Topswara.com -- Masih segar ingatan masyarakat atas tragedi penembakan enam Laskar Front Pembela Islam (FPI) oleh kepolisian yang mengakibatkan keenamnya meninggal dunia.
Tragedi ini meninggalkan luka yang mendalam bagi keluarga, begitu pula umat Islam di negeri ini. Umat pun berharap pada proses hukum yang berlangsung membawa sebuah keadilan, karena dua polisi yang menembak mati keenam laskar tersebut telah dinyatakan bersalah pada dakwaan primer oleh jaksa.
Setelah berbulan-bulan menanti putusan, akhirnya hakim mengetuk palu atas kasus pembunuhan enam Laskar FPI di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Namun, ketukan palu oleh hakim ini bagaikan petir di siang bolong. Sekali lagi, umat Islam di negeri ini harus menahan sesaknya luka di hati oleh ketidakadilan dan kezaliman yang begitu nyata.
Ketua majelis hakim M Arif Nuryanta dalam putusan sidang di PN Jaksel, Jalan Ampera Raya, Jumat (18/3) menyatakan bahwa Briptu Fikri dan Ipda Yusmin tidak dapat dijatuhi pidana karena alasan pembenaran dan pemaaf. Perbuatan Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Mohammad Yusmin Ohorella tidak dapat dijerat pidana. Pasalnya, keduanya masuk dalam kategori pembelaan diri yang terpaksa dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Arif juga memerintahkan agar kemampuan, hak, dan martabat kedua polisi itu dipulihkan. (Republika.co.id, 18/3/2022).
Melihat putusan hakim, publik terutama umat Islam pun mempertanyakan aspek keadilan hukum di negeri ini. Atas dasar membela diri hakim melepaskan pembunuh enam laskar FPI tersebut, padahal kejadian aslinya sampai saat ini pun tidak dapat dibuktikan.
Sebelumnya kronologi kejadian hanya disampaikan oleh satu pihak yakni pihak saksi dan pelaku yang sama-sama dari kepolisian. Sedangkan keterangan versi korban sudah tidak dapat lagi didengarkan karena sudah mati saat kejadian.
Lalu bagaimana dengan keluarga yang ditinggalkan? Apakah mereka tidak berhak mendapat keadilan?
Murahnya Nyawa dalam Sistem Demokrasi
Kejadian seperti ini bukan hanya sekali dua kali terjadi. Umat Islam di negeri ini sudah sering mendengar dan melihat kasus yang serupa. Bahkan kita lihat saat ini bahwa nyawa manusia begitu murah dan keadilan yang begitu mahal.
Ada saja dalih yang dilontarkan, baik dari kepolisian maupun hakim, demi membela para pelaku perenggut nyawa yang keji.
Inilah imbas dari implementasi hukum pidana demokrasi dalam sistem sekularisme di negeri ini. Sistem yang dilandasi oleh pemisahan pengaturan agama dalam kehidupan. Sehingga mengabaikan aspek halal dan haram. Akibatnya hukum yang digunakan pun merujuk pada hukum buatan manusia yakni demokrasi. Maka segala bentuk output dari penegakannya hanya berdasarkan kesesuaian kepentingan dan hawa nafsu manusia.
Padahal demokrasi sebagaimana slogannya yakni menjunjung tinggi hak asasi manusia. Tapi nyatanya keenam laskar FPI tak diberi hak untuk hidup agar dapat memberi kesaksian juga di pengadilan. Bukankah hak hidup adalah hak dasar bagi manusia? Jelas, ini suatu standar ganda HAM dalam demokrasi.
Putusan hakim atas tersangka pembunuhan enam laskar FPI pun sudah menjelaskan secara gamblang rusaknya hukum di negeri ini.
Hukum Membunuh Seorang Muslim
Allah SWT berfirman, “Siapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs an-Nisaa’ : 93)
Telah jelas dalam ayat ini bahwa hukum membunuh seorang mukmin ialah haram, dan Allah akan murka dan mengutukinya serta akan menempatkannya dalam neraka Jahanam yang di dalamnya telah disediakan azab yang besar.
Dalil lain yang diambil dari hadis Rasulullah tentang haramnya membunuh seorang muslim yakni: “Tidak halal menumpahkan darah seorang Muslim yang bersaksi tidak ada sesembahan (yang benar) selain Allah dan bersaksi bahwa aku (Muhammad) adalah Rasulullah, kecuali dengan salah satu dari tiga alasan, nyawa dibalas nyawa (qishash), seorang lelaki beristri yang berzina, dan orang yang memisahkan agama dan meninggalkan jama’ah (murtad).” (HR. Bukhari Muslim)
Ganjaran Bagi Hakim Zalim
Adapun ganjaran bagi hakim yang berlaku tidak adil ialah terdapat pada hadis Rasulullah yakni : “Hakim itu ada tiga macam, (hanya) satu yang masuk surga, sementara dua (macam) hakim lainnya masuk neraka. Adapun yang masuk surga adalah seorang hakim yang mengetahui al haq (kebenaran) dan memutuskan perkara dengan kebenaran itu. Sementara hakim yang mengetahui kebenaran lalu berbuat zalim (tidak adil) dalam memutuskan perkara, maka dia masuk neraka. Dan seorang lagi, hakim yang memutuskan perkara (menvonis) karena 'buta' dan bodoh (hukum), maka ia (juga) masuk neraka" (HR Abu Dawud).
Negara Kunci Dari Penegakan Keadilan
Hadis diatas memperingatkan para hakim atau penegak hukum agar memutus perkara dengan al-haq dan adil. Adapun al-haq yang dimaksud ialah yang sesuai hukum-hukum Allah, atau berdasarkan Al-Quran dan sunah.
Inilah problem utamanya yakni negeri menganut sistem sekulerisme bukan sistem yang berlandaskan Al-Quran dan sunah atau Sistem Pemerintahan Islam (khilafah).
Apabila sistem yang digunakan adalah sistem Islam, maka menjaga nyawa masyarakat menjadi salah satu kewajiban negara. Lembaga hakim dalam sistem Islam juga di bawah monitoring negara secara ketat, apakah perkara yang diputuskan dalam pengadilan oleh hakim sudah sesuai hukum-hukum Islam dan adil atau ada pelanggaran di dalamnya. Bila didapati ada pelanggaran di dalamnya maka negara akan dengan tegas memberi sanksi pada hakim yang bersangkutan. Hal ini dilakukan semata-mata untuk memenuhi perintah Allah SWT.
Maka, umat Islam memang tidak bisa mengharapkan sebuah keadilan apabila terus menerus bertahan dengan sistem yang ada saat ini. Sudah saatnya umat ini memperjuangkan tegaknya hukum-hukum Allah di negeri ini dan di seluruh muka bumi.
Wallahu a’lam bishshawab
Oleh: Vindy W. Maramis
(Pegiat Literasi Islam, Aktivis Dakwah, Alumni Sastra Inggris UISU)
0 Komentar