Topswara.com -- Puluhan tahun menekuni jurnalistik, Siti Aisyah bangga dengan profesi suaminya. Sempat ia mendengar kisah dari almarhumah ibu mertuanya tentang orang nomor satu di rumahnya.
"Kalau saya dengar cerita dari almarhumah ibunya. Sejak kecil Om Joy itu sudah terlihat taat kalau sudah tahu terkait suatu hukum Islam. Pernah, waktu SD dia minta ibunya mengantarnya ke masjid untuk shalat Subuh. Begitu juga, kalau ada orang yang salah, suka langsung kasih tahu orang tersebut tanpa memandang anak-anak ataupun orang tua. Mau di jalan atau di rumah," kata Teh Aisyah, sapaan akrabnya.
Ia melihat suaminya yang biasa disapa Om Joy itu sosok yang gemar menasihati. Pun, ketika Joko Prasetyo nama lengkapnya telah menjadi suaminya. Ketika mereka tinggal di Setu Babakan, Jagaraksa, Jakarta Selatan. Waktu itu sepulang jumatan suaminya melihat seorang laki-laki dan perempuan yang sepertinya sedang berpacaran.
"Pacaran itu dosa," cetus Om Joy marah menasihati dua orang yang sedang pacaran di depan Setu Babakan. Spontan, sambil ketakutan si laki-laki langsung sembunyi di balik motor, walaupun yang perempuan masih duduk di atas motor.
Suaminya juga sering dianggap banyak aturan oleh teman-teman kampusnya. Karena Om Joy pernah berujar kepada teman-teman di kampusnya, kalau perempuan tidak boleh pakai pakaian yang terpotong. Muslimah harus memakai jilbab. Yakni, baju kurung, terusan, tidak terpotong dan tidak membentuk tubuh. Teh Aisyah sempat memiliki anggapan yang sama, "Ini orang kok banyak aturan ya? Masa pakai baju potong-potong tidak boleh," gumamnya.
Jadi, karakter seperti itu terus terbawa sampai Om Joy menjadi seorang jurnalis. Terkadang banyak anggapan yang ia temui, jika suaminya ini galak. Tetapi, kalau sudah mengenal biasa saja.
Teh Aisyah berkisah, ia bangga dan mendukung suaminya menjadi seorang jurnalis. "Terus terang saya mendukung dan bangga suami saya menjadi jurnalis Muslim," tutur Teh Aisyah, sapaan akrabnya kepada TintaSiyasi.com, Mei 2021.
Dalam benak Teh Aisyah menjadi jurnalis Muslim itu artinya ketika menulis sebuah tulisan atau berita selalu menyajikan berita terkait amar makruf nahi mungkar. Hal itulah yang membuat Teh Aisyah berkesan dan bangga kepada suaminya.
"Tapi ada kebanggaan sendiri bisa berdakwah lewat tulisan," cetusnya..
Selain bekerja sebagai Jurnalis Tabloid Media Umat baik cetak maupun online, Om Joy, sapaan akrabnya, juga membina para penulis di Coaching with Om Joy (CwOJ) yang diinisiasi bersama TintaSiyasi.com. Om Joy berharap dari CwOJ akan lahir jurnalis-jurnalis Islam yang ikut turut andil dalam mendakwahkan Islam dalam bidang jurnalistik.
Ika Mawarningtyas, Pemimpin Redaksi TintaSiyasi.com mengakui, banyak mendapat pelajaran tulis menulis sejak dibina intensif oleh Om Joy dalam CwOJ sejak 18 Juni 2020.
"Sebelumnya memang, kami enggak tahu bagaimana menulis berita. Bahkan, yang selama ini kita anggap berita ternyata, jenis kelaminnya enggak jelas. Tapi, sejak Om Joy ajari kami, Alhamdulillah, kami bisa membuat berita dan menyajikannya dengan baik," beber Ika.
Laki-laki yang memiliki dua anak ini juga bersedia menjadi pengasuh jurnalistik di TintaSiyasi com dan Topswara.com. Hal itu sesuai dengan almamater Om Joy, ia lulusan Angkatan I Jurnalistik di Universitas Islam Negeri Bandung.
Pada hari ini banyak pemberitaan yang menyudutkan Islam dan umatnya, selain pemberitaan itu seolah bisa dijadikan alat propaganda. Oleh karena itu, Ika menyampaikan, perlunya belajar jurnalistik dan itu ia dapatkan ketika bertemu Om Joy.
Sependapat dengan Ika, Teh Aisyah menilai banyak berita yang tidak adil dan menyesatkan. Dari situlah Teh Aisyah senang melihat suaminya terjun di dunia jurnalistik. Karena bisa dijadikan uslub berdakwah.
"Kita bisa lihat, banyak sekali berita-berita yang tidak benar, jahat yang amat menyesatkan, apalagi terkait Islam dan kaum Muslimin. Nah, salah satu tugas jurnalis Muslim, melalui tulisannya berusaha memfilter dan menjelaskan kepada umat berita-berita yang menyesatkan itu," jelas Teh Aisyah.
Teh Aisyah menyadari, yang menjadi jurnalis Muslim, ia lihat jarang sekali. Karena, memang dakwah selalu mengundang risiko. Tetapi, dengan menjadi Jurnalis Muslim, suaminya bisa bekerja dan berdakwah.
"Alhamdulillah, sekarang Om Joy bisa bekerja di tempat yang memang bisa melakukan keduanya, yakni bekerja dan berdakwah secara bersamaan," kata Teh Aisyah dengan menarik otot bibirnya ke kanan dan ke kiri secara bersamaan.
Pria yang lahir di Bandung (15/11/1979) dan memiliki dua anak, satu perempuan dan satu laki-laki sudah berkecimpung di dunia kepenulisan sejak kecil. Karyanya beberapa kali menghiasi mading sekolah waktu sekolah menengah umum (SMU). Hal itu yang diakui almarhum ibunya.
"Namun, ketika SD, Om Joy sudah senang menulis cerita bergambar pakai spidol (komik) di buku tulis untuk dibaca teman-teman sekelasnya. Sewaktu di SMP menulis humor pakai komputer lalu dibagikan ke teman-temanya. Begitu juga di SMU, Om Joy suka menulis dan tulisannya ditempel di mading," beber Teh Aisyah.
Om Joy bergelut di bidang jurnalistik sudah lama, sejak masa kuliah sekitar tahun 1998 sampai sekarang. "Jadi, memang bakat untuk menjadi seorang jurnalis itu sudah terlihat ketika masih kecil," kata istrinya.
Teh Aisyah mengakui, sebelum menikah dengannya, Om Joy sudah menggeluti bidang jurnalistik ideologis. Khususnya, tahun 1999, saat Om Joy mengenal dakwah Islam kafah dalam bingkai khilafah.
Sambil memutar ingatannya, membayangkan kiprah suaminya, Teh Aisyah berujar, sebagai seorang kepala keluarga, suaminya tidak pernah meninggalkan tanggung jawabnya untuk mendidik anak dan istrinya agar selalu taat kepada Allah SWT. Ia merasakan, setiap harinya selalu saja mendapatkan nasihat dari suaminya yang memanggilnya "Sayang", maksudnya "Sayang", sejak pertama kali mereka menikah.
Bagi Teh Aisyah dan anak-anaknya, tidak masalah Om Joy menjadi seorang jurnalis. Teh Aisyah, senantiasa bersyukur, suaminya senantiasa menasihatinya. "Saya selalu bersyukur mempunyai suami yang selalu menasihati saya terus. Bahkan, melalui suami, saya tahu seorang Muslimah itu wajib mengenakan jilbab, wajib berdakwah dan mengenal apa itu Islam kafah," jelasnya.
"Alhamdulillah, berkat suami juga, saya bisa belajar bagaimana berdakwah lewat tulisan," imbuhnya.
Sambil memperhatikan jam dinding berdetik, Teh Aisyah juga khawatir, jika suaminya tak kunjung pulang kerja. Karena, ia menyadari, namanya wartawan, haruslah sabar dan mau menunggu narasumber untuk diwawancarai. "Pernah. Tentu saja saya sangat khawatir sekali, takut terjadi apa-apa," katanya.
Teh Aisyah, mengakui, dirinya pasti memiliki kekhawatiran terkait maraknya persekusi yang kerap menimpa aktivis dakwah. Ia selalu berempati kepada para aktivis dakwah yang dipersekusi. Pun, ia bayangkan, jika mereka adalah keluarganya.
"Saya selalu mengingatkan Om Joy agar tetap hati-hati, jangan sampai tulisannya itu melanggar UU ITE (versi rezim). Jika saya melihat ada kalimat di tulisannya yang sedikit bahaya, saya langsung minta kalimat itu untuk dihapus. Kalau dilihat, yang paling khawatir itu saya," bebernya.
Ia senantiasa mendoakan suaminya, agar senantiasa dilindungi Allah SWT dalam setiap aktivitas dakwahnya, baik di dunia nyata, maupun di dunia maya. "Alhamdulillahirobbil'alamin," katanya bermunajat kepada Allah SWT.
Teh Aisyah, sambil menatap ke atas, sembari membayangkan jatuh bangunnya Om Joy di dunia jurnalistik, mengatakan, menjadi Jurnalis Muslim banyak tantangannya.
"Saya bingung mau jawab apa Mba? Cuma, ya memang, untuk menjadi jurnalis ideologis itu banyak tantangannya," jelasnya.
Ia menyadari, menjadi Jurnalis Muslim, memang harus meluruskan niat, karena bukan materi yang dikejar, melainkan rida Illahi. "Kalau dari segi materi, jelas jauh sekali dengan jurnalis lainnya," ungkapnya.
Ia menceritakan, suami dulu pernah berhenti kerja menjadi jurnalis di salah satu tabloid, karena Om Joy tidak bisa berdakwah di tempat kerjanya. "Om Joy dulu pernah bekerja sebagai wartawan di salah satu tabloid , tapi nuansa dakwahnya itu tidak ada, sehingga rasanya hampa. Tapi itu tidak lama, Om Joy memutuskan pindah dari sana," tandasnya.[] Ika Mawarningtyas
0 Komentar