonesia.
Begitulah, hidup di sistem demokrasi. Sistem yang berasaskan manfaat bagi pemangku kekuasaan dan pengusaha (baca: pemilik modal). Tidak berlaku untuk rakyat. Karena, rakyat hanya dijadikan korban dari keserakahan pemilik modal.
Sistem ini pun yang menjadikan pajak sebagai lumbung pendapatan negara. Tak heran rakyat dituntut membayar pajak. Jika tidak, maka diburu hingga mau membayar. Karena membayar pajak adalah sebuah kewajiban bagi rakyat.
Sayangnya, ketika rakyat sudah menjalankan kewajiban, tidak mendapatkan haknya. Tuntutan rakyat tentang kestabilan harga kebutuhan pokok tidak didengar. Akhirnya, rakyat tetap harus berpikir sendirian agar tetap bertahan hidup.
Intinya, di kehidupan serba kapitalistik, tiada hidup tanpa pajak. Naasnya, penarikan pajak rakyat tidak berbanding lurus dengan kebijakan penguasa terhadap masyarakat. Negara justru membebani rakyat dengan berbagai kenaikan bahan pokok yang tentu saja akan berimbas pada daya beli masyarakat. Ketika daya beli masyarakat menurun, pendapatan mereka pun ikut menurun. Ibarat kata, pembayar pajak merana, penerima pajak malah bersuka cita.
Pajak dalam Islam
Islam merupakan agama yang rahmatan lil alamiin. Artinya memberikan rahmat bagi seluruh manusia. Sebab aturan yang tersebut berasal dari Allah SWT sebagai Sang Pencipta dan Sang Pengatur.
Maka, seyogyanya pemerintah benar-benar memperhatikan kebutuhan rakyat. Bagaimana pun rakyat lah yang telah memberikan suaranya saat pemilu. Maka, wajarlah rakyat meminta haknya untuk memenuhi janji-janjinya saat berkampanye. Janganlah menjadi penguasa yang melalaikan tugasnya, sebagai pelayan bagi rakyat.
Sebab, tugas utama penguasa memenuhi dan menjamin apa yang dibutuhkan rakyat. Itupun yang diajarkan Islam, bahwa negara (baca: penguasa) bertugas mengurusi berbagai keperluan rakyatnya. Karena dalam Islam, negara menjadi regulator dan pelaku.
Sebagai regulator, negara (daulah) menetapkan hukum dan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam berdasarkan hukum Allah SWT (syariah Islam). Bukan berdasarkan akal atau asas sekularisme. Negara akan mengelola sumberkdaya alam berbasis negara, dengan paradigma ri’ayah, bukan paradigma bisnis.
Sehingga, pajak dalam Islam boleh dilakukan dengan syarat kas baitul maal sedang kosong atau sedang defisit anggaran. Menurut Al-Juwaini jika kondisi di atas, maka tanggung jawab tersebut beralih kepada seluruh kaum Muslim. Menurut Abdul Qadim Zallum dengan syaratnya, terdapat kebutuhan untuk memenuhi kemaslahatan kaum Muslim. Kemudian, hanya dibebankan kepada Muslim yang kaya saja.
Pendapatan negara dalam Islam diperoleh dengan mengelola sumber daya alam, harta ganimah, fai, kharaj, jizyah, usyur, dan lain-lain. Setelahnya diserahkan kembali kepada rakyat.
Hasilnya, negara tidak akan memalak rakyat dengan pajak. Karena sumber pendapatan negara, tidak bergantung pajak.
Wallahu a'lam bishshawab.
Oleh: Citra Salsabila
(Pegiat Literasi)
0 Komentar