Topswara.com -- “Bagi penjajah mereka radikal. Tapi bagi bangsa Indonesia, mereka pahlawan”
Quote anonim ini banyak berseliweran di dunia maya. Memang mewakili kondisi yang ada saat ini. Ketika isu radikal terus menerus dipasarkan padahal sudah jadi dagangan yang lapuk.
Sayangnya, tidak semua generasi milenial dan generasi Z memahami ini. Sebagian mereka masih memahami bahwa istilah radikal memang paling layak disematkan kepada penjajah, masih jauh dari pandangan bahwa istilah radikal dalam sistem saat ini, rentan disematkan bagi mereka yang menjadi musuh "kekuasaan".
Bagaimana tidak, sudah sedari dulu istilah radikal rentan bernuansa politis. Sebagaimana Belanda dulu selalu menyebut radikal kepada kelompok yang melawan penjajah.
Dagangan Lapuk Bernama Radikalisme
“Jangan undang penceramah radikal”
“mereka anti pemerintah”
“mereka suka mengkafir-kafirkan”
Demikianlah, kalimat-kalimat yang mengacu pada istilah radikal saat ini. Masih jadi dagangan, dipasarkan untuk mempertegas bahwa radikal(isme), memang mengancam.
Ditambah lagi, lima ciri penceramah yang memiliki paham radikalisme dibeberkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Menurut mereka, ini sebagai respons pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyinggung soal penceramah radikal dalam Rapat Pimpinan TNI-Polri.
Perhatian dan kewaspadaan penguasa terhadap isu radikalisme tampak nyata. Terlebih terhadap generasi Millenials dan generasi Z.
Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN), Wawan Hari Purwanto juga menyebut bahwa sebanyak 85 persen generasi milenial di Indonesia rentan terpapar radikalisme. Menurutnya 85 persen anak muda ini bisa terjerat paham radikalisme yang saat ini justru banyak tersebar melalui media sosial.
Dilansir dari laman IDN Times, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid, mengatakan ada sebanyak 12,2 persen masyarakat Indonesia berpotensi terpapar paham radikalisme. Dari jumlah tersebut, mayoritas merupakan generasi millennial dan generasi Z. Hal inilah yang mendorong BNPT membangun duta damai di dunia maya dan sudah tersebar di 13 provinsi di Indonesia.
Karena keterlibatan generasi millennial dan generasi Z inilah, yang sebagian mereka sendiri tidak memahami secara utuh makna atau maksud radikal, akhirnya ada yang menjadi agen dalam mempromosikannya. Otomatis menguatkan BNPT dalam mengokohkan posisinya sebagai pihak yang melawan radikalisme. Bagi mereka ini bentuk vaksinasi ideologi agar tak terpapar terhadap radikalisme dan terorisme.
Sikap Ja’far, Sikap yang Benar
Tidak mudah menentukan sikap yang tepat di sistem saat ini. Gempuran opini, berita dan lain-lainnya mempengaruhi berbagai pola pikir dan pola sikap.
Saat ini, kita dituntut mengambil sikap tegas. Ibarat hidup di masa Rasul SAW, sikap kita tegas ada di sisi Rasul SAW dan para sahabat. Ibarat hidup di masa Nabi Musa as. sikap kita tegas ada di sisinya.
Ibarat hidup di masa Nabi Ibrahim as. sikap kita juga tegas, sebagaimana semut Ibrahim.
Hanya saja tidak bisa dipungkiri berada di sisi yang tersebut tidak serta merta semudah membalik telapak tangan. Perlu kemampuan lebih dalam melihat fakta dan menganalisanya.
Terlebih di era opini dan berita yang lebih cepat menyebar ini, banyak berseliweran berita hoaks. Selain itu, sudah tentu mendalami Islam dengan mengkaji Islam juga menjadi sesuatu yang urgent .
Memahami dan menganalisis fakta dengan benar, serta membekali diri dengan mengkaji Islam, menjadikan para Millennials dan Gen Z bisa memahami bahwa isu radikal hadir utk menutupi isu yang sebenarnya lebih krusial.
Isu radikal hadir bertujuan untuk membahayakan masa depan agama. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Prof. John L. Esposito, Guru Besar Studi Islam di Universitas Georgetown, Amerika Serikat, "isu radikalisme agama merupakan taman bermain bagi intelijen, dan ini membahayakan masa depan agama."
Kita sebagai pemuda sudah tentu tidak akan diam atau bahkan terpengaruh dengan isu “radikal radikul”. Potensi kita yang luar biasa, menuntut kita untuk bersuara. Allah SWT memang tidak perlu dibela, tapi sikap kita sudah tentu tidak boleh sesukanya.
Lihatlah para pahlawan Islam, tatkala para penjajah mengatakan mereka radikal tapi mereka konsisten dengan sikap dan keIslaman mereka. Lihatlah pula, para sahabat Rasulullah SAW. Saat Rasul SAW dianggap menghina agama nenek moyang, memisahkan anak dari orang tua, sikap mereka jelas sebagaimana Ja'far Bin Abu Thalib saat bertemu Raja Najasyi.
Ja'far berkata, “Wahai Raja, kami dahulu adalah orang-orang jahiliyah. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, melaksanakan perbuatan keji, memutus silaturrahim, berbuat jelek kepada tetangga, yang kuat menekan yang lemah dan kami tetap berada dalam keadaan demikian, sampai Allah mengutus kepada kami seorang Rasul yang kami mengetahui nasabnya, kejujurannya, keamanahannya dan sangat memelihara diri.
Dia mengajak kami agar beribadah hanya kepada Allah dan meninggalkan patung-patung yang disembah oleh nenek moyang kami. Dia juga memerintahkan kepada kami agar jujur dalam berkata, menunaikan amanah, menyambung silaturrahmi, meninggalkan perbuatan keji, memelihara darah, dan melarang kami dari berkata dusta, memakan harta anak yatim, menuduh wanita yang shalihah dengan perbuatan zina serta memerintahkan kami agar mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan.
Maka kami membenarkannya, beriman kepadanya, dan mengikuti apa yang dibawanya dari sisi Allah. Kami menghalalkan apa yang dihalalkannya dan mengharamkan apa yang diharamkannya.
Wahai Raja, ketika kaum kami mengetahui tentang apa yang kami lakukan, mereka memusuhi kami, menyiksa kami dengan siksaan yang berat dan berusaha mengembalikan kami kepada agama nenek moyang, dan agar kami kembali menyembah berhala.
Maka tatkala mereka terus menekan kami, memaksa kami, akhirnya kami memilih engkau dari yang lainnya dan kami sangat berharap engkau berbuat baik kepada kami dan tidak menzalimi kami.”
Sekali lagi, menjadi Ja'far bin Abu Thalib dan para sahabat Nabi SAW tidaklah mudah. Tetapi bagi para Millennials dan gen Z sikap tersebut adalah sikap yang benar di tengah ingar.
Sikap yang harusnya tertancap kuat sebagai wujud idealismenya para pemuda. Oleh karenanya, yuk para millennials dan gen Z, di tengah gempuran serangan pemikiran, isu-isu keagamaan, opini radikal, yang ada saat ini, sudah saatnya kita benar dalam melihat fakta dan menganalisa.
Kita juga tidak mencukupkan sebatas itu, tapi juga sudah saatnya bagi kita memahami agama kita dengan benar, mengkaji Islam agar istikamah.
Yuk, pahami agama, berIslam secara kaffah dan menjadi bangga dengan identitas sebagai seorang Muslim.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Marnina Ika Putri, S.Pd. M.Pd. (Aktivis Islam)
0 Komentar