Topswara.com -- Pandemi Covid-19 masih dituduh sebagai penyebab perubahan sistem. Masih sedikit kalangan yang melihatnya sebagai sebuah paradigma berpikir,yang menantang sistem, metodologis, termasuk konten pembelajaran.
Sistem pembelajaran yang tidak dilandasi oleh orientasi mengakibatkan kebijakan pembelajaran online dianggap mengganggu, sesuatu yang tidak biasa, dan semacamnya. Masih sedikit pelajar/mahasiswa yang melihat proses pembelajaran virtual sebagai bagian dari cara sektor pendidikan berkontribusi terhadap persoalan kebangsaan.
Menjawabi tantangan yang ada, dalam tulisan ini kita ingin menelaah sedikit gagasan mengenai system pendidikan yang dtawarkan oleh Bakr bin Abdullah Abu Zaid dalam kitab Khilyah Tholibil ilmi terhadap pendidikan Islam di Indonesia.
Sistem pembelajaran daring di tengah pandemi adalah sebuah solusi dan sekaligus pelarian. Tanggung jawab utama dari para pendidik ialah bahwa mereka tidak hanya sadar akan prinsip-prinsip umum pembentukan pengalaman saat ini dengan menciptakan kondisi lingkungan tertentu, tetapi mereka juga menerima dalam bentuk konkret hal-hal di sekitarnya yang sangat kondusif bagi perolehan pengalaman yang menuntun pada pertumbuhan dan pencapaian ilmu yang diperoleh peserta didik. Dalam hal ini kita coba menelaah Relevansi Etika dalam Belajar menurut pemikiran Bakr bin Abdullah Abu Zaid dalam kitab Khilyah Thalibil ilmi (hiasan para pencari ilmu)
Pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang bagi individu agar berkembang dan tumbuh menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, kreatif, berilmu, sehat dan berakhlak mulia baik dilihat dari aspek jasmani maupun rohani.
Dengan kata lain, pendidikan merupakan suatu upaya mewariskan nilai-nilai yang akan menjadi penolong dan penentu dalam menjalani kehidupan dan sekaligus memperbaiki nasib dan peradaban manusia.
Pendidikan agama Islam adalah pendidikan dengan melalui ajaran ajaran Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap peserta didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan agama Islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraaan hidup di dunia maupun di akhirat kelak.
Perlu kita ketahui, sesungguhnya memperbaiki akhlak (etika) dengan tujuan membentuk akhlak yang mulia merupakan faktor utama bagi kekuatan dan keagungan umat. Sesungguhnya nilai suatu umat itu terdapat pada akhlaknya.
Jika akhlak (etika) itu hilang maka hilang pula nilai umat tersebut. Karena itulah perbaikan akhlak (etika) memiliki peranan yang sangat penting, karena akhlak (etika) berpengaruh pada baik buruknya suatu umat. Maka dari itu perlunya paradigma pendidikan yang baru dalam rangka mencetak generasi muda yang berakhlak mulai untuk mampu menjadi pemimpin masa depan yang dapat diandalkan dalam mencapai cita-cita bangsa yang maju, secara umum dapat dikatakan bahwa pemikiran Bakr bin Abdullah Abu Zaid yang secara jelas menawarkan tentang konsep pendidikan akhlak (dalam hal ini akhlak atau etika dalam belajar bagi peserta didik) masih memiliki relevansi yang tinggi untuk dikembangkan sesuai dengan kondisi pendidikan Islam di Indonesia pada masa sekarang sebagai usaha untuk mewujudkan generasi yang dapat menciptakan kehidupan yang adil, makmur, dan sejahtera dan pada akhirnya kelak dapat menjadikan negara kita menjadi negara yang “baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur”.
Dengan demikian ada harapan besar untuk mewujudkan tujuan pendidikan agama Islam yaitu memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Konsep etika belajar menurut Bakr bin Abdullah Abu Zaid terbagi dalam empat kelompok yakni etika terhadap diri sendiri, etika terhadap guru, etika terhadap teman, dan etika dalam kehidupan ilmiah
Etika Belajar Terhadap Diri Sendiri
Dalam hal ini ada lima belas etika yang harus dipatuhi bagi peserta didik sebelum dan atau ketika ia mengikuti proses pembelajaran. Namun lima belas konsep tersebut dapat diringkas menjadi enam poin yakni pertama, membersihkan dan mensucikan hati dari segala sifat kotoran dan sifat tercela dan selalu menamankan sifat-sifat yang terpuji seperti: rendah hati, tidak sombong, qanaah, zuhud, muroqabah, kekhusyuk‟an, ketawadhu‟an dan lain sebagainya.
Kedua, meluruskan niat bahwa menuntut ilmu adalah bagian dari ibadah kepada Allah maka dalam menuntut ilmu wajib hukumnya harus merasa selalu diawasi oleh Allah.
Ketiga, menghargai waktu dengan cara membuat jadwal yang jelas supaya tidak terlena dalam forum-forum yang sia-sia, menghindarkan diri dari keramaian dan kekacauan yang tidak berguna.
Keempat, selalu memperbaiki diri dengan cara memperhatikan tiap perbuatannya baik ketika berbicara, mendengarkan dan lain sebagainya, juga harus disertai dengan ketekunan dan ketelitian dalam menghadapi setiap perkara. Kelima, bersikap wara‟ dengan memenuhi kebutuhan secara halal dan menyederhanakan dalam hal makanan dan berpakaian.
Bakr bin Abdullah Abu Zaid mengungkapkan konsep etika terhadap diri sendiri tersebut dengan sangat lengkap yakni mulai dari dimensi batiniyah dengan cara mensucikan hati dan niat sebelum proses pembelajaran serta dimensi jasmaniah yang meliputi pemenuhan kebutuhan harus dengan cara yang sederhana dan yang terpenting adalah kehalalannya, anjuran untuk berpakaian dengan sederhana dan tidak berlebihan mengindarkan diri dari sikap sombong karna dipuji.
Selain itu rekreasi juga merupakan aspek jasmaniah yang penting sebagai pemberi semangat baru dalam belajar. Aspek kedisiplinan terhadap pengaturan waktu juga menjadi point tersendiri yang juga tak kalah penting dibanding aspek lain, dalam hal ini beliau menekankan pada hal menjauhi forum-forum yang tidak bermanfaat dan menjauhi keramaian yang tidak berguna bagi peserta didik
Etika Belajar Terhadap Guru
Etika belajar terhadap guru adalah penghormatan terhadap guru, karena ilmu itu tidak bisa dipelajari hanya dari buku semata akan tetapi harus ada guru yang mampu mengarahkan dalam menguasai kunci kunci belajar agar terhindar dari kesalahan-kesalahan dalam memahami ilmu tersebut, dalam hal penghormatan terhadap guru kita dilarang untuk memanggil nama beliau secara langsung melainkan harus dengan sebutan yang sopan, selain itu peserta didik juga harus menghormati forum belajar dengan cara menunjukkan rasa gembira terhadap pelajaran dan mengambil manfaat darinya.
Hindarilah melakukan hal-hal yang mengesalkan bagi guru seperti melakukan perdebatan dengan maksud untuk menguji kemampuan ilmiah dan kesabaran seorang guru. Apabila engkau dirasa perlu pindah ke guru lain hendaknya meminta izin kepadanya dalam rangka memberikan penghormatan dan lebih menjaga hatinya agar tetap mencintai dan menyayangimu.
Selanjutnya adalah dengan meneladani akhlak baik dan sifat mulianya dan menjadikan belajar dan mengajar sebagai keuntungan tambahan. Namun kamu dilarang meniru suara, nada bicara, cara berjalan, gerakan dan penampilan gurumu, karna yang seperti itu akan merendahkan dirimu sendiri.
Kemudian hal selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah konsentrasi dan gairah peserta didik dalam belajar, karena salah satu dari hal yang menyebabkan guru bersemangat dalam mengajar adalah kondisi dari peserta didik itu sendiri, apabila peserta didik rajin dan penuh dengan konsentrasi otomatis seorang guru akan lebih bersemangat dalam mengajar.
Selain itu dalam memilih guru hendaknya peserta didik harus menghindari berguru dengan ahli bid‟ah, karena kebanyakan ahli bid‟ah sangat mementingkan kebutuhan pribadinya dari pada mengutamakan nash Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Etika dalam Bersahabat
Dalam pembahasan etika dalam bersahabat ditekankan kepada pemilihan sahabat yang membuat peserta didik menjadi lebih dekat kepada Allah dan memudahkannya mencapai tujuan yaitu mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan dapat saling mengingatkan dalam kebaikan.
Menurut peneliti konsep yang seperti diatas sangatlah tepat jika diterapkan di masa sekarang, terlebih lagi untuk menghindari pergaulan yang semakin bebas hendaknya para peserta didik bisa dengan pintar dalam hal memililh teman, karena karakter seseorang mudah berubah dan cenderung meniru apa yang ada disekitarnya.
Etika dalam kehidupan Ilmiah
Dalam pembahasan etika dalam kehidupan ilmiah ada dua puluh etika yang harus dipatuhi oleh peserta didik dalam hal ini peneliti akan mengelompokkan menjadi enam poin yaitu: pertama, hendaknya para peserta didik dalam kehidupan ilmiahnya harus memiliki semangat tinggi dalam mencari ilmu dan juga memiliki rasa selalu haus akan ilmu karna keduanya merupakan modal yang sangat berharga bagi seorang penuntut ilmu.
Kedua, selalu bersandar kepada Allah dalam menuntut ilmu dan meraihnya karena pada dasarnya semua ilmu berasal dari Allah maka apabila mengalami kesulitan dalam memahami suatu ilmu janganlah mudah menyerah dalam belajar.
Ketiga, selalu amanah dan jujur dalam kehidupan ilmiah, berbicaralah dengan jujur dan amanah dalam setiap pembelajaran karena keduanya merupakan indikasi dari kewibawaan,kemuliaan jiwa, dan kebersihan hati bagi seorang penuntut ilmu.
Keempat, menjaga ilmu adapun cara-caranya bisa dilakukan dengan membuat catatan kemudian diamalkan dan mengikutinya sehingga akan selalu teringat dalam setiap waktu bagi para penuntut ilmu, selain itu juga alangkah baiknya bagi penuntut ilmu agar senantiasa menjaga hafalannya dengan mengulang-ulang secara rutin.
Kelima, untuk para penuntut ilmu dianjurkan untuk melakukan berbagai diskusi dan saling bertanya, karena hal yang demikian lebih bagus dari pada menelaah buku. Ia menjadikan para penuntut ilmu memiliki otak yang lebih terampil dan menguatkan ingatan.
Lakukanlah diskusi tersebut dengan menjaga sikap obyektif dan lembut dan juga didasari dengan landasan saling menasihati dan penyebarluasan ilmu, bukan dilakukan atas dasar riya‟ akan ilmu, kesombongan dan lain sebagainya.
Keenam, pentingnya rekreasi dan relaksasi untuk menyegarkan kembali badan dan akal pikiran serta menambah semangat baru dalam belajar. Dari beberapa pemaparan konsep etika dalam kehidupan ilmiah menurut Bakr bin Abdullah Abu Zaid diatas maka penulis menyimpulkan bahwa sebagian besar konsep diatas masih sangat relevan untuk dikembangkan sesuai dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia.
Dari sinilah dapat disimpulkan bahwa konsep etika belajar yang ditawarkan Bakr bin Abdullah Abu Zaid dalam kitabnya Khilyah Thalibil Ilmi patut untuk dijadikan salah satu bahan referensi bagi pengembangan pendidikan Islam di Indonesia.
Konsep-konsep etika tersebut pada dasarnya mengusung nilai-nilai luhur atau akhlakul karimah yang patut untuk diaplikasikan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hal ini sesuai dengan salah satu fungsi pendidikan Islam sendiri yakni membina dan menumbuhkan akhlak mulia.
Misi pembinaan akhlak mulia ini merupakan tugas utama yang harus dilakukan oleh Nabi Muhammad. Mengingat pendidikan Islam merupakan suatu usaha pewarisan dan pelestarian ajaran Islam dari generasi tua ke genarasi muda, maka pendidikan Islam mempunyai tugas pokok membina akhlak peserta didik.
Apalagi pada zaman sekarang ini pengaruh budaya luar yang negatif berkembang demikian rupa seperti film, surat kabar, majalah, televisi, dan lain sebagainya, maka pendidikan Islam mempunyai tugas dan tanggung jawab agar peserta didik memiliki akhlak mulia dan tidak terpengaruh oleh budaya asing yang bertentangan dengan nilai dan norma Islam.
Selain itu, konsep-konsep etika belajar yang ditawarkan Bakr bin Abdullah Abu Zaid, meliputi aspek jasmani dan rohani serta aspek-aspek lain yang sangat komprehensif yang ternyata sejalan dengan tujuan pendidikan nasional di Indonesia yaitu: ”Untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Oleh karena itu, konsep etika belajar menurut Bakr bin Abdullah Abu Zaid yang memiliki relevansi dan signifikasi untuk dikembangkan diharapkan dapat diterapkan dan diaplikasikan dalam pengelolaan pendidikan Islam di Indonesia agar menjadi lebih baik, bermutu, dan profesional tidak hanya dalam aspek kognitif dan psikomotor saja melainkan juga aspek afektif termasuk didalamnya reinterpretasi dari etika atau akhlak mulia.
Oleh: Luthfan Abdul Aziz
Sahabat Topswara
0 Komentar